Menuju konten utama

Istirahatlah Kata-kata: Film Penting Belum Tentu Bagus

Kita bisa berdebat apakah pilihan para pembuat Istirahatlah Kata-Kata untuk menampilkan periode "sunyi" kehidupan Wiji Thukul tepat atau tidak, juga apakah film itu penting atau tidak. Namun, untuk mengetahui mutunya, kita perlu pembicaraan yang lain.

Istirahatlah Kata-kata: Film Penting Belum Tentu Bagus
Penonton menunggu waktu pemutaran film "Istirahatlah Kata-kata" di Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Minggu (22/1). Film mengangkat pelarian aktivis Wiji Thukul selama delapan bulan di Pontianak pada 1996-1997. ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma/pd/17

tirto.id - Istirahatlah Kata-Kata tidak mengisahkan proses kreatif Wiji Thukul sebagai penyair. Ia juga tidak mereka ulang bagaimana Thukul, yang terlibat aktivisme politik, mengorganisir buruh atau menyebarkan koran partai. Para pembuat film itu memilih untuk menampilkan Wiji Thukul (Gunawan Maryanto) yang memunggungi Jawa, gelanggang utama politik dan kebudayaan di Indonesia, dan bersembunyi di pelosok dengan kesadaran bahwa “menjadi buron jauh lebih menakutkan daripada menghadapi sekompi kacang ijo bersenapan lengkap yang membubarkan demonstrasi.”

Kita, penonton, berhak memprotes pilihan itu: Sebagai film biografis pertama Wiji Thukul, ia bisa jadi rawan “kesan yang keliru”—lebih-lebih karena Wiji Thukul bukan bagian dari kanon kesusastraan Indonesia yang dipelajari di sekolah-sekolah dan dikenal semua orang. Dan sebaliknya, kita juga dapat memuji pilihan itu sebagai wujud keberanian menghindari klise tentang hidup dan perjuangan seorang tokoh revolusioner. Namun, terlepas dari benar atau salah bagi kita, pilihan itu tidak menentukan baik-buruk mutu film tersebut.

Hero (2002) karya Zhang Yimou kerap dinilai “keliru secara politis” karena tokoh utamanya, pendekar tanpa nama yang diperankan Jet Li, tersentuh oleh proyek penjajahan Kaisar Qin dan mengakuinya sebagai jalan terbaik bagi Tiongkok. Tetapi hal itu tak membatalkan kenyataan bahwa cara penceritaan film itu tepat sekaligus canggih, sinematografinya memukau, dan para bintangnya mengingatkan kita bahwa bagian pertama dalam “seni peran” ialah “seni.”

Contoh lain A Clockwork Orange (1972) karya Stanley Kubrick. Bagi banyak orang, film itu menjijikkan karena ia merayakan brutalitas bahkan sadisme. (sejumlah kejahatan, termasuk perkosaan beregu terhadap seorang turis Belanda pada 1973 di Inggris, terinspirasi olehnya)

Namun A Clockwork Orange ialah film yang baik. Ia menjanjikan penampakan kejahatan murni dan berhasil memenuhinya dari segala sisi. Cara tokoh utamanya memandang dunia, si sinting Alex (Malcolm McDowell), misalnya, tampil secara akurat dalam bingkaian lensa wide-angle, dengan benda-benda yang kelihatan jelas di tengah tetapi serba melenceng dan terpiuh di tepi.

Pembingkaian itu memberi kesan kuat bahwa Alex tahu apa yang ia ingin lakukan, tetapi tidak memahami gambaran besar yang mencakup tujuannya sendiri dan konsekuensi perbuatannya bagi korban-korbannya.

Hidup Lebih Kuat daripada Penindasan

Mari letakkan Istirahatlah Kata-Kata dalam sebuah kerangka: Apa yang ia hendak sampaikan? Bagaimana ia, lewat bahasa gambar, dialog, penokohan, pilihan motif dan simbol, serta perangkat-perangkatnya yang lain, mengutarakan hal itu? Berhasilkah ia?

Rezim Soeharto, yang “bangsat tetapi takut dengan kata-kata”, memasukkan nama Wiji Thukul ke dalam daftar buruan. Thukul menyingkir, tetapi bukan untuk terjun ke jurang. Kalau “orang-orang sudah tidak bisu”, ia akan bangkit kembali bersama kata-katanya buat “menghimpun tuntutan-tuntutan” dan “bikin perhitungan” terhadap kekuasaan. Pemilihan judul Istirahatlah Kata-Kata, dengan demikian, justru mengesankan pelarian Thukul sebagai siasat agar ia dapat terus hidup dan melawan di hari depan alih-alih wujud kepengecutan.

“Masalah nomer satu adalah hari ini, jangan mati sebelum dimampus takdir,” tulis Wiji Thukul dalam puisi “Sukmaku Merdeka.” Dan dalam sajaknya yang lain, “Aku Masih Utuh dan Kata-kata Belum Binasa”, ia mengaku kata-kata selalu “menagih dan mengingatkan” bahwa ia masih hidup.

Pada puisi yang pertama Thukul membicarakan hidup sebagai waktu yang mesti “diisi kerja”, sedangkan pada yang kedua ia menempatkan diri sebagai perantara “kabar buruk buat penguasa.” Namun, adakalanya Wiji Thukul juga membicarakan hidup dalam arti yang paling dasar:

“Lalu kami berbagi … Aku hidup. Ia hidup. Kami sama-sama makan,” tulisnya dalam bait terakhir “Kucing, Ikan Asin, dan Aku.”

Kritikus film Eric Sasono, dalam tulisannya di BBC Indonesia, bicara tentang adegan makan yang muncul hingga lima kali dan “soal remeh-temeh lain” yang tak kalah jamak dalam Istirahatlah Kata-Kata: “Apa itu semua demikian penting untuk tampil di dalam film?” tanyanya. “Bukankah kita semua melakukan itu dalam kehidupan sehari-hari?” Eric kemudian menjawab sendiri pertanyaan-pertanyaan itu: “Mengapa tidak? Bukankah ada saatnya kata-kata beristirahat dan kesunyian diutamakan ketimbang peristiwa dramatik?”

Masalahnya, jika adegan-adegan makan dalam Istirahatlah Kata-Kata muncul hanya buat mengesankan keseharian sunyi dan membosankan seorang penyair-aktivis yang terasing dari kerja dan lingkungannya, konteks kemunculan adegan-adegan itu jadi tak terjelaskan, dan seolah acak belaka. Tetapi benarkah mereka acak?

Novelis Margaret Atwood, dalam wawancaranya dengan Bonnie Lyons yang terangkum dalam Margaret Atwood: Conversations (1987), mengatakan bahwa kegiatan manusia mempunyai konotasi-konotasi simbolik yang bergantung pada situasi yang melingkupinya. Karena itu “makanan,” katanya, “dapat dikelompokkan ke dalam pelbagai kategori: makanan suci, makanan upacara, makanan sehari-hari, makanan yang tak dapat dimakan, makanan terlarang, makanan kotor.”

Di awal film, seorang tentara menginterogasi anak perempuan Wiji Thukul sambil mengudap sepotong lemper sementara rekannya membongkar rak buku. Selang beberapa saat, layar menampilkan Thukul yang sedang makan bersama dua temannya dan mendapat kabar tentang penangkapan aktivis di Jawa. Pada kesempatan lain ia ditawari makan oleh mahasiswa yang kamarnya ia tumpangi. Dan puncaknya, Thukul, yang telah memperoleh identitas baru sebagai Paul, membacakan sajak “Kemerdekaan” di satu warung kopi di tepi Kapuas: “Kemerdekaan itu nasi, dimakan jadi tai!”

Pada kasus tentara, makan ialah simbol kuasa negara yang mengancam. Tetapi makan yang melibatkan Wiji Thukul berarti lain. Adegan-adegan itu menutup, atau mungkin menyempurnakan, perpindahan Wiji Thukul ke tempat-tempat baru, ke situasi-situasi baru. Mereka adalah tanda bahwa hidup Thukul tidak berhenti pada hari ini.

Yosep Anggi Noen, penulis skenario sekaligus sutradara Istirahatlah Kata-Kata, menggunakan seks—atau simbol-simbol yang mengacu kepada seks—dengan cara yang mirip dengan makanan. Pada bagian awal, kita menyaksikan bagaimana Midah (Joned Suryatmoko) meminjam sikat gigi + meminta odol Sipon (Marissa Anita), istri Wiji Thukul, dengan paksaan. Midah mewakili kekuasaan yang menindas dan kurang ajar, seperti si tentara lemper.

Namun, begitu melibatkan Wiji Thukul, seks memproduksi makna lain. Di Pontianak, Thukul membeli celana gemas merah terang, menjahit dan mencucinya, dan akhirnya meminta Sipon memakainya saat mereka jumpa kembali di satu motel di Solo. Thukul dan Sipon bersanggama, sementara Midah, yang melihat Sipon masuk ke motel itu, cuma bisa mendengki dan menyebarkan fitnah: Sipon jadi lonte.

Sebagaimana makanan, seks mencicil penjelasan salah satu tema besar Istirahatlah Kata-Kata: Kemenangan hidup atas kekuasaan yang menekan-mendesak.

Revisi Wiji Thukul

Jaket yang Ganjil dan Penyakit-penyakit yang Lebih Parah

Katakanlah Istirahatlah Kata-Kata penting karena memperkenalkan atau mengingatkan kita kepada Wiji Thukul dan korban-korban kejahatan Orde Baru pada umumnya. Katakanlah pesannya “benar”. Katakanlah, karena dua hal itu, kita sebaiknya menonton dan mengajak orang sebanyak mungkin buat menontonnya. Semua itu benar. Yang keliru adalah menganggapnya film bagus.

Kita, penonton, bisa menyusun daftar soal yang melandasi pendapat itu, dengan urut-urutan berdasarkan bobot soal, mulai dari yang cuma terasa mengganjal hingga yang tidak tertanggungkan. Seperti ini, misalnya:

1. Martin (Eduward Manalu) tentu tahu siapa yang ia tampung. Tetapi apakah ia tidak sadar bahwa jaket putih bergambar macan yang dikenakannya ke mana-mana, termasuk saat bersama Wiji Thukul, kelewat mencolok buat tidak diperhatikan orang-orang?

2. Seandainya Ida (Melanie Subono), istri Martin, tak muncul di layar, adakah hal penting yang hilang dari Istirahatlah Kata-Kata? Tidak. Thukul tak harus main kartu remi dengannya dan menjelaskan lewat dialog bahwa ia bakal kembali ke Pontianak. Dan sekuens “mimpi apa kau semalam?” tetap bisa diciptakan, bahkan sepertinya akan jadi lebih alamiah, misalkan Ida tidak terlibat.

3. Apakah Wiji Thukul ditembak mati setelah adegan makan yang dibuka dengan sorotan berlarut-larut pada lukisan “The Last Supper”?

4. Sejak kapan motel-motel di Solo menyediakan dua botol Coca Cola, dua bungkus kacang rebus, dan sepasang sabun—sabun!—di atas nampan di dalam kamar-kamarnya? Seandainya Yosep Anggi Noen hendak memainkan simbol-simbol (kapitalisme, kerakyatan, dan penyucian), caranya tentu tak harus sewagu itu.

5. Celana gemas warna merah yang dibelikan Thukul buat Sipon terlihat seperti simbol hasrat seksual terpendam yang sama sekali tidak dipendam sang sutradara dari dugaan penonton yang paling lugu sekalipun.

6. Mengapa sebagian besar gambar dalam Istirahatlah Kata-Kata diletakkan dalam bingkai lebar, yang terkesan “ramah” dan sedap dipandang? Bukankah Wiji Thukul dan keluarganya selalu dibayang-bayangi ketakutan? Kalau pemilihan bingkai itu menunjukkan bahwa sinematografer tak ingin menyampaikan rasa takut dengan bahasa gambar yang lumrah, mengapa menyorot Wiji Thukul yang bergelap-gelap di kamar dan kelihatan gelisah?

7. Dialog bertele-tele dan mubazir: Fitri (Putri Fathiya), yang sedang belajar dengan bantuan sinar lilin karena listrik padam, dan ibunya, Sipon; Ida dan Thukul (“Abang nanti pulang lagi enggak ke sini?” “Pulang.” “Pulanglah, ya”); Thukul dan seorang ibu yang bayinya menangis; Thomas (Davi Yunan) dan Thukul soal insomnia dan tuak. Dialog-dialog itu tidak menggerakkan cerita maupun membangun kepribadian tokoh-tokoh yang mengucapkannya. Mereka cuma basa-basi.

Baca juga artikel terkait WIJI THUKUL atau tulisan lainnya dari Dea Anugrah

tirto.id - Film
Reporter: Dea Anugrah
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Fahri Salam