tirto.id - Wiji Thukul memperingati hari kelahirannya yang ke-58 pada 26 Agustus lalu. Sebagai kado ulang tahun kali ini, anaknya, Fajar Merah, membuat album musikalisasi delapan puisi bapaknya yang diambil dari buku kumpulan puisi berjudul Aku Ingin Jadi Peluru.
Namun ulang tahun Thukul bukanlah peristiwa yang menggembirakan apalagi patut dirayakan. Sebaliknya, pada saat itu keluarga—dan kita semua—akan kembali mengingat bahwa Thukul hilang diculik menjelang Reformasi 1998 oleh Tim Mawar Kopassus. Sejak itu keluarga dan para sahabat merayakan hari ultah Wiji Thukul tanpa pernah dihadiri oleh Wiji Thukul. Merayakan dengan ratapan sekaligus harapan bahwa dia akan kembali suatu hari nanti.
Peluncuran album musikalisasi puisi Fajar Merah, selain memperingati dan mendoakan Thukul, juga menjadi momentum untuk melawan lupa. Peringatan kali ini juga menjadi momen menggungat pemerintah agar menyelesaikan kasus penculikan, tak hanya terhadap Thukul tapi juga belasan aktivis prodemokrasi lain pada 1997-1998.
Harapan sempat muncul ketika Joko Widodo muncul bertahun-tahun yang lalu. Dari semua presiden pasca-Reformasi, hanya Jokowi yang mengenal keluarga Thukul. “Kebetulan saya kenal baik dengan Wiji, dia, kan, orang Solo. Sama keluarganya saya juga kenal, saya tahu rumahnya ada di mana,” ujar Jokowi pada 2014 lalu, ketika masih berstatus calon presiden. Ia juga mengaku menyukai puisi-puisi Thukul.
Saat menjadi Wali Kota Solo, Jokowi pernah mendatangi rumah Thukul di Kampung Jagalan untuk mengucapkan selamat kepada Fitri Nganthi Wani, anak perempuan Thukul, yang baru saja menikah. Saat menjadi Gubernur DKI Jakarta, Wani dan anaknya juga pernah menjumpai Jokowi.
Jokowi bertemu lagi dengan Wani saat kampanye Pilpres 2014. Kali ini ia bersama Utomo, ayah dari Bimo Petrus Anugrah, juga korban penculikan. Dalam pertemuan tersebut, keluarga menyampaikan harapan agar Jokowi menyelesaikan kasus penculikan aktivis 1997-1998. Paling utama, membentuk semacam “komisi” untuk melakukan pencarian atas mereka yang masih dinyatakan hilang.
Keinginan melihat kembali orang terkasih membuncah ketika Jokowi, di hadapan media, berjanji Thukul dapat ditemukan dalam kondisi apa pun. “Harus ditemukan. Harus jelas. Bisa ketemu. Hidup atau meninggal,” ujar Jokowi. Harapan singkat juga sempat tumbuh ketika pemerintahan Jokowi menyatakan akan menuntaskan tujuh kasus pelanggaran berat HAM masa lalu. Kasus tersebut adalah pembantaian 1965-1966; penembakan misterius (petrus) 1982-1985; Talang Sari di Lampung (1989); penghilangan orang secara paksa 1997-1998; kerusuhan Mei 1998; Trisakti, Semanggi I, dan Semanggi II dan Wasior serta Wamena.
Namun harapan itu tak pernah terwujud. Selama lima tahun pertama berkuasa, Jokowi ternyata belum berbuat apa-apa untuk memenuhi janjinya.
Jokowi kembali dilantik sebagai presiden untuk periode kedua, 2019-2024, pada Oktober 2019. Bukannya ada titik terang, penyelesaian kasus penghilangan paksa tampaknya semakin berat karena ia malah mengangkat Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan. Prabowo adalah bekas komandan Kopasus yang dinyatakan turut terlibat dan memberi perintah penculikan aktivis di masa Orde Baru.
Janji Jokowi ternyata tidak tercermin dalam kebijakan penyelesaian kasus penculikan aktivis 1997-1998 atau secara khusus pada kasus Wiji Thukul. Ia lebih memilih melayani kepentingan pragmatis partai pendukung dan oligarki di sekitarnya.
Fajar Merah pernah mengingatkan Jokowi akan janjinya pada masa kampanye. “Saya cuma pengin ngomong sama Pak Presiden, karena saya yakin mata saya ini masih normal dan Pak Presiden juga punya telinga, sama seperti kita semua. Semoga ini disampaikan pada hati beliau. Jadilah presiden sebagaimana mestinya presiden itu, kalau dirasa punya janji, ya, ditepati," ujarnya.
Fitri Nganthi Wani juga menuntut hal yang sama. “Kami menuntut keadilan dan janji-janji yang diucapkan oleh Presiden. Saya sudah lelah dengan harapan. Harapan bagi saya itu racun.”
Harapan Wani dan Fajar juga menjadi harapan Siti Dyah Sujirah atau Mbak Sipon, istri Thukul. “Waktu Jokowi terpilih sebagai presiden, saya berharap semoga PR-PR (pekerjaan rumah) dari presiden sebelumnya bisa terselesaikan, terutama kasus penghilangan Thukul," tuturnya.
Penantian yang tidak pasti keluarga Wiji Thukul adalah bagian kecil dari kisah keluarga korban kejahatan HAM di masa Orde Baru. Selama 23 tahun sejak Reformasi terjadi, mereka tetap berharap ada penyelesaian.
Nasib Thukul, juga keluarganya, seperti puisi “Derita Sudah Naik Seleher”:
“kau lempar aku dalam gelap
hingga hidupku menjadi gelap
kau siksa aku sangat keras
hingga aku makin mengeras “
Puisi sebagai Simbol Perlawanan
Wiji Thukul lahir pada 26 Agustus 1963 di Kampung Sorogenen, Solo, Jawa Tengah, yang mayoritas penduduknya adalah buruh dan tukang becak. Ayahnya sendiri seorang tukang becak dan buruh. Sebagai anak tertua dari tiga bersaudara, dia berhasil menamatkan SMP pada l979, lalu masuk SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) Jurusan Tari, tetapi tidak tamat dan keluar pada 1982. Selanjutnya ia hidup dari berjualan koran, lalu bekerja di sebuah perusahaan mebel antik menjadi tukang pelitur. Pada waktu bekerja sebagai tukang pelitur inilah Thukul kerap membacakan puisinya di hadapan teman sekerja.
Menulis puisi dilakukan Thukul sejak SD; pada dunia teater ia tertarik sejak SMP. Ia pernah menjadi anggota Teater Jagat (Jagalan Tengah). Bersama-sama kawan dari Teater Jagat itulah ia keluar masuk kampung, mengamen dan membaca puisi dengan iringan berbagai instrumen musik: rebana, gong, suling, kentongan, gitar, dan sebagainya. Ia mengamen tidak hanya di Solo tapi juga sampai ke Yogyakarta, Klaten, Bandung, bahkan Surabaya.
Puisi bagi Wiji Thukul bukanlah tentang keindahan dunia, sebagaimana ia nyatakan sendiri:
“puisiku bukan puisi
tapi kata-kata gelap
yang berkeringat dan berdesakan
mencari jalan
ia tak mati-mati
meski bola mataku diganti
ia tak mati-mati
meski bercerai dengan rumah
ditusuk-tusuk sepi
Ia tak mati-mati
Telah kubayar yang dia minta
umur, tenaga, luka”
(Aku Masih Utuh dan Kata-Kata Belum Binasa)
Dalam pengantar buku puisi Mencari Tanah Lapang (1994), Arief Budiman mengatakan puisi Thukul adalah autobiografi si penyair itu sendiri. Namun, selain pengalaman hidupnya, ia juga sekaligus menceritakan nasib jutaan rakyat Indonesia yang dimiskinkan oleh pembangunan yang terlalu menguntungkan kaum elite. Arief juga mengatakan puisi-puisi Wiji Thukul adalah duri di makanan para pejabat. Sementara Romo Y. B. Mangunwijaya mengatakan dia menyukai puisi Wiji Thukul karena “melagukan amanat pederitaan rakyat yang harus saya dengar serius kalau saya masih ingin disebut rohaniawan” (“PRD” dalam apakabar@clark.net).
Puisi Wiji Thukul menjadi populer bukan karena dipuji kritikus atau dimuat dalam majalah sastra dan koran arus utama. Puisinya tenar karena berdenyut bersama masyarakat. Puisinya menjadi bacaan wajib dalam aksi-aksi jalanan mahasiswa dan rakyat menuntut demokrasi dan perubahan. Kutipan dari puisinya yang berjudul “Peringatan”, “hanya ada satu kata, lawan!” menjadi slogan dalam aksi-aksi rakyat.
Munir, aktivis HAM yang meningal diracun di udara, mengatakan cuplikan puisi tersebut telah menjadi simbol perlawanan atas otoritarianisme. Kalimat pendek tersebut menurutnya juga menunjukkan pilihan hidup Thukul untuk bergabung dengan barisan perlawanan atas rezim militeristik Orde Baru (bagian pengantar buku Aku Ingin Jadi Peluru).
Meski populer, Thukul sadar betul bahwa puisinya tidak bisa memenuhi kebutuhan hidup dia dan keluarga. Karena itu ia bekerja untuk menambah penghasilan. Ia membantu istrinya dengan membuat sablon, tas, dan menjadi tukang pelitur (mengecat kayu agar mengkilap).
Keluarganya mengontrak rumah di Kampung Kalangan. Di rumah ini ia mendirikan Sanggar Suka Banjir sebagai tempat anak-anak kampung belajar seni pembebasan melalui media gambar, cukil kayu, lagu, tarian, dan teater. Dipilih nama “Suka Banjir” karena memang sanggar itu kerap banjir bila turun hujan.
Namun semua kegiatan seni tidak dapat menyembunyikan kegundahan Thukul, seperti yang ia ungkapkan dalam puisi berikut:
“ibu kelap kelip matanya ngitung hutang
jam enam sore
bapak pulang kerja
setelah makan sepiring
lalu mandi tanpa sabun
tadi siang ibu tanya padaku
kapan ada uang ?
jam setengah tujuh malam
aku berangkat latihan teater
apakah seni bisa memperbaiki hidup !”
(Catatan Hari Ini)
==========
Artikel ini merupakan bagian pertama dari dua artikel untuk merayakan ulang tahun Wiji Thukul yang dilahirkan pada 26 Agustus 1963.
Wilson Obrigados adalah anggota Dewan Penasihat Ikatan Keluarga Orang Hilang Indonesia (Ikohi) dan staf Amnesty International Indonesia 2017-2018.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Rio Apinino