Menuju konten utama
Misbar

Shrinking, Rangkulan Hangat dan Tawa untuk Melewati Duka

Shrinking menunjukkan pada kita sisi manusiawi para profesional kesehatan mental. Di waktu-waktu tertentu, mereka juga butuh uluran tangan “orang biasa”.

Shrinking, Rangkulan Hangat dan Tawa untuk Melewati Duka
Film Shrinking. FOTO/IMDB

tirto.id - Selepas berjam-jam mendengarkan keluhan pasien setiap harinya, lantas pada siapa para terapis mencurahkan isi hati, menguliti duka mereka sendiri? Shrinking bermula dari pertanyaan itu. Serial drama komedi kreasi bersama Bill Lawrence, Jason Segel, dan Brett Goldstein ini tayang sejak Januari 2023 di Apple TV+.

Shrink adalah istilah yang digunakan untuk menyebut para profesional di bidang kesehatan mental seperti psikolog, psikiater, dan terapis.

Bagi Lawrence, ini adalah kisah orang-orang kebanyakan yang berduka, berbalur trauma, atau sekadar merasa dunia menuju kolaps, yang ditulis olehnya dan rekan-rekan, orang-orang Hollywood yang “shrinked up”.

Dalam beberapa hal, serial ini mengingatkan kita pada Ted Lasso, serial komedi drama sepak bola populer di mana Lawrence dan Goldstein juga terlibat di dalamnya. Ada aspek-aspek yang memang mirip, mulai dari komedinya, siasat merekatkan para karakternya, deretan score baik muram atau penuh semangat seiring perubahan situasi, hingga suasana yang ditimbulkan lagu tema gubahan komposer Tom Howe dan Benjamin Gibbard dari Death Cab for Cutie.

Kendati berbagi ciri serupa dengan serial lain, Shrinking tetaplah serial dengan pesonanya sendiri.

Fatherhood, Support System, dan Keluar dari Pusaran

Sedari mula, karakter Jimmy (Jason Segel) ditampilkan memiliki beberapa isu pribadi. Ketika melihat dia berangkat menuju klinik cognitive behavioral therapy di suatu pagi, mereka yang tak menyaksikan trailer-nya bakal mengira Jimmy datang untuk menjalani terapi. Namun nyatanya, dialah sang shrink, terapis itu sendiri.

Shrinking dipenuhi orang-orang yang merasa terjebak dalam hidup, dengan kerentanan masing-masing, entah itu para pasien yang menjalani terapi maupun Jimmy sendiri. Duka berkepanjangan akibat kehilangan istri menjadikan Jimmy nyaris absen menjadi ayah bagi anak remajanya, Alice (Lukita Maxwell), yang justru menjalin hubungan orang tua-anak dengan tetangga mereka Liz (Christa Miller).

Duka dan upaya Jimmy untuk terkoneksi kembali dengan sang anak lantas menjadi keping pertama domino yang berlanjut pada rentetan situasi lain dalam serial. Mulai dari menerapkan psychological vigilante yang tidak etis sebagai terapis, mengisi kekosongan dengan menjadi terlalu terlibat pada hidup para pasien, dan pada akhirnya menemukan cara untuk kembali memanjat ke permukaan usai mendapati dirinya terbenam dalam rock bottom.

Bagaimanapun, profesi Jimmy memberikannya privilese: dapat berkonsultasi gratis dengan rekan kerja seperti Gaby (Jessica Williams) dan Dr. Paul Rhoades (Harrison Ford).

Selain sebagai rekan dan profesional yang kompeten, karakter-karakter menarik ini juga manusia dengan isu pribadi masing-masing. Paul kadang membidikkan kemarahannya ke arah yang tidak tepat, sementara Gaby bahkan sempat “meledak” di ruang publik.

Kendati sesekali diberlakukan sebagai comic relief, Shrinking secara keseluruhan tak menempatkan terapis sebagai samsak tawa. Ia malah menekankan bahwa para terapis pun, seperti halnya kebanyakan manusia, bisa tiba-tiba kehilangan akal saat menghadapi masalahnya sendiri.

Maka solusi yang ditawarkan serial ini tak lain ialah support system yang kuat. Komunitas, lingkar pertemanan yang senantiasa siap membantu sama lain, tak sungkan menghadapi kesulitan bersama—sebagaimana yang ditampilkan pada sekuens animasi pada opening setiap episode, di mana para karakternya terjebak dalam labirin rumit di mana setiap orang menjadi terapis untuk satu sama lain.

Poin tersebut berulang kali ditampilkan berikut dengan keterkaitan di antara seluruh karakter utamanya. Dalam membantu tumbuh-kembang karakter remaja seperti Alice, misalnya, Shrinking seolah menerapkan peribahasa Afrika "It takes a village to raise a child".

Di banyak waktu, “orang-orang biasa”-lah yang menolong trio terapis di luar ruang praktiknya. Ambil contoh ketika Gaby “meledak” di depan orang banyak, seorang pasien bernama Sean (Luke Tennie) lah yang justru membantunya meminta maaf kepada publik. Belum lagi sederet ulah Jimmy.

Dalam penceritaannya, Shrinking bakal terasa uplifiting sebelum beranjak menuju situasi kacau atau kerunyaman lain lantaran potensi konflik selalu membayangi. Potensi-potensi itu bisa bersumber dari naik-turunnya hubungan keluarga dan pertemanan karena minimnya komunikasi, pemutusan hubungan, hingga kondisi kesehatan mental para karakternya.

Beberapa episodenya menyediakan resolusi di akhir sehingga memberi penonton kesan relaks. Pada episode-episode paling biasa (yang sekadar melanjutkan plot), dialog dan lines memukau pun selalu hadir. Ungkapan menohok lagi tak ternilai bisa ditemukan dalam obrolan-obrolan ringan, tak hanya saat terapi berbayar.

Season pertama Shrinking ini pun berakhir dengan resolusi. Jimmy dan Paul, para sosok ayah yang “tak hadir” entah karena duka atau obsesi dengan pekerjaan, perlahan menemukan arah yang terang. Begitu juga dengan Sean dalam kisah kebalikannya dan kisah-kisah karakter lain yang bukan soal hubungan ayah-anak.

Bagi Jimmy, arc-nya bahkan nyaris sempurna. Upayanya untuk keluar dari titik hidup tergelap turut mengembalikan hubungannya dengan sang sahabat karib, Brian (Michael Urie). Dia bahkan terlibat dalam periode penting dalam hidup sang sahabat.

Selepas 10 episode di mana kita melihat apa saja yang dilalui sang terapis, Jimmy siap untuk hadir di momen besarnya, memberi pidato dalam pernikahan Brian yang mengangkut inti serial ini: "friends got your back".

Sarat Kelucuan dalam Bingkai Kepedihan

Setelah mendapati bagaimana serialnya bekerja, kita pun bisa berekspektasi bahwa Shrinking bakal memberi kita lebih banyak perkembangan pada arc setiap karakter utamanya di musim selanjutnya. Bagaimana ia disampaikan menjadi sajian nikmat seperti halnya season perdana ini, jelas menjadi PR besar bagi tim penulisnya.

Mereka kentara berupaya keras membuat tiap momen, juga seluruh dialognya, jadi tak menjemukan dengan comedic timing jempolan.

Sekalipun dengan kuatnya pengaruh komedi, Shrinking bisa jadi dianggap kelewat main-main terutama dalam urusan membangun plot. Misalnya, tak ada build up mendalam untuk menghubungkan para karakternya.

Shrinking bisa dikatakan meminjam formula sitcom atau bahkan opera sabun yang para tokohnya sering kali muncul tiba-tiba dan acapkali punya begitu banyak waktu luang untuk bercengkerama dalam dunia di mana setiap orang dapat dengan cepat menjadi teman.

Di lain sisi, poin-poin di atas bisa jadi sekadar karakteristik serial rekaan Lawerence dan Goldstein yang cenderung menghadirkan pertemanan yang penuh kehangatan. Keakraban dan kenyamanan yang sanggup bikin iri lantaran terasa agak khayali.

Bukan berarti hal itu tak bakal terjadi di dunia nyata. Namun, siapa juga yang masih punya energi dan inisiatif untuk terkoneksi dengan orang lain saat kita sendiri berada dalam periode penuh ketidakpastian lagi depresif?

Infografik Misbar Shrinking

Infografik Misbar Shrinking. tirto.id/T‌ino

Tentu tak semua orang bisa dengan mudah reach out (apalagi dengan orang baru). Tak banyak pula yang bersedia ditanyai perihal kondisi mentalnya pada waktu yang tak terduga. Dan pastinya, bukan hal mudah bagi mereka yang kepalang mengisolasi diri untuk menjalin koneksi sepanjang waktu.

Shrinking seolah menyederhanakan aspek-aspek tersulit dalam menjalin dan menjaga koneksi—yang bisa dimaklumi mengacu pada sifat serial ini.

Topik berat yang dibawakan dengan ringan pun tak membuat Shrinking kehilangan sensitivitasnya. Dengan sadar diri ia menjadikan sentimen terhadap kalangan mayoritas berprivilese sebagai guyonan, serta white guilt sebagai banyolan. Kreatornya selalu menemukan jalan untuk menyisipkan kelucuan kasual pada bingkai yang serius.

Bila persoalan macam itu “kelewat Amerika”, ia menyediakan dilema moral yang lebih universal seperti berhubungan seks dengan teman mantan istri.

Lantaran sifat serial yang ringan pula, ada potensi untuk melewatkan apa yang ingin disampaikan pada setiap kemarahan dan konfliknya. Sebaliknya, hal itu justru menimbulkan efek positif pada rangkaian dialog serta situasi jenaka yang ditampilkan dengan jitu oleh para aktornya. Mereka “menyusut” dan bersinar bersama dalam karakter masing-masing.

Jason Segel membawakan segalanya dengan cemerlang. Dia mampu beralih mood dan ekspresi wajah dalam waktu singkat—dengan tetap penuh kesadaran diri dan insekuritas. Christa Miller dari waktu ke waktu menjadi bintang dalam menampilkan Liz sebagai figur emak-emak sekaligus karakter yang keren, meski senantiasa butuh penenteraman dari orang-orang terdekat.

Begitu pun Harrison Ford yang dengan image-nya di dunia hiburan sebagai pribadi yang galak, kali ini justru datang untuk melawak. Dia tampak menikmati betul waktunya dalam serial TV—gig yang tak begitu sering dia lakoni.

Dan tentu, jangan lupakan Ted McGinley sebagai Derek yang penuh one liner yang tak pernah tak lucu. Akan menarik untuk melihat bakal diapakan karakter macam Derek kelak. Apakah akan tetap muncul sesekali dengan satu-dua kalimat konyol atau bahkan digali lebih lanjut.

Pada satu momen singkat, Derek sebetulnya menunjukkan bahwa dia secara sadar menunjukkan kepribadian dua dimensional. Apakah ini sebetulnya justu coping mechanism paling jitu dalam menjalani hidup di dunia macam ini?

Di dunia yang macam ini pula, Shrinking menunjukkan bahwa kita semua—yang memiliki akses—bakal terbantu oleh support system, lebih-lebih terapi. Serial TV sehangat dan semenghibur ini, sesuai porsinya, cukup membantu meringankan. Meski tentu saja, ia tidak sepenuhnya melepas beban emosional yang kaupanggul kemana pun kau melangkah 24/7 itu.

Baca juga artikel terkait SERIAL TV atau tulisan lainnya dari R. A. Benjamin

tirto.id - Film
Penulis: R. A. Benjamin
Editor: Fadrik Aziz Firdausi