tirto.id - Jaksa Agung Sanitiar Burhanuddin membuka kemungkinan penerapan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Hal itu tengah dikaji untuk kasus seperti Asabri dan Jiwasraya yang tidak hanya menimbulkan kerugian negara, tapi juga berdampak luas kepada masyarakat.
Kasus korupsi PT Jiwasraya menimbulkan kerugian negara sebesar Rp16,8 triliun, sedangkan korupsi PT Asabri (Persero) sekitar Rp22,78 triliun. Burhanuddin mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara tersebut.
Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) dan Transparency International Indonesia (TII) tidak sepakat dengan rencana tuntutan hukuman mati bagi pelaku korupsi. Tindakan tersebut dinilai sebagai kebuntuan dalam menangani kasus rasuah.
"Pengembalian dan perampasan aset hasil tindak pidana korupsi yang belum optimal dan wacana pemiskinan bagi para koruptor justru layak untuk dipertimbangkan," ucap Direktur LBHM Afif Abdul Qoyim dalam keterangan tertulis yang dikutip pada Minggu (31/10/2021).
Selain itu, LBHM dan TII juga mengusulkan penambahan sanksi moratorium bagi mantan napi korupsi untuk terjun kembali ke dunia politik dalam jangka waktu tertentu. Dengan begitu, mereka tidak bisa berlaga dalam kontestasi politik yang sarat dengan biaya tinggi tersebut.
Afif juga menekankan pentingnya menghitung kerugian sosial akibat korupsi yang dibebankan pada para terpidana korupsi. Kerugian itu dikembalikan pada keuangan negara yang akan digunakan untuk pembangunan dan masyarakat sebagai penerima manfaatnya.
"Tentu ini pekerjaan rumah utama dalam mengawal agenda pemberantasan korupsi. Berkaca dari hal tersebut artinya tindakan Jaksa Agung yang menuntut pidana mati dalam kasus korupsi sangat tidak tepat dengan agenda pemberantasan korupsi yang saat ini masih belum memuaskan," terang Afif.
Setali tiga uang dalam penanggulangan narkotika, hukuman mati tidak mampu menyelesaikan persoalan peredaran gelap narkotika. Sehingga rencana dan penerapan hukuman mati bukan solusi dari penyelesaian tindak pidana. Praktik tuntutan pidana mati berkontribusi terhadap laju vonis pidana mati yang semakin meningkat.
Padahal saat ini kondisi global mulai menerapkan penghapusan hukuman mati. Tindakan Jaksa Agung ini kontraproduktif dan menyulitkan upaya diplomasi Indonesia untuk memberikan perlindungan buruh migran yang terancam hukuman mati dan eksekusi mati. Hal itu juga menghambat pengembalian aset hasil tindak pidana korupsi yang berada di negara-negara abolisionis.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Gilang Ramadhan