tirto.id - India dalam film Hotel Mumbai berbeda dari India dalam film Bollywood kebanyakan yang terlihat gembira, sering mengharu-biru, tapi selalu joget. Hotel Mumbai (selanjutnya HM) menggambarkan India sebagai negara berpenduduk terpadat kedua di dunia, lengkap dengan sudut-sudut kumuh kota, jalanan ramai nan berisik, stasiun padat penumpang, dan rumah-rumah kecil di gang sempit. Semuanya kontras dengan gedung perkantoran pencakar langit, lokasi perkantoran yang bersih, dan Hotel Taj yang megah.
Dirilis pada 2018, HM disutradarai oleh Anthony Maras dan mengangkat serangan teror Mumbai di Taj Mahal Palace Hotel di India pada 2008. Memulai debut perdana di Toronto International Film Festival pada 7 September 2018, film berdurasi 125 menit ini rilis di Indonesia pada 6 April 2019.
Aksi teror di Mumbai pada 2008 sendiri didalangi oleh Laskar-e-Taiba, organisasi Islamis ekstremis terbesar asal Pakistan dan paling aktif di Asia Selatan. Serangan pada November 2008 itu sendiri terjadi selama empat hari non-stop di 12 lokasi berbeda di Mumbai. Setidaknya 174 orang tewas dan 300 orang luka-luka dalam kejadian ini.
Pemerintah India menyampaikan bahwa pelaku teror datang dari Pakistan dan otak serangan dikendalikan dari negara jiran India tersebut. Islamabad kemudian mengonfirmasi bahwa satu-satunya pelaku yang selamat dari serangan merupakan warga Pakistan. Memang banyak serangan teror terjadi di Mumbai sejak ledakan bom yang menewaskan 257 orang dan melukai 700 orang pada 12 Maret 1993. Serangan tersebut dilakukan sebagai pembalasan atas sebuah kerusuhan yang menewaskan banyak umat Muslim di India.
Namrata Joshi dari The HinduHM berhasil mendokumentasikan dengan baik berbagai perspektif dari serangan teror tersebut. Aksi heroik dari para staf hotel, kengerian yang dialami para tamu dan turis, serta pelaku teror yang melakukan serangan demi uang. HM dianggap sebagai film yang paling berhasil menyeimbangkan drama dan kisah serangan berdarah yang mengerikan.
Dari Film Pendek ke Panjang
HM bukanlah film pertama yang mencoba memaparkan kengerian aksi teroris di Mumbai pada 2008. Beberapa film telah mencoba mengeksplorasi aksi teror dari berbagai sudut pandang. Mulai dari Terror in Mumbai (2009) yang menggambarkan panggilan telepon antara pelaku teror dan pengendali mereka di Pakistan. Kemudian ada Taj Mahal (2015) yang mengambil sudut pandang gadis Perancis 18 tahun yang terjebak di kamar hotel saat serangan teror terjadi. Lalu The Attacks of 26/11 (2013) yang merekam secara brutal kengerian teror. Akhirnya, ada Mumbai Siege: 4 Days of Terror (2018) yang berangkat dari situasi menegangkan para turis di Taj.
Meski bukan yang pertama, skenario yang ditulis John Collee dan Maras sendiri berfokus pada serangan yang terjadi di Taj dan aksi heroik para staf hotel menyelamatkan para tamu. “Tamu adalah dewa” merupakan adagium yang dipegang teguh oleh Arjun (Dev Patel) dan kepala koki Hemant Oberoi (Anupam Kher) saat berusaha menyelamatkan puluhan tamu hotel, ketika bisa saja mereka mementingkan keselamatan pribadi dan kabur menyelamatkan diri lewat tangga darurat.
Arjun adalah staf yang bertugas pada malam nahas teror tersebut. Ia menjalankan perintah di bawah pengawasan koki Oberoi. Malam itu, mereka kedatangan tamu istimewa, yakni pewaris hotel bernama Zahra, seorang perempuan blasteran Iran-Inggris, yang berkunjung ke India bersama suaminya, David, pria asal Amerika, beserta putra mereka, Cameron, dan pengasuhnya Sally. Selain Zahra dan tamu lainnya pada malam itu, juga ada seorang mantan personel pasukan khusus Rusia bernama Vasili.
Di luar adegan pembunuhan sadis dan aksi baku tembak, HM tak sekadar mengangkat sisi jahat dan vulgarnya aksi terorisme. Ia juga coba mengulik kemungkinan-kemungkinan yang membuat orang menjadi pelaku teror. Para pelaku adalah remaja tanggung, miskin, tidak bisa berbahasa Inggris. Alih-alih demi agama, aksi-aksi pembunuhan dilakukan demi imbalan uang untuk keluarga.
Maras teliti menyisipkan ketegangan demi ketegangan. Ia tak terburu-buru. Ia tahu kapan harus mengeliminasi korban satu per satu. Penonton dapat melihat bagaimana seorang turis Tiongkok yang bahunya tertembak berusaha menyelamatkan diri. Setelah dikira tewas ketika terpisah dari pacar bulenya, ia dikisahkan masih selamat. Ketegangan juga digambarkan dengan sukses ketika Zahra dengan tegar melafalkan bacaan salat di hadapan seorang teroris setelah menyaksikan remaja tanggung itu menghabisi satu-persatu turis asing, termasuk suaminya.
HM adalah debut film panjang Anthony Maras. Namun, pengalaman pertama tak membuat film ini buruk. Kecakapan Maras mengeksekusi film pendek nampaknya membuatnya lebih luwes menjahit satu demi satu kejadian yang dialami para korban, staf hotel, dan juga pelaku teror sendiri. Sebelumnya, Maras pernah membuat film pendek Azadi (2005) yang mengisahkan perjuangan seorang guru asal Afghanistan beserta putranya yang melarikan diri dari tanah Taliban untuk mencari kehidupan baru di Australia.
Di sisi lain, Maras tak menjelaskan secara eksplisit latar belakang 10 pemuda pelaku teror. Pemuda yang berperawakan seperti warga lokal tentu akan sulit diketahui negara asalnya. Bahasa yang digunakan di telepon juga tidak banyak membantu.
Aksi ekstremis ini jelas dilakukan atas nama Islam dan Muslim. Para pelaku beberapa kali melafazkan nama Allah saat melancarkan aksi dan batal membunuh Zahra karena ia Muslim. Namun demikian, penonton tetap kebingungan menebak siapa otak di balik kejadian mengerikan ini.
Salah satu adegan berusaha memberi petunjuk lewat Vasili, personel pasukan khusus Rusia (Spetsnaz) yang pernah terjun di kancah perang Rusia dan Afghanistan. Otak serangan yang berada di balik telepon ternyata punya dendam dengan Vasili. Namun, serangan di Mumbai tidak semerta-merta hanya mengincar Vasili atau orang Rusia lainnya di Mumbai. Sasaran mereka adalah orang-orang non-Muslim.
HM sempat dituding menyudutkan Islam terkait rilisnya setelah kejadian di Christchurch, bahkan ditarik dari bioskop-bioskop di Selandia Baru. Namun, Maras menolak anggapan ini. Menurutnya, perilisan film seperti ini memang tricky dan tidak pernah ada waktu yang benar-benar tepat.
Tapi HM sendiri tidak bertujuan menyudutkan keyakinan apapun. Ia hanya mengungkap segala kerusakan yang harus dibayar akibat aksi-aksi terorisme sayap kanan yang kini marak di berbagai belahan dunia, yang kebetulan muncul dalam balutan agama di Mumbai.
Editor: Windu Jusuf