tirto.id - Ketika Sultan Hassanal Bolkiah baru lahir pada Juli 1946, Soeharto sudah jadi letnan kolonel TNI di Yogyakarta. Sebagai orang biasa, Soeharto harus bekerja keras dan bekerja cerdas menjalani kariernya sebagai perwira. Sementara Bolkiah hanya perlu bersikap manis dalam menjalani hidup di negerinya nan kecil tapi tajir di bagian utara pulau Kalimantan.
Soeharto mau tidak mau harus jadi tentara demi kehidupan lebih baik pada masa mudanya. Dia juga mungkin tak menyangka bakal jadi perwira, apalagi sampai jenderal, apalagi sampai jadi presiden. Tak ada wangsit, tapi kerja keras dan dukungan lingkungan sekitar lah yang membuat Soeharto jadi orang nomor satu di Indonesia.
Sebaliknya dengan Bolkiah, menjadi tentara lebih sebagai tradisi anak-anak bangsawan. Seperti pernah dijalani Pangeran Harry, Pangeran Charles, atau Pangeran Vajiraalongkorn (sebelum jadi Raja Thailand). Cukup jadi perwira baik dan bersabar, pangkat jenderal bisa mereka peroleh.
Bahkan cukup dengan jadi anak manis yang mau belajar untuk jadi raja, maka jadilah Hassanal Bolkiah Sultan Brunei ke-29 pada 5 Oktober 1967. Gelarnya: Kebawah Duli Yang Maha Mulia Paduka Seri Baginda Sultan Haji Hasannal Bolkiah Al Mu’izzaddin Waddaulah Ibni Almarhum Sultan Omar Ali Saifuddin. Di tahun yang sama, Soeharto mulai menjadi orang terkuat di Indonesia, dengan menduduki kursi Pejabat Presiden. Belakangan gelarnya pun tak sepanjang Sultan Brunei, cukup Bapak Pembangunan.
Saling Menghormati
Hassanal Bolkiah adalah orang muda yang menghargai Soeharto. Dia merasa Soeharto adalah orang yang mengakui dan menghormati kedaulatan Brunei Darussalam. “Pada tahun 1981, Negara Brunei Darussalam tidak lama lagi akan mencapai kemerdekaan sepenuhnya dan justeru itu ingin mendapat sokongan terhadap pencalonan dan keanggotaan di dalam pertubuhan ASEAN,” aku Bolkiah dalam tulisannya, "Mempelopori Visi Negara Yang Aman, Progresif dan Makmur" yang dimuat di buku Pak Harto: The Untold Stories (2012: 45).
Sejak awal kemerdekaannya, pada 1984, Brunei Darussalam telah menjadi sahabat bagi Republik Indonesia. Dalam kunjungan Bolkiah di Istana Merdeka pada 23 Oktober 1984, seperti tercatat dalam Jejak Langkah Pak Harto 16 Maret 1983 – 11 Maret 1988 (2003: 229), Soeharto menjelaskan kepadanya, “selama berdasarkan pada Pancasila, Indonesia tidak akan menjadi negara ekspansionis atau mengganggu kemerdekaan bangsa lain.”
Soeharto seperti hendak menjelaskan kepada kepala negara yang masih muda tapi berkuasa di negerinya itu bahwa tidak akan ada Konfrontasi Ganyang Malaysia gaya baru untuk Brunei. Soeharto tak ambil pusing soal bagaimana Brunei merdeka dan bagaimana hubungan Brunei dengan Inggris atau negara adidaya lainnya. Tentu saja Brunei sangat menghargai sikap Soeharto tersebut.
Brunei Darussalam adalah negara yang cepat diterima sebagai anggota ASEAN. Brunei adalah anggota ke-6 perkumpulan negara-negara Asia Tenggara yang dikenal anti-komunis itu. Dengan reputasi sebagai negara monarki Islam, Brunei tentu tidak sulit diterima sebagai anggota ASEAN.
Berkali-kali Bolkiah telah mengadakan kunjungan kenegaraan ke Indonesia. Salah satunya pada September 1987. Menurut Retnowati Abdulgani Knapp dalam Soeharto: The Life and Legacy of Indonesia Second Presedent (2007), Sultan Brunei tak hanya datang bawa diri, tapi disertai pinjaman tanpa bunga sebesar US$100 Juta. Hal ini, catat Retnowati, “memperlihatkan kepercayaan dan dukungan dari negara tetangga dekat dalam upaya pemerintah untuk membangun bangsa” (hlm. 219).
Semua tahu Kesultanan Brunei Darussalam adalah negara kecil yang kaya minyak bumi. Sultan Brunei bahkan menjadi salah satu dari beberapa kepala negara terkaya di dunia. Bisnis Bolkiah tidak hanya minyak, tapi juga hotel. Menurut Business Insider, kekayaan Sultan Brunei sebesar 20 miliar dolar AS. Kekayaan raja Arab Saudi bahkan kalah dibanding raja dari negara kecil ini.
Bersekutu dalam Bisnis
Keluarga besar Soeharto juga menikmati hubungan antara Indonesia dengan Brunei Darussalam. Keluarga mertua daripada Siti Hardijanti Rukmana (Tutut), seperti dicatat George Junus Aditjondro dalam Korupsi Kepresidenan (2006), ikut serta dalam pembangunan pelabuhan di Brunei Darussalam di awal tahun 1990-an. Sementara Tutut sendiri—bersama Sultan Brunei—menjadi pemilik hotel berbintang lima Nusa Dua Beach Hotel di Bali (hlm. 162).
Di mata Bolkiah, Soeharto adalah pemimpin visioner yang punya posisi penting di Asia Tenggara, terutama di ASEAN. Sudah pasti Soeharto terlihat bijaksana dan berwibawa. Bagi Bolkiah pula, Soeharto adalah insan yang tenang lagi terhormat. Setidaknya itu yang terekam dalam benak Sultan Brunei sejak kunjungan pertamanya pada April 1981.
Setelah Soeharto tak jadi Presiden RI lagi, dia tetap menjadi orang yang dihormati Bolkiah. Pada salah satu unggahan di akun Instagramnya, Tutut pun sangat terkesan oleh sikap Sultan Brunei ini.
Ketika Soeharto sakit keras pada awal 2008, beberapa minggu sebelum kematian Presiden RI ke-2 itu, Sultan Brunei pun tak segan menjenguknya. Bahkan membawa seorang mufti (pemuka agama Islam) dari Brunei pula. Bolkiah mendoakan sahabatnya, yang selalu dia anggap sebagai pemimpin besar Asia Tenggara.
Editor: Ivan Aulia Ahsan