Menuju konten utama

Hari Perempuan Internasional: Kekerasan Berlipat, RUU PKS Mandek

Kasus kekerasan terhadap perempuan terus saja terjadi. Tahun lalu yang tercatat saja ratusan ribu.

Hari Perempuan Internasional: Kekerasan Berlipat, RUU PKS Mandek
Aktivis Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI) Banten berunjuk rasa memperingati Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) di Bundaran Ciceri, Serang, Banten, Kamis (10/12/2020). ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman/wsj.

tirto.id - Peringatan hari perempuan internasional, yang dipelopori seorang sosialis bernama Clara Zetkin pada awal abad ke-20 lalu, pada 8 Maret kemarin mengingatkan kita bahwa persoalan yang dialami perempuan masih begitu banyak. Salah satunya adalah kekerasan yang menyakitkan baik fisik atau mental.

Catatan Tahunan Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut sepanjang 2020 jumlah kasus kekerasan terhadap perempuan mencapai 299.911. Angka ini diperoleh dari tiga sumber, yaitu pengadilan negeri dan agama (291.677 kasus), lembaga mitra (8.234), dan Unit Pelayanan dan Rujukan Komnas (2.389).

Komisioner Komnas Perempuan Bahrul Fuad mengatakan total kasus kekerasan yang tercatat sebetulnya berkurang 31% dari tahun sebelumnya, yaitu 431.471 kasus. Bukan karena kasus kekerasan berkurang, namun kuesioner yang kembali menurun 50% dibanding tahun sebelumnya. Tahun 2019 ada 239 lembaga yang mengembalikan kuesioner kekerasan, sedangkan tahun ini hanya 120.

"Meski lembaga yang mengembalikan kuesioner berkurang 34%, terdapat peningkatan pengaduan kasus di masa pandemi. Data pengaduan ke Komnas Perempuan juga mengalami peningkatan drastis 60% dari 1.413 kasus di tahun 2019 menjadi 2.389 kasus di 2020," kata dia kepada reporter Tirto, Senin (8/9/2021).

Dari data yang dihimpun lembaga mitra (8.234 kasus), kasus paling menonjol ada di ranah privat, yaitu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) dan relasi personal, yaitu totalnya 6.480 kasus atau setara 79%. Dari jumlah tersebut, kasus terbanyak adalah kekerasan terhadap istri (KTI), yaitu sebanyak 3.221 kasus atau setara 49%.

Di peringkat kedua terdapat kekerasan dalam pacaran 1.309 kasus (20%), kekerasan terhadap anak perempuan sebanyak 954 kasus (14%), lalu kekerasan oleh mantan pacar, mantan suami, serta kekerasan terhadap pekerja rumah tangga.

Bentuk kekerasan yang paling menonjol adalah kekerasan fisik (2.025 kasus), kekerasan seksual 1.983 kasus, psikis 1.792, dan ekonomi 680 kasus.

Komnas Perempuan juga mencatat kekerasan yang terjadi di ranah publik atau komunitas--seakan-akan tak ada tempat di kolong langit yang benar-benar aman bagi perempuan. Di ranah ini tercatat 1.731 kasus atau setara 21%. Kekerasan seksual paling menonjol, yaitu 962 kasus, terdiri dari pemerkosaan 229 kasus, pencabulan 166 kasus, pelecehan seksual 181 kasus, persetubuhan 5 kasus, dan percobaan pemerkosaan serta kekerasan seksual lain.

"Kemudian... KBGS (kekerasan berbasis gender siber) meningkat dari 126 kasus di 2019 menjadi 510 kasus pada 2020. Bentuk kekerasan yang mendominasi KBGS adalah kekerasan psikis 49% (491) disusul kekerasan seksual 48% (479) dan kekerasan ekonomi 2% (22)," terang dia.

Sahkan RUU PKS

Manajer Kampanye Amnesty International Indonesia Justitia Avila Veda mengungkapkan betapa sulitnya mendampingi korban saat RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS) tak juga disahkan. Banyak kasus akhirnya tidak bisa dipidanakan karena tak ada aturannya.

Ia memberi contoh soal kekerasan berbasis gender siber yang sering kali berkaitan dengan pornografi. Lalu definisi pemerkosaan seperti dalam KUHP yang tak lagi memadai, yaitu harus ada penetrasi penis ke vagina. "Kalau penetrasinya menggunakan gagang sapu enggak bisa dibilang pemerkosaan. Hal yang tujuannya menyiksa itu enggak bisa dikejar, enggak masuk pasal pidananya," kata dia kepada reporter Tirto, Senin.

"Bahkan di tingkat dasar aturan kita ini sangat usang, makanya harus diperbaiki," tambahnya.

Menurutnya "belum disahkannya RUU PKS ini akan mengganggu akses keadilan korban yang mengalami kekerasan seksual." "Ini masalah yang rill, bicara soal bagaimana kita memposisikan perempuan di masyarakat. Kalau RUU ini enggak segera disahkan, berarti pemerintah, DPR, enggak peduli sama perempuan sementara perempuan ini rentan."

Komnas telah mengusulkan RUU PKS sejak 2012, tapi tak pernah terealisasi dan DPR baru meminta naskah akademiknya empat tahun kemudian. Tahun lalu DPR RI malah mengeluarkannya dari program legislasi nasional prioritas dengan alasan pembahasannya sulit. RUU PKS baru masuk prolegnas prioritas tahun ini.

Wakil Ketua Komisi VIII DPR Marwan Dasopang mengatakan sampai saat ini Badan Musyawarah (Bamus) DPR "sudah setuju [RUU PKS] tapi belum diparipurnakan." "Di Bamus fraksi sudah hampir bisa setuju, kalau itu [PKS] masih [nolak]. Mereka masih banyak catatan," kata dia kepada reporter Tirto, Senin. "Tapi sudah disepakati akan diparipurnakan," tambahnya.

Baca juga artikel terkait KEKERASAN TERHADAP PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - News
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Rio Apinino