tirto.id - Hari ini, Selasa 22 Desember, adalah peringatan Hari Ibu yang ke-92. Kongres Perempuan Indonesia pertama yang menjadi tonggaknya mencita-citakan kehidupan yang lebih baik bagi para perempuan.
Sayangnya harapan tersebut belum terwujud. Salah satu buktinya, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih sering dialami para perempuan. Komnas Perempuan mengatakan sejak awal 2020 sampai Oktober lalu menerima laporan kasus KDRT sebanyak 960, meningkat dari tahun sebelumnya, 944.
Apa yang dimaksud KDRT di sini adalah kekerasan di ranah domestik yang terjadi dalam relasi personal, misalnya kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, dan kakek terhadap cucu.
"Jenis kekerasan KDRT atau ranah personal yang menempati urutan pertama adalah kekerasan terhadap istri," kata Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi kepada reporter Tirto, Senin (21/12/2020).
Laporan kasus kekerasan terhadap istri sebanyak 320, menurun dari 2019 yang mencapai 462. Lalu kekerasan terhadap anak sebanyak 90, meningkat dari tahun sebelumnya yaitu 76; kekerasan oleh mantan suami sebanyak 31 kasus, menurun dari tahun sebelumnya 193; dan KDRT lainnya tidak ada, sementara 2019 sebanyak 28.
Sementara laporan kasus kekerasan di ranah komunitas sebanyak 480, nyaris dua kali lipat dari 2019 yaitu 29. Kemudian kekerasan di negara pada tahun ini sebanyak 18, menurun dari tahun sebelumnya yaitu 42.
Kekerasan terhadap perempuan di ranah KDRT dalam bentuk ekonomi sebanyak 204; fisik 378; psikis 621; dan seksual 483. Sementara kekerasan dalam bentuk ekonomi tahun 2019 sebanyak 363; fisik 349; psikis 823; dan seksual 349.
Siti Aminah menyatakan para pelaku KDRT harus dijerat Undang-undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (PKDRT). Kekerasan yang dimaksud dalam UU tersebut yaitu fisik, psikis, seksual, dan penelantaran. Sementara apabila terjadi kekerasan terhadap anak, pelaku dapat dijerat UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas UU 23/2002 tentang Perlindungan Anak.
Siti Aminah mengatakan di masa pandemi laporan perempuan yang masuk menurun "karena sikap diam saja" atau memang mereka lebih memilih "memberitahukan kepada saudara, teman, atau tetangga."
Namun bukan berarti kasus kekerasan tak terjadi. Di masa pandemi ini Komnas menemukan kelompok yang rentan mengalami KDRT, selain perempuan, juga mereka yang berusia 31-40 tahun, kelompok penghasilan kurang dari Rp5 juta, kelompok yang memiliki jumlah anak 3-5 orang dan lebih dari 5 orang, dan kelompok yang tinggal di provinsi yang teridentifikasi jumlah kasus COVID-19 tertinggi.
Rumah tangga dengan pengeluaran yang bertambah selama pandemi berpeluang lebih besar jadi tempat kekerasan fisik dan seksual sebab persoalan ekonomi mendorong kekerasan.
Dari hasil survei Dinamika Rumah Tangga 2020, pandemi juga memberikan dampak negatif lain terhadap perempuan. Perempuan mengalami penambahan waktu kerja di ranah domestik dua kali lipat karena menanggung tugas tambahan untuk mendampingi anak belajar di rumah. Kebijakan ini juga memaksa mereka mempelajari teknologi belajar secara online.
Perempuan juga mencurahkan waktu lebih panjang untuk kerja domestik karena mereka memastikan kebutuhan hidup sehat dan bersih untuk anggota keluarga terpenuhi, termasuk untuk persoalan makan.
"Karenanya, satu dari tiga responden perempuan menyatakan bahwa bertambahnya pekerjaan rumah tangga telah menyebabkan naiknya tingkat stres pada mereka," kata Siti Aminah.
Dengan dasar situasi tersebut, Komnas Perempuan mendorong pemerintah, khususnya Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), untuk melakukan berbagai upaya sesuai UU 23/2004. Dalam pasal 12, pemerintah wajib merumuskan kebijakan tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, kemudian menyelenggarakan komunikasi, informasi, dan edukasi serta sosialisasi dan advokasi tentang KDRT.
"Pemerintah menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan sensitif gender dan isu kekerasan dalam rumah tangga serta menetapkan standar dan akreditasi pelayanan yang sensitif gender," tambahnya.
Selain Komnas Perempuan, pendataan juga dilakukan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) APIK Jakarta sejak 16 Maret sampai November. Dalam rentang waktu tersebut mereka menerima 710 aduan kasus kekerasan. Pengaduan ini diterima melalui hotline, media sosial, dan email. Sebagai pembanding, tahun lalu, pengaduan dalam satu tahun mencapai 794.
Dari 710 kasus, 5 kasus yang paling banyak dilaporkan adalah KDRT. Jumlahnya 225.
"Hal ini menjadi bukti bahwa rumah belum menjadi tempat aman bagi perempuan. Dalam masa pandemi COVID-19 ini [perempuan] menjadi lebih rentan. Rentan menjadi korban kekerasan karena berbagai faktor seperti ekonomi, psikologis, dan kesehatan," tulis LBH APIK dalam pernyataan sikap pada Peringatan 16 Hari anti Kekerasan Terhadap Perempuan 2020.
Yang Dilakukan Pemerintah
Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) Vennetia Ryckerens Danes menjelaskan apa saja yang sudah pemerintah lakukan untuk mengatasi permasalahan ini. Salah satunya "mengimbau kepada semua mitra kerja untuk lebih rajin menjemput bola," kata dia kepada reporter Tirto, Selasa (22/12/2020).
Mitra yang dimaksud adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah (UPTD), kepala dinas terkait, dan forum-forum perempuan. Pelibatan mitra dilakukan melalui program 'Jarak' atau Berjaga Bersama Keluarga.
Untuk penanganan, Kemen PPPA menyediakan pelayanan 'Sejiwa' (sehat jiwa) melalui nomor telepon 119 ekstensi 8. Mereka bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) untuk memilah apakah kasus tersebut terkait kesehatan atau kekerasan. Selain itu, Kemen PPA juga "bekerja sama dengan himpunan psikologi Indonesia untuk menangani psikologi korban."
Kemen PPPA juga mengumpulkan laporan dari lembaga-lembaga seperti yang disebutkan di atas. Hasilnya jelas jadi lebih banyak. Sejak Januari sampai 21 Desember 2020, kekerasan yang dilaporkan sebagai berikut: 4.682 kekerasan seksual, 2.152 fisik, dan 1.869 psikis.
"Semua yang masuk kategori kekerasan dilaporkan lebih dari 3.000 lembaga layanan seluruh Indonesia," kata Deputi Bidang Perlindungan Anak Kemen PPPA Nahar kepada reporter Tirto, Selasa.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Rio Apinino