tirto.id - Konflik Rusia dan Ukraina masih terus berlanjut dan semakin memanas. Ketegangan kedua negara tersebut pun memicu tren harga minyak dunia terus meningkat. Demikian juga harga minyak mentah Indonesia atau Indonesian Crude Price (ICP).
Data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mencatat, perkembangan sementara ICP pada 24 Februari 2022 mencapai sebesar 95,45 dolar AS/barel. Sementara harga minyak Brent, sudah lebih dari 100 dolar AS/barel.
“Sejak ICP naik di atas 63 dolar AS/barel (asumsi APBN 2022), kita terus monitor dan antisipasi dampaknya. Tidak hanya harga minyak, tapi harga LPG seperti CP Aramco,” kata Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik dan Kerja Sama Kementerian ESDM, Agung Pribadi dalam pernyataannya, di Jakarta, Selasa (1/3/2022).
Agung menyebut kenaikan harga minyak dunia turut mempengaruhi APBN 2022. Beban subsidi, khususnya BBM dan LPG juga meningkat dan bisa melebihi asumsi ditetapkan oleh pemerintah. Belum lagi biaya kompensasi BBM.
“Namun yang pasti, pemerintah terus mengamankan pasokan BBM dan LPG," ujar Agung.
Kenaikan ICP menyebabkan harga keekonomian BBM meningkat sehingga menambah beban subsidi BBM dan LPG serta kompensasi BBM dalam APBN. Setiap kenaikan 1 dolar AS per barel berdampak pada kenaikan subsidi LPG sekitar Rp1,47 triliun, subsidi minyak tanah sekitar Rp49 miliar, dan beban kompensasi BBM lebih dari Rp2,65 triliun.
Subsidi BBM dan LPG 3 kg dalam APBN 2022 dipatok sebesar Rp77,5 triliun. Subsidi tersebut pada saat ICP sebesar 63 dolar AS per barel.
Selain itu, kenaikan ICP juga memberikan dampak terhadap subsidi dan kompensasi listrik, mengingat masih terdapat penggunaan BBM dalam pembangkit listrik. Setiap kenaikan ICP sebesar 1 dolar AS per barel berdampak pada tambahan subsidi dan kompensasi listrik sebesar Rp295 miliar.
Selain dampak terhadap APBN tersebut, kenaikan harga minyak juga berdampak pada sektor lainnya khususnya transportasi dan industri yang mengkonsumsi BBM non-subsidi. "Tren kenaikan harga minyak dunia, mengerek harga keekonomian BBM," tambahnya.
Direktur Eksekutif Energy Watch, Mamit Setiawan menilai konflik Rusia-Ukraina yang pasti sudah mengerek harga minyak dunia secara signifikan. Hal ini menyebabkan dampak yang positif dan negatif bagi APBN Indonesia terutama soal PNBP dan beban subsidi.
Di satu sisi, kenaikan ini akan menyebabkan pemerintah mendapatkan keuntungan setiap dolar kenaikan ICP. Di mana kenaikan 1 dolar AS ICP, berdampak terhadap penerimaan negara sebesar Rp1,1 triliun, akan tetapi ini tidak diimbangi dengan beban subsidi yang meningkat.
“Dengan demikian, beban subsidi lebih besar jika dibandingkan dengan penerimaan yang didapatkan," kata Mamit saat dihubungi reporter Tirto.
Dampak terhadap Keuangan Pertamina
Mamit melanjutkan, kenaikan tren harga minyak dunia bakal berdampak terhadap keuangan PT Pertamina (Persero), terutama di sektor hilir. Kenaikan ini akan memicu harga Mean of Platts Singapore (MOPS)/Argus yang menjadi faktor utama pembentuk harga BBM.
Sebagaimana diketahui, Argus merupakan lembaga lain selain Platss yang juga melakukan penilaian harga untuk perdagangan produk minyak di Singapura. "Harga minyak dunia merupakan komponen utama pembentuk harga yaitu 60 persen," kata Mamit.
Oleh karena itu, jika tidak ada kenaikan harga untuk BBM umum terutama pertalite dan pertamax, maka otomatis akan membuat keuangan Pertamina terutama sub holding commercial & trading yaitu Pertamina Patra Niaga akan semakin berdarah-darah dan menanggung potensial loss yang sangat besar.
Hal ini karena pertalite menyumbang 47 persen penjualan BBM secara nasional dan pertamax 11 persen penjualan nasional. Namun untuk pertalite, memang sesuai dengan Perpres 117/2021 posisinya masih bisa dikatakan menjadi BBM penugasan akan dihitung 50 persen.
“Tetapi sampai saat ini belum ada aturan turunan terkait perpres tersebut. Jika tidak ditolong, saya khawatir PPN akan kolaps dan nantinya bisa menganggu distribusi BBM secara nasional," kata Mamit.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz