Menuju konten utama

Hak Dasar Tak Dipenuhi Negara, Tenaga Kesehatan Gugat Dua UU ke MK

APD yang langka dan mahal serta hak dasar tenaga medis yang tak dipenuhi jadi alasan digugatnya 2 UU ke MK.

Hak Dasar Tak Dipenuhi Negara, Tenaga Kesehatan Gugat Dua UU ke MK
Sejumlah perawat beristirahat dengan mengenakan alat pelindung diri di Instalasi Gawat Darurat khusus penanganan COVID-19 di RSUD Arifin Achmad, Kota Pekanbaru, Riau, Jumat (5/6/2020). ANTARA FOTO/FB Anggoro/pras.

tirto.id - Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI) mengajukan gugatan ke Mahkamah Konstitusi atas dua Undang-undang (UU) yang dinilai belum cukup untuk memberikan perlindungan dan memenuhi hak warga negara dalam situasi wabah.

Kedua UU itu yakni UU Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular dan UU Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan digugat oleh pemohon yang diwakili oleh Ketua Umum MHKI Mahesa Pranadipa. Gugatan ini berangkat dari banyaknya tenaga medis yang tertular virus corona COVID-19 bahkan banyak pula yang meninggal

"Ada persoalan di UU, kalau kita lihat faktanya ketika wabah Covid-19 terjadi di Indonesia itu terjadi kelangkaan APD [alat pelindung diri]. Kalaupun ada APD itu harganya begitu mahal sehingga terjadi banyaknya petugas kesehatan yang menggunakan APD tidak terstandar," kata Mahesa kepada reporter Tirto, Kamis (18/6/2020).

Dampak yang terjadi kemudian banyak petugas kesehatan baik itu dokter, perawat dan tenaga kesehatan yang lain yang tertular Covid-19 harus dirawat. Bahkan sebagian dari mereka ada yang meninggal karena terinfeksi Covid-19.

Persoalan itu kata Mahesa tak lepas dari lemahnya undang-undang. Dalam hal ini UU Nomor 6 Tahun 2018 khusunya pasal 6 yang menyebut bahwa pemerintah pusat dan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap ketersediaan sumber daya yang diperlukan dalam penyelenggaraan kekarantinaan.

Pasal itu dinilai tidak kuat untuk mewajibkan negara dalam memenuhi hak fundamental petugas kesehatan dalam hal ini perlindungan diri petugas kesehatan berupa APD yang terstandar.

Selain itu hak fundamental lainnya yang juga belum terpenuhi yaitu penghidupan yang layak atau dalam hal ini juga terkait imbal jasa. Karena dalam situasi wabah petugas kesehatan bekerja dalam kondisi sangat penuh resiko. Jadi jasa mereka tidak sama dengan saat situasi di luar wabah.

Insentif yang dijanjikan Presiden Joko Widodo kepada tenaga medis yang bertugas di masa pandemi Covid-19 saat ini tak bisa diharapkan realisasinya.

"Presiden akan berikan insentif kepada petugas kesehatan. Tapi persoalannya fakta yang terjadi di lapangan sampai dengan hari ini insentif itu belum ada. Walaupun regulasinya pelaksanaan dalam bentuk Permenkes itu sudah ada," ujarnya.

Permenkes itu kata dia masih memiliki kelemahan karena bentuknya buttom-up. Fasilitas kesehatan harus mengajukan dulu permintaan kepada Kemenkes dan mendaftarkan nama petugas kesehatan yang akan mendapatkan insentif.

Seharusnya, pemeritah sudah bisa mametakan dari awal fasilitas kesehatan mana saja yang memberikan pelayanan Covid-19 dan petugas kesehatan mana saja yang ikut menangani penanggulangan tersebut.

"Harusnya kalau sudah punya pemetaan dari awal maka insentif itu sudah bisa diberikan dari awal," katanya.

Hal ini tidak terjadi kata Mahesa lantaran tidak jelasnya UU Nomor 4 Tahun 1984. Khusunya dalam pasal 9 yang menyebutkan para petugas tertentu yang melaksanakan upaya penanggulangan wabah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 ayat (1) dapat diberikan penghargaan atas risiko yang ditanggung dalam melaksanakan tugasnya.

Kemudian disebutkan pelaksanaan pemberian penghargaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Namun isi pasal itu kata dia lemah. Sehingga perlu dilakukan uji materi untuk memperkuat dan memperjelas pasal tersebut.

"Kelemahannya ada menyebutkan kata 'dapat', kemudian tidak memperjelas penghargaan terhadap mereka yang terlibat dalam penanggulangan wabah itu. Hanya disebutkan penghargaan. Tapi penghargaan itu tidak jelas," ujarnya.

Padahal itu merupakan hak fundamental bagi dalam hal ini tenaga kesehatan. Sehingga secara resmi dua pasal dalam UU tersebut digugat di MK.

Sidang pertama dilakukan pada Rabu (17/6/2020) kemarin. Hakim konstitusi kata Mahesa memberikan sejumlah masukan perbaikan terhadap permohonan yang ia ajukan.

Dalam sidang perdana tersebut pihaknya juga telah mengajukan perbaikan terkait pemohon. Jumlah pemohon gugatan kata Mahesa bertambah tiga orang dokter atas nama pribadi. Mereka mengajukan diri sebagai pemohon gugatan

"Bisa dimungkinkan kedepan ada tambahan [pemohon gugatan] lagi jadi kalau saya prinsipnya [mempersilahkan] siapapun yang ingin bergabung," ujarnya.

Baca juga artikel terkait TENAGA KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Hukum
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Bayu Septianto