tirto.id - “Halo cantik, ibu kapan nih bisa pulang."
Sapaan itu selalu diingat Bella Utami Fitrianti saat masuk ke ruang isolasi Rumah Sakit Penyakit Infeksi (RSPI) Sulianti Saroso, Jakarta. Keramahan itu datang dari seorang pasien positif COVID-19 yang hampir dua bulan dirawat. Sebelas kali ia menjalani swab test dan hasilnya selalu positif.
Para perawat menyapa pasien itu 'ibu lurah' sebagai panggilan akrab. Hubungan mereka pun sudah seperti ibu dan anak.
Dua hari lalu, pasien itu akhirnya dinyatakan sembuh setelah dua hasil swab test-nya menunjukkan hasil negatif. 'Ibu lurah' harus meninggalkan anak-anaknya tanpa peluk.
“Senang banget beliau bisa survive, tapi di sisi lain sedih. Campur aduklah rasanya,” kata Bella kepada saya, Kamis (28/5/2020).
Bella sebenarnya bidan di RSPI Sulianti Saroso sejak Maret 2010, tapi seiring dengan pandemi COVID-19, ia harus bertugas menjadi perawat. Namun ia tak kaget lagi sebab sebelumnya pun sudah biasa menjalani tugas keperawatan.
“Selama kerja di sini memang pasien kebidanan jarang ya, karena memang RS rujukan infeksi. Jadi sehari-hari terbiasa menjadi perawat.”
Bella bertugas di ruang isolasi ketat Mawar 2, 7 sampai 11 jam dalam sehari. Bella bisa merawat 3-4 pasien, mulai dari memberi makan, memberi obat, hingga mengecek tanda-tanda vital. Selama di dalam ruang isolasi, ia wajib menggunakan alat pelindung diri (APD) untuk mencegah penularan.
Perawat Bertaruh Nyawa Hadapi COVID-19
Aditya C. Janottama hari itu kebagian piket menjaga ruang perawatan COVID-19. Ia bertugas di Instalasi Gawat Darurat (IGD) khusus COVID-19 salah satu rumah sakit swasta di Jawa Timur.
Aditya bercerita, dalam sehari para perawat pernah menerima 12 pasien COVID-19. Kondisi itu memaksa IGD ditutup sementara. Bahkan seringkali ruang perawatan terisi penuh sehingga pasien yang menumpuk di IGD tak bisa dipindah.
Kendati pindah tugas sementara di ruang perawatan, bukan berarti Aditya bisa sedikit mengendurkan otot-ototnya.
Pernah suatu kali seorang pasien kondisinya memburuk. Pasien itu adalah perawat yang juga rekan kerja Aditya. Ia sedang hamil tetapi tetap bekerja dan kemudian tertular COVID-19. Si pasien kesulitan bernapas dan karenanya ia membutuhkan ventilator. Namun ventilator ternyata tak cukup banyak. Tenaga kesehatan yang bertugas pun berjibaku mencari rumah sakit rujukan lain.
Tentu bukan hal yang mudah lantaran saat itu pasien COVID-19 di Jawa Timur sudah membeludak. Setelah pontang-panting, akhirnya sang pasien berhasil dirujuk ke RS Angkatan Laut Dr. Ramelan.
Namun malang tak bisa ditolak. Sekitar 3 hari setelahnya, Senin (18/5/2020), sang perawat meninggal dunia.
Cerita soal tenaga kesehatan yang berjibaku merawat pasien COVID-19 menjadi sebuah fakta yang sulit dielakkan. Tak sedikit pula dari mereka yang meregang nyawa kala bertugas.
Ikatan Dokter Indonesia (IDI) mencatat setidaknya 25 dokter meninggal dunia akibat COVID-19, sementara Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) menyebut ada 20 perawat meninggal dunia akibat COVID-19.
Insentif Rp5,9 Triliun untuk Nakes
Sebagai apresiasi atas segala jerih payah para tenaga kesehatan, pemerintah lantas menggelontorkan insentif sebanyak Rp5,9 triliun. Rinciannya, tenaga medis pemerintah pusat mendapat Rp1,3 triliun, sisanya, Rp4,6 triliun, diberikan untuk tenaga medis pemerintah daerah.
Dana itu adalah bagian dari anggaran Rp75 triliun yang disiapkan untuk urusan kesehatan di tengah pandemi.
Dokter spesialis akan mendapatkan Rp15 juta setiap bulan, dokter umum Rp10 juta per bulan, perawat 7,5 juta/bulan, dan tenaga kesehatan lain Rp5 juta/bulan. Ada pula santunan kematian kepada keluarga tenaga medis sebesar Rp300 juta.
Kebijakan ini lantas diturunkan menjadi Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor HK.01.07/MENKES/278/2020 tentang Pemberian Insentif dan Santunan Kematian Bagi Tenaga Kesehatan yang Menangani Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) yang ditandatangani Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto pada 27 April 2020.
Beleid ini menyebut, tenaga kesehatan yang menerima insentif meliputi dokter spesialis, dokter, dokter gigi, dokter bidan, perawat, dan tenaga medis lain yang terlibat langsung menangani pasien COVID-19.
Selain itu, Kepmenkes itu menyebut jumlah yang dijanjikan pemerintah di awal adalah insentif yang “setinggi-tingginya.” Artinya, tak semua tenaga medis mendapatkan nilai sesuai yang dijanjikan.
Surat dari Kepala Badan Pengembangan dan Pemberdayaan Sumber Daya Manusia Kesehatan Abdul Kadir bernomor KU.03.07/I/0793/2020 tertanggal 15 Mei menjelaskan insentif ditentukan pada lamanya tenaga kesehatan bertugas merawat pasien COVID-19.
Detail perhitungannya: jumlah hari penugasan dibagi dengan 22 hari, lalu dikali dengan batas maksimal insentif. Jadi, katakanlah seorang perawat bertugas selama 12 hari, maka ia mendapat insentif sebesar Rp4,09 juta.
Bella maupun Aditya sama sekali belum mendapatkan insentif ini setelah dua bulan berlalu.
Bella mengaku ia dan kawan-kawannya sangat mengharapkan insentif itu. Pasalnya, pandemi COVID-19 juga memukul ekonomi para tenaga kesehatan. Banyak pasangan dari perawat yang dirumahkan sehingga tak mendapat gaji atau tunjangan hari raya (THR).
“Selama dua bulan ini, ada kawan saya terpaksa menjadi tulang punggung dan perekonomian rumah tangga, karena suaminya di-PHK,” kata Bella.
Beruntung, karena statusnya pegawai negeri sipil, gaji dan THR Bella aman. Berbeda dengan kawan-kawannya di rumah sakit swasta.
Sementara Aditya mengaku minggu lalu sudah diminta mengumpulkan data-data, termasuk menandatangani surat pernyataan bermaterai yang isinya hanya menerima insentif dari satu rumah sakit.
Ia bisa memaklumi kalau birokrasi pemerintah untuk pencairan duit itu sulit. Namun ia pun tak memungkiri banyak tenaga kesehatan yang membutuhkan insentif tersebut, apalagi di Surabaya para perawat hanya mendapatkan gaji setara UMR.
Di samping pencairan yang lambat lamban, kebijakan ini juga dianggap diskriminatif karena hanya berlaku bagi tenaga kesehatan dari rumah sakit rujukan dan fasilitas layanan kesehatan lain yang terlibat langsung menangani pasien COVID-19.
Perawat di sebuah RS swasta di Bekasi, Ghina, mengatakan meski tidak bekerja di rumah sakit rujukan, bukan berarti dia tidak berhadapan dengan pasien COVID-19. Sebab, banyak pasien dengan gejala awal datang ke rumah sakit itu alih-alih langsung ke rumah sakit rujukan.
“Karena posisi rumah sakit kita strategis dengan warga sekitar, jadi mereka ke rumah sakit terdekat untuk mendapat tindakan awal," kata Ghina kepada saya Kamis (28/5/2020) lalu.
Ghina sudah tak menghitung lagi berapa banyak pasien yang diboyong dari rumah sakitnya ke rumah sakit rujukan COVID-19. Bahkan, rumah sakit tempatnya bekerja juga membuka ruang isolasi sementara untuk merawat pasien sampai ada ruangan tersedia di rumah sakit rujukan.
Seorang rekan kerjanya pernah terjangkit COVID-19 karena melayani pasien tanpa alat perlindungan diri (APD). Beruntung, saat ini dia sudah sembuh.
Atas semua situasi tersebut, Ghina merasa mereka juga berhak mendapatkan insentif. “Kami juga di sini taruhan nyawa lho. Belum lagi kalau ada pasien yang masih menyangkal atau bohong kalau ditanya.”
Di tengah kondisi itu, gaji Ghina dan seluruh tenaga kesehatan di rumah sakit itu juga harus dipotong seperempat dan THR pun dicicil. Alasannya, COVID-19 memaksa rumah sakit menutup sejumlah poli guna mencegah penularan. Hasilnya, kondisi keuangan morat-marit.
“Justru kami yang kena dampaknya, nyaris ada pengurangan karyawan,” kata dia.
Respons Kemenkeu
Direktorat Jenderal Perimbangan Keuangan (DJPK) Kementerian Keuangan menyatakan hingga saat ini belum mengantongi data tenaga kesehatan daerah yang menangani COVID-19. Karena itulah mereka belum menerima insentif.
“Saat ini memang belum ada pencairan sedikit pun karena pemerintah masih menunggu data yang masuk dari daerah,” kata Direktur Dana Transfer Khusus DJPK Kementerian Keuangan Putut Satyaka, Jumat (29/5/2020) dilansir dari Antara.
Meski belum mengantongi data tenaga medis, Putut mengatakan sudah ada beberapa data masuk ke Kementerian Kesehatan. Kini data-data itu sedang diverifikasi. “Jika verifikasi sudah selesai, tentunya akan segera bisa kami salurkan kepada pemda,” katanya.
Ia menegaskan tenaga kesehatan yang mendapatkan insentif itu adalah mereka yang terlibat langsung atau sebagai pendukung penanganan COVID-19, lalu besarannya disesuaikan dengan golongan, keahlian, dan zonasi.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri