tirto.id - Presiden Joko Widodo memberikan penghargaan kepada enam dari sembilan hakim konstitusi dalam acara yang diselenggarakan di Istana Negara Jakarta, 11 November lalu. Arief Hidayat, Anwar Usman, dan Aswanto menerima Bintang Mahaputera Adipradana; sementara Wahiduddin Adams, Suhartoyo, dan Manahan MP Sitompul menerima Bintang Mahaputera Utama.
Menurut pakar hukum dari Universitas Trisakti Abdul Ficar Hadjar, penghargaan tersebut tidak etis meski memiliki dasar yuridis. Dikatakan demikian karena pemerintah telah, sedang, dan akan berperkara di MK menyusul berbagai regulasi digugat masyarakat, dari mulai UU KPK, UU Minerba, Perpu Corona--yang sudah menjadi UU, UU MK, dan UU Cipta Kerja. Memberikan penghargaan dalam konteks tersebut dapat menimbulkan pandangan negatif dari masyarakat.
“Pemberian penghargaan itu telah melahirkan konflik kepentingan baik Presiden maupun para hakim,” ujar Ficar kepada reporter Tirto, Senin (16/11/2020).
Ficar menyatakan penghargaan semestinya diberikan kepada yang sudah tidak menjabat. Toh mereka saat ini masih “menikmati fasilitas negara dan sudah menerima gaji yang dibayarkan dari uang rakyat.” Penghargaan semestinya untuk mereka yang jasanya melebihi kewajiban dan terbukti memberikan kebaikan bagi masyarakat.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta Arif Maulana mengatakan pemberian penghargaan kepada hakim MK memang bukan kali ini saja. Namun, Jokowi-lah yang “pertama kalinya memberikan tanda jasa ketika hakim masih menjabat dan sekaligus 6 dari 9.” Oleh karena itu, menurutnya, “pemberian tanda jasa ini memperkuat kecurigaan intervensi dan pengkondisian MK terkait gugatan beberapa UU bermasalah.”
Arief Hidayat merupakan Ketua MK 2015-2018. Jabatannya dilanjutkan oleh Anwar Usman sampai 2021. Anwar didampingi Aswanto yang menjabat Wakil Ketua MK. Sementara Wahiduddin Adams telah menjabat sebagai hakim dari 2014 hingga 2024. Lalu Suhartoyo dari 2015 hingga 2025, dan Manahan Sitompul, juga hingga 2025.
Menurutnya, penghargaan ini juga “diobral” karena sebetulnya pada 2018 lalu Jokowi “pernah meminta Dewan Tanda Kehormatan untuk memperketat pemberian anugerah itu.” Permintaan tersebut terkait dengan penghargaan Mahaputera Adipradana yang disematkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono kepada Eks Menkumham 2009-2011 sekaligus Eks Hakim MK Patrialis Akbar. Ia belakangan ditangkap KPK karena kasus suap pada Januari 2017.
Ia juga menilai penghargaan ini “bertentangan dengan penerapan prinsip hakim MK yang diatur dalam PMK Nomor 9/PMK/2006 tentang Kode Etik dan Perilaku Hakim” serta tidak sesuai dengan “etika politik dan pemerintahan sebagaimana diatur dalam Tap MPR No. VI/MPR/2001 tentang Etika Kehidupan Bernegara.”
Atas dasar itu semua ia menilai para hakim MK harus mengembalikan penghargaan tersebut karena berpotensi menodai independensi dan integritas mereka.
Klaim Independen
Menanggapi segala kecurigaan dan kritik tersebut, Juru Bicara MK Fajar Laksono mengatakan penghargaan “Insya Allah tidak akan memengaruhi sikap dan pikiran hakim dalam mengadili perkara.”
Dalam keterangan tertulis, Senin (16/11/2020), ia bilang pemberian Jokowi harus dipandang sebagai penilaian objektif terhadap hakim yang “dinilai berhasil menjalankan kewenangan dan mempertahankan independensi.”
Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko pun mengatakan demikian, bahkan lebih eksplisit. “Bintang jasa yang diberikan Presiden itu tidak ada hubungannya dengan upaya membungkam, tidak ada hubungan dengan netral atau independensi,” ujar Moeldoko.
Ia pun menegaskan pemberian penghargaan itu sesuai dengan Pasal 15 UUD 1945 yang dipertegas dalam UU Darurat 5/1959. “Presiden selaku kepala negara memberikan itu karena menjalankan konstitusi. Ada konstitusinya, ada dasarnya.”
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Rio Apinino