tirto.id - Label fesyen ternama tidak hanya bicara tentang pakaian yang dapat digunakan namun menjadi terobosan, menciptakan produk fesyen dengan pesan tertentu yang menyentuh hati para konsumen.
Namun, tidak dipungkiri bahwa beberapa produk ternama justru menimbulkan keheranan dengan menciptakan desain pakaian berkonotasi rasis.
Yang paling baru, rumah label Gucci, yang merancang gaun pernikahan Megan Markle mengeluarkan sebuah produk sweater hitam dengan kerah kebesaran yang bisa ditarik hingga menutupi mulut.
Kerah tersebut dilengkapi sebuah gambar bibir merah besar yang jika ditarik akan tepat berada di bagian mulut. Desain tersebut, jika dilihat sekilas nampak seperti orang kulit hitam dengan bibir tebalnya.
Melansir AP News, Gucci menyampaikan permintaan maaf Rabu (6/2/2019) terkait produknya yang dinamai Balaclava. Dalam akun Twitter resminya, Gucci menyampaikan permohonan maaf dan menarik produk tersebut dari pasar.
“Kami menyadari bahwa perbedaan adalah kepentingan yang dijunjung tinggi, dihormati, dan menjadi gawang utama setiap keputusan yang kami buat,” cuitnya.
"Kami berkomitmen penuh untuk meningkatkan perbedaan dalam organisasi kami dan menjadikan ini sebagai momen pembelajaran yang berharga bagi seluruh tim Gucci."
Gucci bukan satu-satunya label fesyen yang pernah diterpa isu rasis. Kamis (7/2/2019), produsen sepatu olahraga Adidas meminta maaf dan menghapus salah satu produknya saat Perayaan Black History Month.
Hal itu karena mengeluarkan sepatu putih yang terinspirasi dari Harlem Renaissance (Gerakan Negro Baru). Sepatu ini dianggap mengingatkan tentang supremasi kulit putih.
“Pada tahap akhir desain, kami menambahkan sebuah sepatu lari yang kami rasa tidak merefleksikan semangat dan filisofi yang dipercaya Adidas, bahwa kami seharusnya menghormati Black History Month,” kata pihak Adidas seperti dikutip KCYB.
"Setelah melalui pertimbangan yang cermat, kami akan menghapuskan produk tersebut dari koleksi kami."
Serupa dengan Gucci dan Adidas, Prada menarik sebuah gantungan tas monyet yang menyerupai orang kulit hitam. Dolce & Gabbana juga mengeluarkan video permintaan maaf pada Desember 2018 setelah seorang desainernya mengatakan ucapan yang dianggap menghina warga Cina.
“Label [fesyen] ternama terbiasa untuk membuat iklan provokatif dan eksentrik yang menyinggung batasan-batasan sosial dan kultur dengan mengatas namakan Kreativitas dan ‘memotong batasan’,” kata Qing Wang, professor pemasaran di Warwick Business School seperti dikutip KRCG TV.
Namun, Wang menambahkan, daftar panjang protes publik tersebut, bahwa era masa kini sudah lenyap atau label ternama telah kehilangan kontak terhadap sentiment public. Apa yang tadinya dianggap kreativitas telah berubah menjadi ‘selera yang buruk’ bahkan ‘rasis’.
Lebih lanjut, Wang mengutip bagaimana label fesyen gagal meningkatkan stereotip, termasuk Dolce & Gabbana yang mengeluarkan produk ‘sandal budak’ pada Koleksi Musim Semi/Musim Panas 2016 dan kampanye Burberry untuk Tahun Baru Cina yang disamakan dengan film horor Asia.
Akibatnya, Dolce & Gabbana terpaksa membatalkan runway di Shanghai, fashion infulencer Asia menolak kampanye dan laman-laman fesyen membatasi Dolce & Gabbana – sebuah peringatan keras dari daerah yang presentasenya mencapai 30 persen untuk penjualan label fesyen ternama.
Masih menurut KRCG TV, Sosiolog Italia di Rome’s Luiss University, Michael Sorice mengatakan bahwa terangkatnya isu ‘kulit hitam’ dalam label fesyen asal Italia merupakan sinyal dari ‘campuran antara pemahaman yang baik dan pengabaian’, dengan menganggap bahwa orang Italia tidak begitu tanggap dengan rasisme baik dalam kata-kata maupun gambar.
“Saya membayangkan bahwa mereka sebenarnya tidak benar-benar rasis. Mereka hanya tidak memiliki pemahaman bahwa yang mereka gunakan miliki adalah arketip [pola dasar] yang membuat mereka salah paham terhadap konsep ‘kulit hitam’ dan menertawakannya. Mereka benar-benar tidak tahu [bahwa mereka bertindak rasis]. Ini adalah permasalahan kultural,”
Paolo Cillo, professor pemasaran di Milan’s Bocconi University mengatakan bahwa desainer bermaksud untuk menciptakan sesuatu yang ‘bergaung’. Dia menunjuk Gucci yang bertindak cepat mengakhiri kontroversi.
Cillo membandingkan bahwa seni fesyen sama dengan membuat film, melukis, ataupun musik, namun sering dianggap berbeda.
“Beberapa seniman lebih lancang dalam berekspresi dan tidak seorang pun menuntut. Persepsi ini didasarkan pada pemahaman bahwa fesyen itu fana atau komersil. Tapi menurutku, tidak. Ini [fesyen] merefleksikan waktu (zaman), seperti seni-seni lainnya,”
Sisi lain dari Gucci, ketika seluruh dunia membedakan antara sandang laki-laki dan perempuan, Gucci menciptakan koleksi genderless dress code (sandang universal) di tangan Alessandro Michele.
Meskipun begitu, tetap saja Gucci masih perlu memeprhatikan isu sosial lain seperti toleransi rasial, dan pemberdayaan perempuan untuk mendapatkan perhatian seluruh dunia.
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Yantina Debora