Menuju konten utama

Gubernur Sumbar Bantah Ambil Alih Lahan Petani

Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menegaskan pemerintah Sumbar berpihak pada petani untuk mewujudkan ketahanan dan swasembada pangan, bukan ingin bersikap zalim dengan mengambil alih tanah masyarakat dan tanah ulayat.

Gubernur Sumbar Bantah Ambil Alih Lahan Petani
Dua orang buruh tani menanam padi di Delanggu, Klaten, Jawa Tengah, Jumat (3/3). ANTARA FOTO/Aloysius Jarot Nugroho/kye/17.

tirto.id - Gubernur Sumatera Barat Irwan Prayitno menegaskan pemerintah Sumbar berpihak pada petani untuk mewujudkan ketahanan dan swasembada pangan, bukan ingin bersikap zalim dengan mengambil alih tanah masyarakat dan tanah ulayat.

Ia menegaskan hal itu untuk terkait viralnya Surat Edaran Gubernur No. 521.1/1984/Distanhorbun/2017 yang banyak disalahtafsirkan berbagai pihak.

"Sebelumnya saya perlu sampaikan Surat Edaran Gubernur tidak ada kekuatan hukum untuk memberi sanksi atau hukuman. SE bukan perangkat perundangan peraturan. Surat edaran bisa saja tidak dipatuhi kecuali Perda atau UU," katanya dihubungi dari Padang, Kamis (9/3/2017).

Menurutnya semangatnya SE Gubernur tersebut adalah semangat pemanfaatan lahan untuk target swasembada sehingga rakyat bisa makan dengan membeli murah dan pangan tersedia.

"Saya kembali mengeluarkan SE No.521.1/2088/Distanhorbun/2017 sebagai penjelas dari SE Gubernur No.521.1/1984/Distanhorbun/2017 yang poinnya antara lain menggerakkan seluruh instansi terkait termasuk jajaran TNI AD untuk mengajak petani melakukan penanaman padi pada lahan yang tidak termanfaatkan," katanya.

Kemudian lahan yang tidak termanfaatkan tersebut, diusulkan oleh petani untuk dapat dilakukan kerjasama pengelolaannya dengan pihak ketiga, antara lain Koramil dan UPT Pertanian Kecamatan setempat.

"Pengelolaan itu dilaksanakan sesuai dengan kesepakatan para pihak (petani dan pengelola) berdasarkan ketentuan peraturan perundang-undangan," ujarnya.

Terkait viralnya SE yang pertama dengan terjemahan yang seakan-akan gubernur menzalimi petani dan pemilik lahan/ tanah ulayat di Sumbar, Irwan mengatakan ia berprasangka baik, karena mungkin ada yang tidak memahami dasar keluarnya surat tersebut.

"Saya tegaskan, bahwa sebagian besar tafsiran yang mengemuka di masyarakat, adalah tidak benar," kata dia.

Ia menjelaskan terkait SE tersebut bahwa lahirnya surat itu dalam rangka pelaksanaan Program UPSUS (Upaya Khusus) untuk capaian swasembada beras secara nasional.

UPSUS tersebut diperintahkan presiden kepada Kementerian Pertanian dan TNI. Perintah oleh presiden adalah dalam rangka ketahanan pangan nasional.

Sumbar pada 2017 telah ditetapkan harus memproduksi padi sebanyak tiga juta ton. Untuk mencapai itu harus ada upaya percepatan tanam dan memanfaatkan lahan sawah yang ada semaksimal mungkin.

"Areal persawahan Sumbar hanya 230 ribu hektare, sementara target telah ditetapkan oleh pusat harus tanam seluas 600.000 Ha/tahun. Artinya Indeks Pertanaman (IP) harus dicapai 2.6 kali setahun, sawah harus ditanam," ujarnya.

Gerakan itu menurutnya sudah canangkan sejak 9-23 Februari 2017. Namun kenyataannya masih banyak sawah yang tidak digarap dengan berbagai alasan. Alasan kadang tidak masuk akal karena kebiasaan.

Malah ada yang menunggu masa tanam sesudah lebaran. Padahal kalau menunggu selesai lebaran, terdapat kekosongan selama dua sampai tiga bulan. Makanya diarahkan agar selambat-lambatnya 15 hari setelah panen harus ditanami lagi.

"Tafsiran harus ditanami adalah mulai dari pembenihan, pembajakan rekondisi tanah, dan sebagainya. Seperti misalnya anjuran membaca buku, tentu harus ada penulis bukunya, pencetakan buku,pemasaran hingga akhirnya buku dibaca," katanya.

Berdasarkan kondisi di atas, lanjutnya, maka Pemprov melalui OPD terkait berinisiatif membuat surat edaran kepada Bupati/Walikota se-Sumbar, agar membantu program nasional ini dan agar semua ikut bertanggung jawab untuk capaian produksi tersebut.

Manfaat pencapaiannya akan dirasakan semua pihak, termasuk seluruh masyarakat Sumbar, dengan harga pangan yang relatif stabil.

"Berdasarkan kondisi itulah, kami bersama dengan seluruh jajaran memberikan pemahaman ke masyarakat, agar lahan dimanfaatkan pascapanen dan kalau tidak bisa ditawarkan untuk dikerjakan oleh orang lain. Dimana biayanya ditanggung oleh yang mengerjakan. Soal besaran presentase bisa 20 : 80 dan atau sesuai kesepakatan para pihak," ujar dia.

Biaya pemanfaatan lahan tersebut bisa diambilkan dari dana PUAP (Pengembangan Usaha Agribisnis Perdesaan) dan atau dana Nagari.

"Dicatat, pemanfaatan tanah, bukan pengambilalihan tanah, dan dilakukan atas restu dari pemilik lahan," tegasnya.

Program itu menurutnya menguntungkan pemilik lahan, karena tanpa modal, bisa mendapatkan keuntungan setelah dikeluarkan biaya produksi.

"Pengalihan pengolahan bukan bersifat instruksi dari TNI atau pemerintah, tapi dari pemilik lahan yang berinisiatif mengajukan, agar lahannya tidak tidur, dan tetap menghasilkan," tambahnya.

Dengan demikian diharapkan siklus tanam tidak terhenti, hanya karena alasan yang bukan kelaziman hukum pertaniannya, tapi karena faktor nonteknis dan permodalan.

"Jika pemilik lahan tetap ingin mengolahnya sendiri (dengan buruh taninya), pemerintah bisa mengupayakan bantuan yang dibutuhkan yang bisa dikoordinasikan dengan UPT Pertanian Kecamatan setempat," katanya.

Ia kembali menegaskan, petani dapat mengusulkan pengolahan lahannya kepada pihak ketiga manapun dengan persentase bagi hasil yang disepakati bersama. Yang penting bagi Pemerintah adalah lahan jangan dibiarkan tapi dimaksimalkan untuk kepentingan ketersediaan pangan bagi rakyat.

Sebelumnya, SE gubernur tersebut menuai kontroversi di tengah masyarakat, karena dinilai merugikan petani.

Baca juga artikel terkait PERAMPASAN LAHAN RAKYAT atau tulisan lainnya dari Maya Saputri

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Maya Saputri
Penulis: Maya Saputri
Editor: Maya Saputri