Menuju konten utama

Greta Thunberg Aktivis Perubahan Iklim Raih "Alternative Nobel"

Greta Thunberg yang berasal dari Swedia memenangkan Penghargaan Right Livelihood 2019, yang secara internasional dikenal dengan "alternative Nobel Prize".

Greta Thunberg Aktivis Perubahan Iklim Raih
aktivis iklim wedish Greta Thunberg menghadiri rapat umum 'Friday For Future' di Berlin, Jerman, Jumat, 29 Maret 2019. Ribuan siswa berkumpul di ibukota Jerman, bolos sekolah untuk ikut serta dalam aksi menuntut aksi melawan perubahan iklim. Michael Kappeler / dpa via AP

tirto.id - Aktivis lingkungan, Greta Thunberg yang berasal dari Swedia memenangkan Penghargaan Right Livelihood 2019, yang secara internasional dikenal dengan "alternative Nobel Prize" untuk menghormati dan mendukung orang-orang yang berani memberi solusi untuk masalah global.

Dilansir CNN, penghargaan tersebut diumumkan di kantor Kementerian Luar Negeri Swedia, di Stockholm pada Rabu (25/9/2019) dan upacara resminya akan berlangsung pada 4 Desember mendatang.

"Saya sangat berterima kasih menjadi penerima penghormatan besar ini," kata Thunberg. "Namun, tentu saja, meskipun saya yang menerima penghargaan, bukan saya pemenangnya. Saya adalah bagian dari pergerakan global anak-anak sekolah, anak muda, dan semua umur yang memutuskan untuk beraksi melindungi planet kita. Saya membagi penghargaan ini dengan mereka," tambahnya.

Selain Thunberg, Aminatou Haidar (Sahara Barat), Guo Jianmei (Cina), Davi Kopenawa/ Hutukara Tanomami Association (Brazil) juga menerima penghargaan. Masing-masing pemenang mendapatkan dana sebesar 103 ribu dolar AS.

Thunberg memulai gerakan krisis perubahan iklimnya pada Agustus 2018, saat ia berusia 15 tahun. Ia memulainya sendirian dari lingkungan sekolahnya.

Beberapa bulan kemudian, ribuan siswa sekolah dan mahasiswa mengikuti langkahnya, bahkan seluruh dunia mulai mengikuti apa yang ia lakukan.

Terakhir, pada Maret tahun lalu, gerakan global yang menyerukan krisis perubahan iklim menarik partisipasi dari lebih dari 1 juta orang hingga September, jumlahnya mencapai 4 juta orang di seluruh dunia.

Thunberg, sebagaimana dilansir The Guardian, mendeskripsikan langkahnya yang mampu menggerakkan jutaan orang tersebut sebagai, "bukti bahwa tidak ada kata terlalu muda untuk membuat perubahan".

Gerakannya juga menginspirasi siswa-siswi di AS untuk menyuarakan kontrol yang lebih baik atas kepemilikan senjata api di AS.

Para veteran aktivis perubahan iklim terkejut sekaligus bangga dengan pengaruh yang bisa dibawa oleh Thunberg yang masih muda.

Pada Desember 2018, Thunberg mulai menjelajah keluar Swedia untuk menyuarakan isu ini secara global, dimulai di konferensi iklim PBB. Ia menyebut pemimpin negara-negara bertindak seperti anak kecil yang tidak bertanggung jawab atas perubahan iklim.

Januari 2019 ia berbicara di pertemuan elite bisnis di Davos, mengatakan, "Beberapa orang, perusahaan, pembuat keputusan khususnya, mengetahui dengan tepat nilai-nilai berharga yang mereka korbankan untuk terus menghasilkan uang dalam jumlah yang tak terhingga. Dan saya pikir, banyak dari di sini hari ini adalah orang-orang itu."

Thunberg banyak mengkritik pemerintah dan para pembuat kebijakan, serta pemilik korporasi, membuatnya tidak lepas dari kritik balik yang menyerangnya.

Di usianya yang masih muda, ia dianggap terlalu naif dan tidak mengerti apa yang ia bicarakan. Yang lain mengatakan ia dimanipulasi oleh orang tuanya untuk menyuarakan hal-hal yang sia-sia untuk menarik perhatian publik.

Ketua dan CEO LVMH, Bernard Arnault mengkritik Greta Thunberg dalam sebuah konferensi. Arnault mengatakan Thunberg "terlalu banyak dicekoki bencana absolut tentang evolusi dunia".

"Saya merasa itu melemahkan semangat," tambahnya, dikutip Quartz.

Dia menyebut Thunberg sebagai gadis muda yang dinamis, tetapi pandangannya dapat melemahkan semangat generasi muda. Akan tetapi Greta memiliki keteguhan hati bahkan sejak ia memulai gerakannya tersebut.

"Saya tidak peduli dengan usia. Pun tidak peduli dengan mereka yang tidak percaya pada sains. Saya tidak punya banyak pengalaman, karenanya saya banyak mendengarkan. Tapi saya juga punya hak menyatakan pendapat, tidak peduli berapa usia saya."

"Muda adalah keuntungan, karena kita melihat dunia dari persperktif yang berbeda dan kami tidak takut membuat perubahan yang radikal." ucapnya dalam sebuah tulisannya, yang dipublikasikan oleh The Guardian.

Baca juga artikel terkait PERUBAHAN IKLIM atau tulisan lainnya dari Anggit Setiani Dayana

tirto.id - Humaniora
Kontributor: Anggit Setiani Dayana
Penulis: Anggit Setiani Dayana
Editor: Dipna Videlia Putsanra