tirto.id - Gregorio Ballesteros Honasan II, laki-laki yang konon “tergagah” di Filipina era 1980-an, besar di zaman ketika Ferdinand Marcos berkuasa. Ayahnya adalah Romeo Gillego Honasan, seorang perwira intelijen dengan pangkat kolonel di akhir hidupnya.
Gregorio muda, yang pernah belajar di Dominican School di Taipei dan kuliah ekonomi di Universitas Filipina, disuruh ayahnya masuk Akademi Militer Filipina. Sang ayah berpesan supaya Gregorio “menjaga garis prajurit” dalam keluarga agar tidak putus.
Pada 1971, Honasan yang berusia 23 tahun lulus dari Akademi Militer dengan predikat bagus. Tak tanggung-tanggung, ia langsung masuk pasukan khusus Angkatan darat Filipina, Resimen Scout Rangers. Ia pernah ditempatkan di satuan para (penerjun) Grup Pertama dan ditugaskan di Luzon Tengah dan Utara. Sebelum 1974, ia juga ditempatkan di batalyon infanteri. Setelahnya, hingga 1979, ia menjadi ajudan sekretaris pertahanan di Departemen Pertahanan. Pada masa itu, pangkatnya masih letnan, yang di tahun-tahun berikutnya terus saja naik.
“Sebagai serdadu ia pernah dikirim ke Luzon, Visayas dan Mindanao,” tulis laman Senat Filipina tentang Honasan, yang mengantongi banyak medali karena sering sering berjaya di medan tempur.
Setelah ayahnya meninggal pada 1983, Honasan punya kesibukan lain: menekuni dunia bisnis. Sejak 1983 hingga 1986, ia menjabat anggota dewan di Bank Pembangunan Luzon Utara dan bos Beatriz Marketing Company. Kala itu, posisi Honasan di militer adalah kepala keamanan di kementerian pertahanan yang dipimpin Juan Ponce Enrile, politisi kawakan yang sudah ia anggap seperti bapak angkat.
Sekitar 1985, ketika pangkatnya sudah kolonel, Honasan memimpin Reformed the Armed Forces Movement (RAM), sebuah gerakan di dalam tubuh militer Filipina yang kelak terlibat dalam kejatuhan diktator Ferdinand Marcos pada Februari 1986.
Nama Honasan meroket ketika rencananya menggulingkan Marcos terbongkar. Ia dan kawanannya lari terbirit-birit ke gereja, meminta pertolongan pada kerumunan pemrotes, dan selamat karena warga sipil bersedia jadi tameng hidup untuk melindunginya.
Pada Februari itu juga, Corry Aquino, janda tokoh oposisi Benigno Aquino Jr. yang didor centeng Marcos, disumpah sebagai Presiden. Sementara Honasan, yang juga tengah melambung namanya , diangkat sebagai komandan sekolah operasi khusus di Fort Magsaysay, Nueva Ecija, Luzon Tengah.
Sekali Kudeta, Tetap Kudeta
Pada 1987, di usianya yang ke-39 tahun, Honasan melakukan tindakan luar biasa nekat yang membuatnya kembali terkenal. Ia menggerakkan pasukan bersenjata menyerang Istana Malacanang. Sasarannya? Tentu saja Presiden Corazon Aquino alias Corry Aquino.
New York Times mencatat, ratusan tentara pendukung kudeta menyerang istana kepresidenan, menduduki setidaknya dua pangkalan militer, dan menguasai stasiun TV. Percobaan kudeta ini menewaskan setidaknya 50 warga sipil dan melukai 250 lainnya. Corry Aquino selamat dalam kudeta gagal itu. Presiden Soeharto dikabarkan bersyukur atas nasib nasib Corry. Bagi sang patriark Cendana itu, apa yang dilakukan Honasan adalah "jahat".
“Kami ingin menyatakan bela sungkawa dan simpati kepada para korban perbuatan jahat itu,” kata Soeharto, sebagaimana diberitakan Antara (30/08/1987). Uniknya, pada dekade 1980an, Soeharto juga presiden yang takut dikudeta.
Honasan pun dicokok dan ditahan di kapal Angkatan Laut. Tapi, itu bukan akhir hidupnya. Petualangannya terus berlanjut. Seperti yang diberitakan New York Times, Honasan berhasil kabur dari kapal tahanannya yang mengapung di Teluk Manila itu. Menurut keterangan seorang pejabat militer senior Filipina, Honasan beserta 13 pengawalnya kabur dengan dua perahu karet pada 2 April 1988, pukul 02.30. Pengawal yang semula menjaganya agar tidak kabur itu akhirnya malah melindungi Honasan.
Meski dalam pelarian, ia terus berusaha merongrong pemerintahan Aquino. Pada 1 Desember 1989, Aquino kembali digoyang. lagi-lagi oleh Honasan. Kekuatan militer pro-kudeta kini bukan lagi ratusan, tapi tiga ribuan. Aquino pun minta bantuan militer Amerika Serikat yang punya pangkalan di Subic, 166 km dari Manila. Walhasil, Honasan gagal maning.
Corry Aquino akhirnya benar-benar lengser pada 1992, bukan lantaran kudeta, tapi karena keok di bilik suara oleh Jenderal Fidel Ramos, putra mantan Presiden Narciso Ramos.
Kepresidenan Ramos mendatangkan fajar baru bagi Honasan. Ramos memberinya pengampunan. Setelah diampuni, Honasan terjun ke dunia politik. Sejak 1995 hingga 2004, ia duduk di kursi senat.
Ketika Gloria Macapagal Arroyo disumpah sebagai presiden pada 2001, Honasan tidak muda lagi. Tapi rupanya, ia masih gatal bertualang. Pada 2006, namanya kembali disebut-sebut terlibat dalam gerakan makar terhadap Arroyo yang—lagi-lagi seperti Aquino—selamat. Ia pun tertangkap setelah beberapa lama buron. Namun, bukannya mendekam di penjara, Honasan kembali terpilih sebagai senat pada 2007, dengan dukungan 11,6 juta suara.
Nyalinya memang besar, sehingga sering dihampiri godaan ala perwira kelas kolonel di banyak tempat: kudeta.
Begitulah kisah petualangan laki-laki kelahiran 14 Maret 1948 ini. Honasan mungkin ibarat kerbau jantan (gringo) yang tak rela dipimpin kerbau betina—ia sendiri sering ditulis dengan nama tengah "Gringo". Berkali-kali coba mengkudeta emak-emak, berkali-kali pula dirinya gagal.
Editor: Windu Jusuf