tirto.id - Kepala Kampanye Iklim dan Energi Greenpeace Asia Tenggara, Tata Mustaya mengatakan pengembangan energi baru terbarukan (EBT) bergantung pada komitmen presiden terpilih pada Pemilu 2019. Pasalnya, saat ini EBT masih dinomorduakan jika dibanding energi fosil berbasis batu bara.
Padahal menurutnya, seiring perkembangan teknologi, EBT semakin terjangkau baik dari sisi investasi maupun biaya pemakaian. Bahkan ia menyebutkan EBT mulai mampu menyaingi batu bara.
"Tinggal sebetulnya komitmen politik yang lahir dari presiden terpilih. Jokowi atau Prabowo. Ini kuncinya karena sekarang kita (lagi) jor-joran investasi di PLTU," ucap Tata dalam diskusi bertajuk Tinjauan Ekonomi Batu Bara vs Energi Terbarukan, Bagaimana Kebijakan Presiden Terpilih pada Kamis (7/2).
Tata mengatakan siapapun presiden yang terpilih nanti harus memiliki sikap. Pasalnya ia menilai tidak mungkin seorang pemimpin dapat dipercaya mendukung EBT, bila di saat yang sama masih mempromosikan energi fosil.
Jika tidak ditangani dengan baik, maka ia yakin bila EBT akan kembali diabaikan walaupun akan menjadi senjata dalam debat Capres Februari 2019 mendatang. Sebab saat ini ia menuturkan banyak PLTU berbasis batu bara yang sedang dibangun pemerintah.
Jika nantinya produksi listrik PLTU melebihi kapasitas, maka ia memprediksi orang-orang akan meninggalkan ide EBT.
"Kalau listrik (dari PLTU) sudah berlebih, jadi orang mikir buat apa kita mempromosikan EBT?" ucap Tata.
Tata pun mengingatkan bahwa selain memiliki manfaat lingkungan, perlu disadari bahwa EBT juga mampu memberi sumbangsih peningkatan lapangan pekerjaan. Dengan demikian ia percaya bahwa manfaatnya akan dirasakan juga dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia. Terlebih saat ini pemerintah baru mencapai 5,17 persen dari target awal 7 persen.
Karena itu, ia pun mendesak pemerintah agar menciptakan level persaingan yang setara antara energi fosil dan EBT. Terutama tidak hanya mensubsidi listrik PLTU tetapi juga EBT. Sebab jika tidak, maka tentu tidak mengherankan bila EBT akan selalu relatif mudah kalah bersaing.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Nur Hidayah Perwitasari