tirto.id - Greenpeace membentangkan dua spanduk raksasa di Patung Dirgantara di Pancoran dan di Patung Selamat Datang di Bundaran Hotel Indonesia. Juru kampanye hutan Greenpeace, Arie Rompas, mengatakan bahwa spanduk tersebut ditujukan kepada Presiden Jokowi yang baru dilantik untuk periode kedua pada Minggu (20/10/2019) lalu.
Arie membeberkan, ada dua pesan utama agar menjadi perhatian khusus Jokowi dan para menterinya, yakni menyerukan kegentingan untuk meninggalkan energi kotor batu bara dan melakukan penyelamatan hutan.
Menurut Arie, kampanye itu dilakukan karena Indonesia sangat rentan terhadap dampak perubahan iklim, sehingga kenaikan air muka laut, kekeringan ekstrim, banjir bandang, gagal panen, badai tropis dan polusi udara bisa menjadi masalah baru di Indonesia.
“Tahun 2015, Presiden Jokowi berjanji menuntaskan kebakaran hutan dan lahan dalam kurun waktu tiga tahun. Ini sudah memasuki periode kedua, namun kebakaran hutan tahunan masih gagal dihentikan,” kata Arie Rompas, Juru kampanye Hutan Greenpeace Indonesia dalam siaran pers yang diterima Tirto.
Berdasarkan data pemerintah tahun 2014-2018, angka deforestasi mencapai 3 juta hektar, dengan laju deforestasi mencapai 600 ribu ha/tahun. Sedangkan energi fosil khususnya batu bara masih mendominasi bauran energi nasional yaitu sebesar 58%, sehingga menghambat laju peralihan menuju energi terbarukan.
Greenpeace mencatat terdapat lebih dari 3,4 juta hektar lahan terbakal di tahun 2015 dan 2018. Arie mengatakan, area kebakaran terluas ada di perkebunan sawit dan bubur kertas. Namun sayangnya, para pembakar itu belum diberikan sanksi perdata maupun sanksi administrasi secara konkret.
“Janji penegakan hukum masih tidak tegas dan inkonsisten, sehingga para perusak hutan belum tersentuh hukum,” tegas Arie.
Juru kampanye Iklim dan Energi Greenpeace, tata Mustasya mengatakan bahwa Jokowi harus benar-benar berkomitmen untuk beralih ke energi terbarukan, aman, dan bersih bagi lingkungan dan masyarakat.
“Sementara Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015- 2019 mengamanatkan pengurangan produksi batu bara secara bertahap, Pemerintahan Jokowi periode pertama malah menggenjot produksi batu bara hingga mencapai lebih dari 500 juta ton di 2019,” kata Tata.
Menurut Tata, batu bara sebagai sektor ekonomi, sangat dipengaruhi oleh para kroni, dan sangat erat dengan korupsi politik. Setelah reformasi politik dan pelaksanaan otonomi daerah, elite politik nasional dan daerah masuk ke bisnis batu bara dengan memanfaatkan kekuasaan mereka.
Saat ini, jumlah izin usaha pertambangan (IUP) naik dari 750 di 2001 menjadi 10.000 di 2010, 40 persen di antaranya bisnis batu bara. Hal tersebut telah menyebabkan kerusakan lingkungan yang masif sementara pendanaan politik dari oligarki batu bara telah merusak demokrasi Indonesia.
Selain pertambangan, Tata menyebut bahwa elit politik juga masuk di sektor hilir, yakni PLTU batu bara.
“Oligarki batu bara merupakan potret sempurna dari reformasi yang dikorupsi. Elite politik menggunakan reformasi untuk melakukan korupsi politik di bisnis batu bara, baik di hulu maupun hilir. Salah satu langkah konkret yang harus dilakukan Jokowi hari ini adalah membersihkan kabinetnya dari oligarki batu bara,” tandasnya.
Penulis: Widia Primastika
Editor: Abdul Aziz