Menuju konten utama

GIPI Tersingkir dari UU Kepariwisataan Baru, Mengapa?

GIPI menganggap bahwa penetapan Undang-Undang tentang Kepariwisataan yang baru menunjukkan bahwa sektor pariwisata belum jadi prioritas pemerintah.

GIPI Tersingkir dari UU Kepariwisataan Baru, Mengapa?
Menteri Pariwisata Widiyanti Putri Wardhana (kiri) menerima laporan hasil pembahasan dari Ketua Komisi VII DPR Saleh Partaonan Daulay (kanan) saat Rapat Paripurna Ke-6 DPR Masa Persidangan I Tahun 2025-2026 di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (2/10/2025). DPR mengesahkan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang perubahan ketiga atas Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan menjadi Undang-Undang. ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/agr

tirto.id - DPR RI mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan dalam Rapat Paripurna ke-6 Masa Persidangan I Tahun Sidang 2025–2026 pada Kamis (2/10/2025).

UU Kepariwisataan baru ini menuai kritik dari pelaku industri, terutama Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI), yang namanya tidak lagi tercantum dalam regulasi baru tersebut. Ketua Umum GIPI Hariyadi Sukamdani, menyebut asosiasi merasa kecewa dengan hilangnya pasal yang mengatur GIPI dalam UU Kepariwisataan yang baru disahkan oleh DPR.

Pasal tentang GIPI sebelumnya diatur dalam Bab XI UU Pariwisata Nomor 10 tahun 2009. Pasal 50 menyebutkan bahwa GIPI dibentuk sebagai wadah untuk mendukung pengembangan dunia usaha pariwisata yang kompetitif.

“Rumah besar asosiasi di sektor pariwisata yang selama ini dimanfaatkan untuk kolaborasi antar pelaku usaha pariwisata secara nasional guna membangun serta mengembangkan pariwisata tiba-tiba hilang dalam Undang-Undang tentang Kepariwisataan yang ditetapkan pada tanggal 2 Oktober 2025,” ujar Ketua Umum GIPI, Hariyadi Sukamdani, dikutip dari keterangan resmi, Minggu (12/10/2025).

Hariyadi Sukamdani

Ketua Umum PHRI, Hariyadi Sukamdani usai menghadiri acara Gelar Griya di kediaman Menteri Investasi dan Hilirisasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Rosan P/ Roeslani, di Jakarta Selatan, Selasa (1/4/2025). Tirto.id/Qonita Azzahra

Ia menambahkan, sepanjang pembahasan RUU Kepariwisataan, GIPI tidak pernah diberitahu soal rencana penghapusan Bab XI. Adapun beberapa pembahasan yang muncul adalah soal usulan perubahan nama dari Gabungan Industri Pariwisata Indonesia menjadi Gabungan Asosiasi Pariwisata.

“Pemerintah tidak menyetujui terlalu banyak adanya pembentukan Badan, untuk itu Industri Pariwisata mengusulkan agar Fungsi dan tugas Badan Promosi Pariwisata yang tertuang dalam BAB X tentang Badan Promosi Pariwisata Indonesia dalam UU 10/2009 tentang Kepariwisataan dilebur ke Gabungan Industri Pariwisata Indonesia (GIPI),” ujarnya.

Selain menyoroti penghapusan Bab XI dalam UU Kepariwisataan, Ketua Umum GIPI Hariyadi juga mengkritisi absennya rencana pembentukan tourism board dalam regulasi terbaru. GIPI, kata Hariyadi, mendukung penuh gagasan tersebut dan bahkan mengusulkan agar tourism board dibentuk sebagai penyempurnaan dari fungsi dan tugas GIPI.

“Ide membentuk tourism board tersebut juga tidak muncul dalam Undang-Undang tentang Kepariwisataan yang ditetapkan pada tanggal 2 oktober 2025,” ujarnya.

Lalu, apa sikap GIPI soal UU kepariwisataan baru ini?

Dalam keterangannya, GIPI menyampaikan sejumlah substansi penting yang telah mereka diskusikan dengan DPR RI. Salah satunya adalah usulan pembentukan Badan Layanan Umum (BLU) Pariwisata. Badan ini dirancang untuk menarik pungutan dari wisatawan mancanegara, sebagai alternatif sumber pendanaan dalam mendukung promosi dan pengembangan pasar pariwisata.

GIPI menilai, selama ini dana dari pajak pariwisata yang dipungut oleh pemerintah daerah berdasarkan UU No. 1 Tahun 2022 sangat minim dialokasikan kembali untuk mendukung sektor pariwisata, khususnya dalam aspek promosi. Begitu pula dengan pungutan dari visa dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sektor pariwisata, yang dinilai sulit untuk disisihkan bagi pengembangan produk dan pasar wisata.

Pariwisata dongrak realisasi pajak di Bali

Wisatawan mancanegara menikmati suasana di dekat patung gajah mina, Pantai Pererenan, Badung, Bali, Rabu (1/10/2025). Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Bali mencatat sektor pariwisata mendongkrak realisasi penerimaan pajak di Pulau Dewata pada Agustus 2025 mencapai Rp10,27 triliun atau tumbuh 9,97 persen dibandingkan periode sama di tahun lalu yakni sebesar Rp9,34 triliun, seiring dengan jumlah kedatangan wisatawan mancanegara selama Januari-Agustus 2025 mencapai 4,8 juta orang atau naik 12,4 persen dibandingkan periode sama di tahun 2024. ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/tom.

“BLU Pariwisata adalah harapan industri pariwisata satu-satunya guna menjawab pendanaan pariwisata. BLU Pariwisata tersebut juga dapat menyelaraskan program industri pariwisata dalam mengembangkan oariwisata Indonesia di tengah pemerintah yang saat ini memiliki program efisiensi anggaran di berbagai Kementerian/Lembaga,” tulis Hariyadi dikutip dari keterangan resmi.

Meski usulan BLU tidak secara eksplisit diakomodasi dalam UU, pemerintah justru mengadopsi gagasan pungutan wisatawan mancanegara ke dalam Pasal 57A. Menurut GIPI, ini menimbulkan kekhawatiran dari pelaku industri pariwisata. Sebab, berkaca dari pengalaman di masa lalu, setiap pungutan yang dilakukan pemerintah dari sektor pariwisata sangat sulit dialokasikan kembali untuk mendukung pengembangan pasar.

“Faktanya, setiap pungutan yang dilakukan oleh pemerintah dari sektor pariwisata sangat sulit untuk disisihkan, dan jika ada pun, sangat minim untuk dianggarkan guna merealisasikan kebutuhan industri pariwisata dalam mengembangkan pasar dan produk wisata,” ujarnya.

Komitmen Pemerintah untuk Pengembangan Pariwisata Dipertanyakan

GIPI menilai bahwa pemerintah tidak dapat semata-mata menikmati pendapatan dari sektor pariwisata, baik berupa devisa, pajak, maupun Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP), tanpa memberikan kontribusi nyata dalam mengembangkan pasar industri. Pasalnya, dampak langsung dari peredaran uang di sektor pariwisata terhadap masyarakat daerah sangat besar.

“Pemerintah tidak bisa hanya menikmati pendapatan berupa devisa, pajak, dan PNBP dari sektor pariwisata tanpa membantu industri pariwisata untuk terus mengembangkan pasarnya, karena dampak langsung peredaran uang ke masyarakat dari sektor pariwisata sangat besar kontribusinya di berbagai daerah,” ujarnya.

Berwisata ke Nagari Pariangan

Peserta Jelajah Tanah Air menikmati panorama pesawahan di Nagari Pariangan, Tanah Datar, Sumatera Barat, Selasa (19/8/2025). KANTARA FOTO/Iggoy el Fitra/nym.

Sebagai perbandingan, GIPI menyoroti bahwa negara-negara ASEAN lainnya menunjukkan komitmen yang tinggi terhadap pengembangan sektor pariwisata melalui dukungan terhadap program-program tourism board. Hal ini mencerminkan betapa seriusnya pemerintah di negara-negara tersebut dalam menjadikan pariwisata sebagai salah satu pilar utama ekonomi nasional.

“Kontribusi pemerintah terhadap pengembangan sektor pariwisata diberbagai negara sangat besar, sebagai contoh antara lain di negara-negara ASEAN, dimana dukungan pemerintahnya terhadap program tourism board di masing-masing negara, dalam pengembangan destinasi dan pasar,” ujarnya.

Berdasarkan dinamika pembahasan hingga pengesahan, GIPI menyimpulkan bahwa penetapan Undang-Undang tentang Kepariwisataan yang baru ini menunjukkan bahwa sektor pariwisata belum sepenuhnya menjadi prioritas dalam program pembangunan ekonomi nasional.

“Kesimpulan dari penetapan Undang-Undang tentang Kepariwisataan bahwa Pariwisata belum sepenuhnya menjadikan program prioritas bagi Pemerintah dalam Pembangunan Ekonomi Indonesia, disaat banyak negara yang sudah mulai fokus dalam pengembangan pariwisata guna meningkatkan devisa negara,” ujar GIPI.

Kata Pakar soal Kritik GIPI

Ketua Umum Ikatan Cendekiawan Pariwisata Indonesia Prof. Azril Azhari, sebenarnya menekankan bahwa Undang-Undang Kepariwisataan yang baru bukanlah revisi, melainkan perubahan mendasar. Salah satu perubahan paling signifikan adalah pergeseran dasar filosofis dari empat pilar pariwisata (industri, destinasi, pemasaran, dan kelembagaan) menjadi pendekatan berbasis ekosistem kepariwisataan.

“Saya sebutnya dasar filosofis itu adalah ekosistem kepariwisataan. Kemudian juga ini persyaratan dari UN tourism kan harus pada eco itu dikembangkan. Eco itu bukannya lingkungan tapi ekosistem ekologi. Jadi sistem ekologi pariwisata,” ujarnya saat dihubungi Tirto, Selasa (14/10/2025).

Azril menambahkan, ekosistem yang dimaksud mencakup tiga komponen utama: lingkungan biotik (flora dan fauna), lingkungan abiotik (seperti atmosfer dan litosfer), serta lingkungan sosial budaya masyarakat. Ketiganya harus dilindungi, dan tidak boleh dikorbankan atas nama pembangunan pariwisata.

Ia mencontohkan kasus-kasus seperti pembangunan resort di Pulau Komodo atau penambangan nikel di dekat Raja Ampat sebagai bentuk pelanggaran terhadap prinsip ekosistem pariwisata.

Spot wisata Piaynemo tidak terdampak limbah penambangan Nikel

Wisatawan berfoto di puncak Piaynemo Kabupaten Raja Ampat, Papua Barat Daya, Minggu (8/6/2025). Piaynemo yang merupakan spot pariwisata unggulan Raja Ampat dan menyuguhkan pemandangan gugusan pulau serta laut yang biru tersebut dipastikan tidak terdampak terhadap penambangan nikel di Pulau Gag. ANTARA FOTO/Olha Mulalinda/YU

Prof Azril Azhari, yang juga terlibat dalam pembahasan regulasi ini di DPR, menjelaskan bahwa pentingnya pariwisata berbasis komunitas (community-based tourism), sesuai dengan arahan UN Tourism. Dalam pendekatan ini, masyarakat menjadi subjek utama, bukan investor atau perusahaan besar.

Oleh sebab itu, GIPI, sebagai representasi asosiasi industri, menurutnya tidak relevan bila menuntut keterlibatan langsung dalam undang-undang. Hal ini disebabkan, yang dimaksud masyarakat dalam undang-undang ini adalah komunitas sebagai aktor utama dalam perencanaan, pengelolaan, hingga evaluasi kepariwisataan.

“Wajib ada pariwisata berbasis komunitas. Pariwisata itu tidak boleh berbasis kepada investor atau pengusaha. Nah, ini yang GIPI marah tidak ada namanya masuk. Jadi masyarakat harus terlibat, baik sebagai perencanaan atau sebagai pengelola ataupun sebagai evaluasinya,” ujarnya.

“Nah ini yang barangkali GIPI tadi agak sedikit sakit hati. Kenapa dia ini tidak boleh? Ya lah itu kan sudah ditunjuk tertentu, harusnya masyarakat,” sambungnya.

Terkait dana pariwisata, Prof. Azril menegaskan bahwa yang diusulkan bukanlah dana yang bisa langsung digunakan seperti anggaran biasa, tetapi bentuknya adalah dana abadi (endowment fund) yang hanya dapat dimanfaatkan hasil investasinya (yield), mirip dengan skema LPDP di sektor pendidikan.

Kunjungan wisatawan nusantara ke Kalimantan Timur

Sejumlah pengunjung berwisata di Pantai Kilang Mandiri, Balikpapan, Kalimantan Timur, Sabtu (9/8/2025). ANTARA FOTO/Aditya Nugroho/rwa.

Pengelolaan dana ini pun tidak boleh dilakukan oleh Kementerian Pariwisata, melainkan harus oleh lembaga yang lebih netral seperti Kementerian Keuangan atau lembaga yang ditunjuk presiden.

Terkait protes dari GIPI, Prof. Azril menyatakan bahwa mereka tampaknya belum memahami substansi undang-undang ini secara menyeluruh. Ia menyayangkan langkah GIPI yang langsung mengirimkan surat ke presiden, padahal naskah undang-undangnya pun belum ditandatangani resmi karena presiden sedang dalam kunjungan luar negeri.

Menurutnya, adalah keliru jika ada pihak yang merasa berhak secara eksklusif atas pengelolaan dana APBN hanya karena mereka adalah bagian dari industri.

“Tapi kalau nama GIPI masuk, ini kan undang-undang. Kalau undang-undang itu kan gak mungkin nama person satu perusahaan perusahaan X masuk,” ujarnya.

Penjelasan Pemerintah

Pemerintah, melalui Kementerian Pariwisata, turut memberikan klarifikasi terhadap pandangan dari GIPI. Pertama, Kementerian menegaskan bahwa perubahan ketiga terhadap Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan merupakan inisiatif dari DPR RI.

“Dalam proses penyusunannya telah dibahas bersama pemerintah dan industri kepariwisataan secara terbuka dan telah dilakukan berbagai rangkaian konsultasi publik,” tulis Kementerian Pariwisata dalam keterangan resminya, Senin (13/10/2025).

Selanjutnya, mengenai pelibatan asosiasi kepariwisataan, Kemenpar menyebut hal ini secara eksplisit telah tercantum dalam Bab IV Pasal 8 ayat (2) huruf j, yang membahas tentang ekosistem kepariwisataan.

“Dalam Bab VII Pasal 22 tercantum bahwa setiap pelaku usaha pariwisata berhak membentuk dan menjadi anggota asosiasi kepariwisataan. Atas dasar tersebut, maka asosiasi kepariwisataan dapat tetap berperan dalam membangun serta mengembangkan pariwisata Indonesia,” sambung Kemenpar.

Ketiga, kementerian menekankan bahwa koordinasi serta kemitraan strategis antara pemerintah dan pelaku industri pariwisata tetap dapat dijalankan secara fleksibel. Hal ini bisa diatur melalui peraturan pelaksana atau mekanisme kerja sama lainnya, sesuai dengan kebutuhan dan dinamika perkembangan sektor pariwisata.

Terakhir, Kemenpar memahami pentingnya pembentukan tourism board dalam pengembangan pariwisata Indonesia. “Namun, dalam konsultasi pemerintah dan DPR RI disepakati untuk tidak mengatur pembentukan badan dan nomenklatur/tugas fungsi badan baru, karena Badan Promosi Pariwisata Indonesia sebelumnya sudah diatur dalam UU No. 10 Tahun 2009,” tulis Kementerian Pariwisata.

Mengenai usulan GIPI untuk membentuk BLU Pariwisata yang dapat menarik pungutan dari wisatawan mancanegara, dijelaskan bahwa konsep BLU diatur secara spesifik dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum.

Dalam Pasal 1 Ayat 1 disebutkan bahwa BLU adalah instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan keuntungan, dengan prinsip efisiensi dan produktivitas.

“Badan Layanan Umum, yang selanjutnya disebut BLU, adalah instansi di lingkungan Pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan dan dalam melakukan kegiatannya didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas,” tulis Pasal 1 Ayat 1.

Lebih lanjut, terkait pernyataan GIPI yang menilai bahwa pemerintah hanya menikmati pendapatan dari devisa, pajak, dan PNBP sektor pariwisata tanpa memberikan dukungan yang cukup kepada industri untuk mengembangkan pasarnya, Kementerian menolak anggapan tersebut.

Sebagai bentuk dukungan nyata kepada pelaku industri pariwisata, pemerintah melalui Kementerian Pariwisata telah meluncurkan berbagai kebijakan dan program strategis.

Di antaranya adalah adalah pemberian insentif berupa PPh 21 Ditanggung Pemerintah (DTP) bagi pekerja di sektor-sektor yang terkait dengan pariwisata, khususnya bagi mereka yang memiliki penghasilan di bawah Rp10 juta per bulan.

Kementerian juga menyelenggarakan program magang selama enam bulan yang ditujukan bagi lulusan baru dari jenjang D1 hingga S1. Dalam aspek promosi, anggaran pemasaran Kementerian dimanfaatkan untuk meningkatkan daya tarik destinasi wisata Indonesia, sekaligus membantu pelaku industri dalam memasarkan produk-produk pariwisata mereka, baik di pasar domestik maupun mancanegara.

“Surat Edaran Menteri Pariwisata Nomor SE/4/HK.01.03/MP/2025 tentang Himbauan Pendaftaran Perizinan Berusaha Bagi Pelaku Usaha Penyediaan Akomodasi Pariwisata yang bertujuan untuk menciptakan kondisi berusaha yang adil dan imbang lintas pelaku usaha pariwisata,” pungkas Kemenpar.

Baca juga artikel terkait PARIWISATA atau tulisan lainnya dari Alfitra Akbar

tirto.id - News Plus
Reporter: Alfitra Akbar
Penulis: Alfitra Akbar
Editor: Farida Susanty