Menuju konten utama
Penundaan Pemilu 2024

Giliran Koalisi Sipil Laporkan Hakim PN Jakpus ke KY

PN Jakpus semestinya memutuskan nebis in idem terkait gugatan Partai Prima. Pasalnya, gugatan tersebut telah ditolak sebelumnya oleh PTUN.

Giliran Koalisi Sipil Laporkan Hakim PN Jakpus ke KY
Komisi Yudisial. wikimedia commons/fair use

tirto.id - Koalisi Masyarakat Sipil Kawal Pemilu Bersih melaporkan tiga anggota majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat ke Komisi Yudisial [KY] pada Senin (6/3/2023). Pelaporan tersebut terkait putusan penundaan Pemilu 2024. Ketiga hakim terlapor yakni T. Oyong, H. Bakri dan Dominggus Silaban.

"Menurut kami itu melanggar kode etik dan perilaku hakim yang telah dibuat KY dan MA [Mahkamah Agung, red]," kata anggota koalisi, Saleh Alghifari di Gedung KY, Jakarta Pusat.

Dugaan pelanggaran kode etik hakim PN Jakpus terlihat dari dua poin pada peraturan kode etik dan perilaku hakim. Pertama, kata dia, profesionalitas hakim. "Di mana hakim harus menerapkan profesionalitasnya dalam menjalankan tugasnya," ucap Saleh.

Lebih lanjut, ia mengatakan poin kedua ialah berkaitan dengan hakim yang seharusnya melandaskan tindakannya dari nilai-nilai hukum yang luhur di masyarakat.

"Bagian tadi sudah dijelaskan bahwa profesional ini seharusnya majelis hakim mendasarkan pelaksanaan tugasnya dengan pengetahuan yang luas," jelasnya.

Mereka menganggap majelis hakim mengabaikan konstitusi Pasal 22E Ayat 1 UUD 1945 yang mewajibkan pemilu dilaksanakan lima tahun sekali secara luber dan jurdil.

Di sisi lain, mereka menilai petitum dalam perkara ini seharusnya diperiksa oleh majelis hakim pada putusan sela tentang kompetensi absolut. "Itu seharusnya tidak dilanjutkan," tandas Saleh.

Perihal mekanisme, kata dia, upaya yang bisa ditempuh jika terjadi pelanggaran hukum hak-hak orang ihwal administrasi kepemiluan seharusnya diselesaikan di Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

"Hal ini yang kami lihat hakim tidak mencerminkan Pasal 7 Ayat 1, yang mana melandaskan tindakannya, menjalankan tugasnya berdasarkan undang-undang yang berlaku, yaitu UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu," terang Saleh.

Pada kesempatan sama, peneliti Perludem Ihsan Maulana menyebutkan sejumlah pertimbangan sehingga pihaknya melaporkan ketiga hakim itu.

Ia menyebut pertama karena tidak ada mekansime hukum apapun untuk menunda pelaksanaan Pemilu. Ketika ada putusan PN Jakpus yang menunda Pemilu jelas bertentangan dengan Undang-Undang Dasar dan UU Pemilu.

"Kedua, kami memandang bahwa apa yang diputusakan hakim PN Jakpus itu tidak sesuai dengan prinsip profesonalisme dan kearifan dan bijakasana sebgaimana tadi disampaikan tentang kode etik dan perilaku hakim," kata Ihsan.

Ihsan mengatakan dalam putusan hakim disebutkan bahwa mekanisme Pemilu lanjutan atau Pemilu susulan. Sementara, dalam Undang-Undang Pemilu pada Pasal 431 dan 432 mekanisme Pemilu lanjutan dan susulan itu tidak sama dengan penundaan Pemilu.

"Jadi, ada kekeliruran hakim tidak profesonal karena tidak cermat membaca aturan yang ada di dalam UU Pemilu dan tidak arif dan bijaksana," tukas Ihsan.

"Kami berharap putusan KY menjadi salah satu pembelajaran bagi siapapun, termasuk proses banding yang dilakukan bahwa proses penundaan pemilu bukan pada koridor sebagaimana yang terjadi hari ini," kata Ihsan.

Advokat dari Themis Indonesia, Ibnu Syamsu Hidayat mengatakan penggugat dalam perkara yang ditangani PN Jakpus ialah Partai Prima dan tergugatnya KPU.

"Yang disengketakan adalah bagaimana KPU tidak meloloskan penggugat dalam hal ini Prima. Prima tidak setuju dan kemudian ajukan ke Bawaslu. Bawaslu memberikan kesempatan 1x24 jam untuk melakukan verifikasi admimistrasi," ucap Ibnu.

Ibnu mengatakan dalam proses verifikasi administrasi itu ada kendala-kendala dalam Sistem Informasi Partai Politik [Sipol] KPU. Partai Prima lantas menggugat masalah itu ke Bawaslu.

"Kemudian diputus nebis in idem dan kemudian juga diajukan ke PTUN. PTUN tidak dapat menerima gugatan penggugat," terang Ibnu.

Dari rangkaian itu, kata dia, objek sengketanya bukan ranah privat, tetapi hasil atau kebijakan dari produk lembaga negara, yakni KPU.

Ibnu kemudian mengutip Perma Nomor 2 Tahun 2019 yang isi pasal-pasalnya jelas menyebut objek perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh penguasa itu ada di ranah PTUN.

"Artinya, putusan sela yang dilakukan oleh majelis hakim PN Jakpus pada 20 januari 2023 lalu yang kemudian mengabulkan gugatan atau menolak eksepsi dari tergugat," tutur Ibnu. "Kewenangan absolut di pengadilan negeri itu kami anggap melanggar Perma Nomor 2 tahun 2019."

Selain itu, lanjut dia, Pasal 10 dan 11 di Perma Nomor 2 Tahun 2019 sangat jelas menyatakan apabila ada gugatan perbuatan melawan hukum yang masuk pada pengadilan negeri sudah disidangkan, maka putusannya harus nebis in idem atau tidak dapat diperiksa kembali untuk kedua kalinya.

"Putusannya adalah tidak diterima dan kemudian apabila belum diperiksa maka dilimpahkan kepada PTUN," pungkas Ibnu.

Baca juga artikel terkait PENUNDAAN PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Fransiskus Adryanto Pratama

tirto.id - Hukum
Reporter: Fransiskus Adryanto Pratama
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Fahreza Rizky