tirto.id - Indro (Tora Sudiro) pulang kemalaman. Istrinya, Nita (Mieke Amalia), otomatis curiga. Indro yang dituduh selingkuh menjelaskan alasannya dengan terbata-bata. Ia dilanda dilema sebab sikap diam akan membuat Nita makin curiga, sementara bercerita yang sebenarnya pun akan susah dipercaya.
Bukan apa-apa. Indro baru saja bertemu sekaligus mengajak jalan-jalan seorang alien bernama Alien yang biasa dipanggil Al (Indro Warkop). Absurd? Pasti. Lucu? Nanti dulu.
Di sepanjang film Indro berupaya menjelaskan detail petualangannya kepada Nita agar ia percaya. Upaya yang berat sebab Nita tergolong perempuan yang skeptis. Tentu saja. Warga kelas-menengah-urban-abad-ke-21 mana yang percaya pada alien?
Berkali-kali Nita menginterupsi Indro sembari menasihati agar Indro mengarang cerita dengan lebih baik yang lebih bisa dipercaya. Indro lama-lama kesal, tapi tak menyerah.
Al pertama bertemu Indro di atas metro mini. Al tak punya uang kecil, sehingga Indro membayarkan ongkosnya. Al mengucap terima kasih. Mendadak keduanya akrab melalui obrolan tentang asal-usul Al hingga mengapa ia datang ke bumi.
Tubuh Al bongsor dengan perut membuncit. Kulit seluruh badannya oranye terang, seterang warna kostum tim nasional sepak bola Belanda. Jari-jari tangan dan kakinya besar-besar. Kepalanya botak dan membengkak.
Telinganya panjang dan ujungnya meruncing, mirip warga planet Namek. Kumis dan jenggotnya panjang serta berwarna-warni, yang dari jauh serupa dengan Davy Jones, bajak laut berkepala gurita di film Pirate of the Caribbean. Ia mengenakan baju terusan panjang warna biru dan perak berkilauan.
Penampilan itu seharusnya terlihat menyeramkan untuk Indro, kernet, dan penumpang metro mini lain. Tapi kenyataannya tidak demikian. Mereka dan tokoh lain di film ini melihat Al sebagai badut yang biasa disewa saat ulang tahun anak.
Indro sendiri sempat mengira Al adalah orang normal yang baru pulang dari acara cosplay, konsep yang bikin bingung Al. Orang lain yang bertemu dengan Al minimal kaget, namun entah mengapa segera terbiasa. Barangkali menganggapnya sebagai badut itu, atau sekedar orang dengan kostum aneh.
Hal ini bisa dianggap sebagai trik dari si penulis cerita untuk memudahkan pembauran Al dengan orang lain. Menampilkan alien yang tidak mirip badut atau sosok lain yang sudah dikenal warga Jakarta akan membuat cerita semakin kompleks, atau bahkan mengubah jalan cerita seutuhnya.
Malas, bukan? Akan menghabiskan lebih banyak waktu, tenaga, dan biaya pula. Lagipula, buat apa repot-repot melahirkan ide yang macam-macam untuk sebuah hiburan ringan, jika ada opsi membikin konsep yang serba kebetulan dan instan itu?
Konsep yang serba kebetulan dan instan itu juga yang jadi jawaban Indro setiap kali Nita bertanya secara kritis. Misalnya, Nita bertanya mengapa Al bisa berbahasa Indonesia yang baik dan benar. Indro menjawab sebab Al memang punya kemampuan menguasai semua bahasa di bumi.
Kesemuanya barangkali dipandang tidak esensial sebab Gila Lu Ndro! bukan berfokus pada penciptaan dunianya sendiri yang logis. Penonton diminta untuk menikmati kritik sosial yang disampaikan Indro maupun dari pertanyaan-pertanyaan polos Al.
Komedi satire dipilih untuk bisa “mengkritik orang tanpa membuat orang marah”, demikian kata Indro Warkop dalam acara pemutaran perdana Gila Lu Ndro! di Epicentrum, Jakarta, Sabtu (9/9/2018), sebagaimana dilaporkan Antara.
Tora Sudiro bersepakat. Film komedi kesekiannya itu menggunakan lawakan satire untuk mengkritisi situasi yang berkembang sekarang. “Banyak satire kayak film Oom Indro yang dulu. Di sini kita juga banyak bermain di CGI,” ujar aktor berusia 45 tahun tersebut.
Al adalah raja dari planet berbulu yang diklaim sebagai planet terindah di tata surya. Suatu ketika planetnya dikacaukan oleh konflik akibat perkara sepele. Al kemudian menjalankan “studi banding” ke bumi untuk mencari kedamaian.
Sejak pembahasan ini satire sudah mulai digelontorkan. Indro menimpali “studi banding” Al dengan kebiasaan yang sama yang dilakoni anggota dewan di Indonesia, padahal aslinya jalan-jalan.
Kritik demi kritik, satire demi satire kemudian bergulir, terutama dalam konteks pencarian “perdamaian”. Al menanyakannya ke polisi saat ditilang sebab tak memakai helm saat dibonceng Indro. Ia mencarinya hingga ke panti pijat bernama Sumber Damai.
Al bertindak selayaknya makhluk yang amat polos dalam memandang kelakuan warga Jakarta (atau Indonesia). Ia bingung dengan pertengkaran pelayan restoran pendatang dengan pelayan warga asli Jakarta. Ia bingung dengan kelakuan suami-istri yang menawar habis-habisan penjual buah pinggir jalan namun tidak saat di supermarket.
Dan lain-lain, dan lain-lain.
Gila Lu Ndro pada dasarnya adalah kompilasi atas pengalaman membingungkan Al yang idealis yang ditutup dengan penjelasan yang realistis oleh Indro. Selama keduanya berkeliling kota, Indro juga bertindak seperti motivator yang menyampaikan nilai-nilai moral di balik setiap kejadian.
Apakah sutradara dan penulis naskah khawatir penonton tidak bisa menggali nilai sendiri? Bahkan dalam satire yang ringan sekalipun? Mungkin saja, Namun, satu hal yang mendasar, satire pada dasarnya adalah seni menyindir dalam konteks humor sehingga idealnya memancing orang untuk tertawa.
Sayangnya satire-satire di film ini gagal lucu. Ini bukan penilaian subjektif semata. Di pemutaran hari pertama film di 21 Cinema Pejaten Village Mall, Kamis (13/9/2018), saya memperhatikan para penonton justru tertawa ketika film menampilkan adegan-adegan dagelan (slapstick) atau celetukan-celetukan yang tak ada hubungannya dengan kritik tadi.
Satire-satire itu kering sebab berisi sindiran yang kurang tajam. Penulis cerita seakan kurang berani dalam memilah isu. satire-satire dalam film ini tidak memberi daya kejut yang mengena. Alur film yang didasarkan pada satire tersebut akhirnya menjadi membosankan sebab mudah ditebak arahnya kemana.
Semua orang sudah paham soal “uang damai” saat ditilang polisi, kritik atas popularitas yang diraih oleh para pesohor meski talentanya tidak jelas, atau bagaimana hoaks lahir di masyarakat karena komunikasi yang bermasalah namun kontennya tetap menyebar bak api menyambar padang rumput kering.
Dialog antar tokoh utama terlalu bertele-tele. Hal ini paling terlihat dalam dialog Indro dan Nita. Nita yang selalu penasaran dengan latar belakang Al selalu bertanya kepada Indro. Saat adegan berganti ke bagian Indro sedang bersama Al, Indro mengulangi pertanyaan yang sama. Kadang bahkan lebih dari sekali.
Sinematografi film sama sekali biasa. Belum lagi musik latar yang dipakai secara berlebihan hanya demi membangkitkan kesan komedik secara instan, seperti suara semacam “tuing-tuing”, “cring-cring”, “pluk-pluk”, dan lain-lain.
Dalam laporan Antara Tora juga menyebut pemakaian Computer-Generated Imagery (CGI) dalam film, yang nyatanya masih kasar. Indro Warkop bilang, meski Gila Lu Ndro! adalah film komedi, “tapi kita kerjainnya dengan serius abis.”
Namun bagaimana penonton harus percaya akan klaim keseriusan itu jika satire-satire yang tersaji jenuh semata dan elemen-elemen lainnya tidak istimewa?
Editor: Windu Jusuf