tirto.id - Wakil Presiden RI, Gibran Rakabuming Raka, tengah menghadapi gugatan perdata dan diminta untuk membayarkan uang ganti rugi sebesar Rp125 triliun dan Rp10 juta kepada negara. Gugatan itu diajukan ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat oleh seorang pengacara bernama Subhan Palal.
Subhan, melalui firma hukumnya, Subhan Palal & Rekan, mengajukan gugatan kepada Gibran karena dinilai telah melakukan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Selain Gibran, pihak yang turut digugat oleh Subhan adalah Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu.
Berdasarkan wawancara dengan Tirto, Subhan menggugat Gibran, karena menurutnya, putra sulung Joko Widodo (Jokowi) itu tidak layak untuk menduduki posisi wakil presiden. Pasalnya, ia tidak pernah bersekolah di tingkat SMA di Indonesia. Padahal, Subhan mengatakan, pernah bersekolah di SMA atau sederajat di Indonesia merupakan salah satu persyaratan yang dibutuhkan untuk menjadi seorang wakil presiden.
“Alasan utamanya [mengajukan gugatan itu karena] Gibran tidak pernah tamat sekolah SLTA di Indonesia. Dan itu menjadi syarat minimum menjadi calon wakil presiden waktu itu. Di Undang-Undang Pemilu itu. Nah, Gibran nggak punya itu, tapi diloloskan oleh KPU,” kata Subhan, saat dihubungi Tirto pada Kamis (4/9/2025).
Sebagai dasar atas gugatannya, Subhan mengacu kepada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dan juga Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 19 Tahun 2023 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden.
Secara spesifik, Subhan mendasari gugatannya itu pada Pasal 169 UU Nomor 7 Tahun 2017 dan Pasal 13 PKPU Nomor 19 Tahun 2023. Kedua pasal itu memiliki isi yang sama, yakni seorang calon presiden dan calon wakil presiden diharuskan memenuhi syarat “berpendidikan paling rendah tamat sekolah menengah atas, madrasah aliyah, sekolah menengah kejuruan, madrasah aliyah kejuruan, atau sekolah lain yang sederajat.”
“Nah, dia [Gibran] nggak punya [persyaratan] itu. Dasarnya itu,” terang Subhan.
Berdasarkan informasi yang didapat dari berbagai sumber, Gibran Rakabuming Raka mendapatkan pendidikan menengah atasnya di Orchid Park Secondary School, Singapura.
Oleh karenanya, Subhan meminta pengadilan untuk memutuskan bahwa pencalonan Gibran sebagai wakil presiden tidaklah sah. Pasalnya, ia menyebut bahwa syarat pernah bersekolah di tingkat SMA sederajat itu merupakan suatu syarat subjektif yang melekat pada diri Gibran. Sehingga, syarat itu wajib dipenuhi oleh Gibran seorang diri pada saat ia mencalonkan diri sebagai wakil presiden pada Pemilu 2024 lalu.
Meskipun pencalonan Gibran dinilai tidak sah, tetapi saat itu, KPU tetap membiarkannya untuk maju sebagai salah satu kontestan. Bagi Subhan, KPU tetap meloloskan Gibran karena pada saat itu mereka tengah terbelenggu oleh relasi kuasa dari bapak Gibran, yakni Presiden Jokowi.
“Nah, lolosnya [Gibran] menjadi calon Wakil Presiden waktu itu, dugaan yang paling kuat itu KPU terbelenggu oleh relasi kuasa bapaknya. Dan itu yang akan kami buktikan di pengadilan,” tegas Subhan.

Subhan menjelaskan, selain meminta pengadilan memutuskan pencalonan Gibran sebagai wakil presiden tidak sah, ia juga meminta Gibran membayarkan uang sebesar Rp125 triliun dan Rp10 juta kepada negara. Besaran angka itu, menurut Subhan, tidak datang secara sekonyong-konyong. Ia mengaku telah menghitung biaya pencalonan Gibran menjadi calon wakil presiden, hingga biaya pengangkatannya sebagai Wakil Presiden.
Subhan menegaskan bahwa denda itu harus dibayarkan oleh Gibran sebab ia telah merugikan Indonesia sebagai negara hukum. Namun, ia menganggap denda itu bukan inti dari gugatannya.
Baginya, yang terpenting tetaplah pengadilan harus memutuskan bahwa pencalonan Gibran tidak sah dan termasuk ke dalam perbuatan melawan hukum yang melibatkan dua pelaku, yakni Gibran dan KPU.
Ia juga memastikan bahwa gugatannya ini bukanlah sebagai kepentingan politis dan murni hanya karena alasan hukum. Sebab, selama ini, ia mengaku dirinya tidak pernah terafiliasi dengan partai politik atau kelompok tertentu.
“Saya itu pure hukum saja. Itu pure hukum. Nggak ada saya berafiliasi partai politik atau apa,” pungkasnya.
Tak Semua Pihak Bisa Gugat Proses Pemilu
Menanggapi gugatan ini, Komisioner KPU, Idham Holik, mengatakan bahwa gugatan terkait pencalonan peserta Pilpres menjadi bagian dari sengketa proses pemilu yang telah dijelaskan di dalam UU Pemilu. Keseluruhan aturan terkait sengketa proses pemilu itu sudah tercantum di dalam Pasal 466 sampai 472 UU Pemilu.
“Gugatan terkait pencalonan peserta Pilpres adalah sengketa proses pemilu sebagaimana dijelaskan pada Pasal 466 sampai dengan Pasal 472 dalam UU Nomor 7 Tahun 2017,” kata Idham saat dihubungi Tirto pada Kamis.
Dalam Pasal 466 UU Pemilu dijelaskan bahwa sengketa proses pemilu merupakan sengketa yang terjadi antar-peserta pemilu ataupun peserta pemilu dengan penyelenggara pemilu. Dalam pasal itu, hanya ada dua pihak yang bisa menggugat proses pemilu, yakni peserta dan juga penyelenggara pemilu. Tidak ada ketentuan bagi masyarakat umum yang hendak menggugat proses pemilu.
Selanjutnya, dalam Pasal 468, dijelaskan bahwa sengketa proses pemilu diselesaikan oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) di tingkat pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota. Apabila nantinya masih tidak ada kesepakatan antara pihak yang bersengketa di Bawaslu, maka para pihak bisa mengajukan upaya hukum kepada Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Dalam hal penyelesaian sengketa proses Pemilu sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a, huruf b, dan huruf c yang dilakukan oleh Bawaslu tidak diterima oleh para pihak, para pihak dapat mengajukan upaya hukum kepada pengadilan tata usaha negara,” begitu bunyi Pasal 469 ayat 2 UU Pemilu, dikutip pada Kamis (4/9/2025).
Dalam UU Pemilu, tidak ada ketentuan apabila masyarakat sipil di luar peserta ataupun penyelenggara pemilu yang hendak menggugat proses pemilu. Sehingga, kasus seperti gugatan Subhan di PN Jakarta Pusat, yang mempermasalahkan proses pencalonan Gibran pada Pemilu 2024 lalu, sebenarnya tidak masuk ke dalam UU itu.
Sementara itu, terkait dengan gugatan Subhan yang menilai pencalonan Gibran tidak sah karena ia tidak pernah menjalankan SMA di Indonesia, Idham merujuk pada Pasal 16 Peraturan Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Permendikbudristek) Nomor 58 Tahun 2024 tentang Ijazah Jenjang Pendidikan Dasar dan Pendidikan Menengah.

Dalam Pasal 16, dijelaskan bahwa ijazah atau dokumen hasil belajar dari luar negeri tetap diakui untuk melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan dengan sistem pendidikan nasional.
“Ijazah/dokumen hasil belajar yang diperoleh dari sistem pendidikan luar negeri diakui untuk melanjutkan pendidikan pada satuan pendidikan dengan sistem pendidikan nasional,” begitu tulis Pasal 16 Permendikbudristek Nomor 58 Tahun 2024, dikutip pada Kamis.
Banyak Pihak Ingin Seret Gibran ke Ranah Hukum
Dosen Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, menilai bahwa dari perspektif hukum tata negara, tidak ada aturan yang secara eksplisit membatasi syarat pendidikan calon presiden atau wakil presiden harus ditempuh di dalam negeri.
Menurutnya, hal-hal administratif seperti penyetaraan ijazah lazimnya dilakukan melalui mekanisme pendaftaran di kementerian terkait.
“Kalau ada hal-hal yang sifatnya administratif, itu biasanya tinggal didaftarkan aja. Saya gak tau apakah timnya Gibran sudah mendaftarkan atau belum waktu mendaftar ke KPU,” jelas Bivitri saat dihubungi Tirto, pada Kamis.

Ia mencontohkan, penyetaraan ijazah dari luar negeri biasanya dilakukan dengan menyerahkan dokumen akademik untuk diverifikasi, sehingga status pendidikannya bisa diakui secara resmi oleh negara. Dugaan Bivitri, hal itu pula yang semestinya dilakukan Gibran.
Meski begitu, secara teoritis gugatan ini tetap mungkin dipersoalkan di pengadilan apabila memang ada celah administratif yang belum dipenuhi. Sebab, praktik menguji berbagai celah administratif yang luput dari perhatian semacam itu memang kerap dilakukan dalam ilmu hukum.
“Mungkin aja [gugatan itu dilayangkan], di atas kertas yang kayak gitu-gitu mungkin ya,” ujarnya.
Bivitri menilai gugatan yang diajukan Subhan ini sangat kental dengan aspek politis, sebab pihak yang digugat merupakan seorang wakil presiden. Terlebih, sosok Gibran, yang seringkali dianggap kontroversial dan inkapabel, Bivitri bisa mengerti mengapa banyak pihak yang hendak menempuh berbagai cara untuk menyeret Gibran ke dalam ranah hukum.
“Pasti ada tujuan politis ya, kan kita membicarakan wakil presiden, dan wakil presidennya kontroversial, dianggap nggak punya kapabilitas,” kata Bivitri.
Terkait kemungkinan gugatan itu berujung pada pemakzulan Gibran, Bivitri menyebut proses tersebut sepenuhnya bersifat politis dan bergantung pada dinamika di DPR. Menurutnya, langkah sejauh itu baru bisa terjadi bila ada perpecahan politik yang signifikan, terutama di kubu pemerintahan.
Upaya Mendelegitimasi Gibran?
Analis sosio-politik dari Helios Strategic Institute, Musfi Romdoni, menilai gugatan terhadap Gibran lebih kuat nuansa politiknya ketimbang murni aspek hukum. Ia mempertanyakan mengapa keberatan serupa tidak diajukan sebelum Pilpres 2024, padahal, saat itu ada momentum gugatan ke Mahkamah Konstitusi.
Ia melihat gugatan ini merupakan bagian dari rangkaian upaya untuk mendelegitimasi Gibran. Sebelumnya, kata dia, sempat muncul pula surat dari Forum Purnawirawan TNI yang meminta agar Gibran dilengserkan dari jabatannya. Menurut Musfi, isu latar belakang pendidikan Gibran memang rentan digoreng di ruang publik, terutama di media sosial.

“Sejak Gibran maju sebagai cawapres, isu soal pendidikannya selalu menjadi target serangan, khususnya di media sosial. Bahkan setelah Gibran resmi menjadi Wakil Presiden, serangan-serangan itu terus berlanjut,” jelasnya kepada Tirto, Kamis.
Konsentrasi serangan yang diarahkan melalui media sosial membuat isu ini sangat mungkin memengaruhi persepsi pemilih muda. Sebab, pemilih muda pada Pilpres 2024 dan 2029 mendatang akan menjadi kelompok pemilih dominan, dengan jumlah mencapai lebih dari 50 persen.
Lebih jauh, ia menilai pihak-pihak yang mendorong isu ini bisa berasal dari kelompok politik yang ingin melemahkan dominasi “Geng Solo” di pemerintahan, maupun kelompok masyarakat umum yang memang tidak menyukai figur Gibran.
Tujuan akhirnya, menurut Musfi, tidak hanya untuk menggoyang posisi Gibran saat ini, tetapi juga mencegahnya maju di Pilpres 2029 mendatang.
“Serangan ini akan terus berlanjut dengan tujuan agar Gibran tidak bisa maju di Pilpres 2029,” pungkas Musfi.
Penulis: Naufal Majid
Editor: Farida Susanty
Masuk tirto.id


































