tirto.id - Indonesia Corruption Watch melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri ke Badan Reserse Kriminal Polri atas dugaan penerimaan gratifikasi perihal kunjungan pribadi menggunakan helikopter. Pengaduan langsung yang menyertakan berkas bukti dugaan pun telah diserahkan kepada Bareskrim.
Namun, hingga kini belum ada tindak lanjut dari pengaduan tersebut. Karo Penmas Divisi Humas Polri Brigjen Pol Rusdi Hartono menyatakan pihaknya menghargai upaya yang telah dilakukan Dewan Pengawas KPK dalam penyelesaian dugaan gratifikasi tersebut. Belum diketahui pula apakah berkas pengaduan ICW akan dilimpahkan ke Dewas KPK.
“Barekrim punya pertimbangan terhadap aduan tersebut, Polri melihat bahwa hal tersebut pernah diselesaikan secara internal di KPK,” ujar Rusdi di Mabes Polri, Selasa (8/6/2021). Itulah yang menjadi pertimbangan Bareskrim, yang menurut Rusdi, pengusutan oleh Dewas KPK telah cermat dan mendalam.
Kabareskrim Polri Komjen Pol Agus Andrianto bahkan meminta agar kepolisian tak disangkutpautkan soal masalah Firli. "Sudah ditangani oleh Dewan Pengawas (KPK). Mekanisme internal di KPK akan bergulir sesuai aturan. Jangan tarik-tarik Polri. Saat ini kami fokus kepada penanganan dampak kesehatan dan pemulihan ekonomi nasional dan investasi," kata dia, Jumat (4/6/2021).
ICW menemukan ada perbedaan harga sewa pesawat. “Kami mendapat informasi lain bahwa harga sewa [helikopter] per jam sekitar USD 2.750 atau setara Rp39 juta. Jika ditotal, Rp172 juta yang harus dibayar,” ucap Koordinator Divisi Pengelolaan Pengetahuan ICW Wana Alamsyah di Mabes Polri. Firli pernah menjalani sidang etik oleh Dewasa KPK, kala itu ia bilang harga sewa per jam Rp7 juta belum termasuk pajak.
Bila Firli menyewa empat jam, kata Wana, ada selisih Rp141 juta atau ‘diskon’ 42 persen, yang diduga sebagai penerimaan gratifikasi. Firli dianggap melanggar Pasal 12B Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ICW juga mendapatkan informasi perihal dugaan konflik kepentingan maupun terkait penyedia helikopter, PT Air Pacific Utama.
Hasil penelusuran ICW, salah satu komisaris di perusahaan tersebut pernah dipanggil menjadi saksi kasus dugaan suap pemberian izin pembangunan Meikarta yang melibatkan Bupati Bekasi Neneng Hassanah Yasin. Maka ICW juga memberitahukan temuan itu ke Direktorat Tindak Pidana Korupsi Bareskrim Polri.
Ada sembilan perusahaan jasa penyewaan helikopter yang berpotensi digunakan Firli, tapi ICW heran mengapa ia memilih PT Air Pacific Utama. “Kami pun mempertanyakan mengapa Dewan Pengawas tidak menelusuri lebih lanjut terhadap informasi yang disampaikan oleh Firli,” sambung Wana.
Tirto berupaya menghubungi Firli melalui sambungan telepon dan pesan singkat, tapi yang bersangkutan tidak merespons hingga artikel ini tayang.
Kronologi Pelanggaran Etik Firli
Firli menyewa helikopter PK-JTO seharga Rp7 juta per jam--angka hasil pemeriksaan Dewas KPK--dalam perjalanan dari Palembang ke Baturaja dan sebaliknya, pada 20 Juni 2020. Empat hari kemudian, Koordinator Masyarakat Anti Korupsi Indonesia (MAKI) Boyamin Saiman kembali mengadukan Firli ke Dewas KPK atas dugaan bergaya hidup mewah karena menggunakan helikopter milik perusahaan swasta dalam perjalanan untuk kepentingan pribadi.
Pada 26 Agustus, pegiat antikorupsi meminta Dewas KPK memberi sanksi berat kepada Firli. Diharapkan sanksi itu disertai perintah agar Firli mengundurkan diri. Pada 24 September 2020, Dewas KPK menggelar sidang pembacaan putusan dugaan pelanggaran etik Firli. Hasilnya, Firli dinilai bersalah melanggar kode etik karena menyewa helikopter saat berpergian dengan istri dan dua anaknya untuk perjalanan pribadi.
Anggota Dewan Pengawas KPK Albertina Ho menilai upaya jenderal polisi itu “berpotensi menimbulkan runtuhnya kepercayaan atau distrust masyarakat terhadap terperiksa dalam kedudukannya sebagai Ketua KPK dan setidak-tidaknya berpengaruh pula terhadap pimpinan KPK seluruhnya.” Firli divonis melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf n dan Pasal 8 ayat (1) huruf f Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 02 Tahun 2020 tentang penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK.
Artinya, Firli telah mencederai Bab IV ihwal kewajiban dan larangan, bagian kesatu dan bagian kelima soal integritas dan kepemimpinan [PDF].
Sikap Firli dinilai tidak sejalan dengan prinsip hidup sederhana yang ditanamkan KPK; tidak menyadari pelanggaran yang dilakukan; dan sebagai Ketua KPK tidak memberikan teladan malah melakukan sebaliknya. Kemudian, peneliti ICW Kurnia Ramadhana mempertanyakan pernyataan Kabareskrim Agus terkait laporan dugaan korupsi gratifikasi Firli Bahuri.
“Betapa tidak, dari pernyataannya terlihat Kabareskrim enggan untuk menelusuri lebih dalam bukti yang telah disampaikan,” kata dia kepada reporter Tirto, Rabu (9/6/2021). Pun, pernyataan itu tidak tepat disampaikan. Sebab, ranah Dewas KPK berbeda dengan Polri.
Dewas KPK menelusuri pelanggaran etik, sedangkan Bareskrim Polri berurusan dengan potensi tindak pidana. Sebagai aparat hukum, semestinya Bareskrim menelaah laporan sembari melakukan penyelidikan.
“Bukan justru mengatakan ‘menarik-narik institusi Polri dalam polemik KPK’. Kami mendesak Kapolri untuk menegur Kabareskrim dan memerintahkan jajarannya menelusuri lebih lanjut laporan kami,” kata Kurnia.
Etik Rampung, Pidana Gantung
Direktur Eksekutif Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Erasmus Napitupulu menegaskan bahwa pelanggaran pidana tetap bisa diperiksa, meski perkara etik kelar. Dua hal itu berbeda. “Etik tidak memproses pidana. Sepanjang ada pasal pidana dan bisa dilaporkan, polisi harus periksa dahulu,” kata dia kepada Tirto, Rabu kemarin.
Mahkamah Konstitusi juga memutuskan bahwa Dewas KPK bukan bagian dari proses peradilan. Jadi tidak bisa digabung antara masalah etik dan pidana. Pasal 37B ayat (1) huruf e UU Nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan Kedua atas UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi [PDF] menyebutkan salah satu tugas Dewas KPK adalah menyelenggarakan sidang untuk memeriksa adanya dugaan pelanggaran kode etik oleh pimpinan dan pegawai KPK.
Pelanggaran hukum pasti termasuk pelanggaran etik, tapi belum tentu sebaliknya. Tanpa membuktikan pelanggaran hukum pun, menurut Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia Asfinawati, bisa terjadi pelanggaran etik. Misalnya seorang hakim bertemu dengan pihak beperkara guna transaksi kasus, artinya hakim itu melanggar etik dan hukum.
Bertautan dengan gratifikasi Firli, Asfin berpendapat mestinya Polri sejak dahulu menuruti tuntutan publik agar Firli mundur dari Korps Bhayangkara, bahkan pasukan seragam cokelat itu pun tak merekomendasikan Firli untuk melepaskan diri dari kepolisian.
“Artinya dia (Firli) masih terikat segala macam aturan di Polri. Dia tidak perlu menunggu putusan etik kalau mau menjalankan pidana,” kata Asfin kepada reporter Tirto.
Kala masyarakat sipil meminta pertanggungjawaban polisi, pihak Polri malah melemparkan itu kepada KPK, yang menurut Asfin, di situ tersimpan semangat Korps untuk membela Firli. Ia mengingatkan presiden sebagai atasan langsung Polri dan KPK agar turun tangan menuntaskan masalah ini.
“Apa Dewas sudah beri sanksi kepada pimpinan KPK lain? Kita belum dengar. Kalau tidak pernah terjadi (pemberian hukuman), ini terbukti pelemahan KPK dalam revisi undang-undang. Dilaporkan ke polisi juga tidak jalan (proses pengusutan). Ini berarti semua kongkalikong.”
Masalah Etik di KPK Sebelum Firli Bahuri
Delapan tahun silam, Komite Etik KPK menerbitkan Putusan Nomor: 01/KE-KPK/4/2013. Isinya perihal hasil pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Pimpinan KPK terkait bocornya Rancangan Surat Perintah Penyidikan atas nama Anas Urbaningrum yang dilakukan oleh Ketua KPK Abraham Samad dan Wakil Ketua KPK Adnan Pandu Praja. Imbasnya surat itu viral di media sosial.
Dalam perkembangannya, 19 saksi telah diperiksa, Laporan Hasil Pengawasan Internal KPK dan semua dokumen terkait bocornya Sprindik, diteliti.
Lantas putusannya yakni: Abraham Samad melakukan pelanggaran sedang terhadap Pasal 4 huruf b dan d, Pasal 6 ayat (1) huruf b, huruf e, huruf r dan huruf v Kode Etik Pimpinan KPK dan sanksi berupa “Peringatan Tertulis,” yaitu ia harus memperbaiki sikap, tindakan dan perilaku; sementara Adnan Pandu melakukan pelanggaran ringan terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf e Kode Etik Pimpinan KPK dan sanksi berupa “Peringatan Lisan.”
Sanksi atas pelanggaran etik terulang kembali pada KPK periode 2016-2018. Ada sejumlah dugaan pelanggaran etik oleh pegawai dan pejabat KPK dan berujung tanpa putusan yang jelas, menurut catatan ICW [PDF].
Bentuk pelanggaran dan orang yang dituduh yakni:
- Komisioner KPK Saut Situmorang. Pernyataannya terkait organisasi Himpunan Mahasiswa Islam pada 2016. Terbukti melakukan pelanggaran sedang.
- Direktur Penyidikan Aris Budiman. Mendatangi rapat panitia angket KPK di DPR pada 2017. Sebagian besar anggota Dewan Pertimbangan Pegawai KPK menyatakan Aris bersalah, tapi tak diumumkan dugaan pelanggaran etik hingga ia kembali ke Polri, institusi asalnya.
- Penyidik Novel Baswedan. Mengirimkan surat elektronik berisi protes atas rencana Aris Budiman merekrut kepala satgas penyidikan dari Mabes Polri pada 2017. Informasi terakhir pada April 2018, KPK sudah siapkan sanksi kepada Aris dan Novel.
- Penyidik Roland Ronaldy dan Harun. Dugaan merusak alat bukti dalam perkara suap mantan hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Patrialis Akbar. Tak jelas penyelesaian etiknya hingga ia dikembalikan ke Polri. Kasus ini dikenal sebagai ‘Skandal Buku Merah.’
- Deputi Penindakan Firli Bahuri. Diduga bertemu Gubernur Nusa Tenggara Barat saat itu, Tuan Guru Bajang (TGB), saat bermain tenis. Saat itu TGB tengah diperiksa terkait kasus divestasi Newmont. Tak jelas bagaimana pemeriksaan etiknya.
- Deputi Pencegahan Pahala Nainggolan. Diduga mengirim surat untuk sebuah perusahaan yang sedang dalam sengketa arbitrase. Hingga April 2019 tak jelas pemeriksaan etiknya.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Abdul Aziz