tirto.id - Dalam beberapa bulan terakhir, merek mobil Geely makin populer di Indonesia. Pada Februari 2025 lalu, mereka resmi merilis sebuah SUV elektrik bernama EX5 yang langsung kebanjiran peminat. Belum genap sebulan, seribu unit EX5 sudah ludes terjual kala itu. Dengan demikian, menemukan tulisan Geely di jalan-jalan Indonesia pun kini semakin mudah.
Nama Geely mungkin terdengar baru dan tidak salah juga jika orang menganggap mereka sebagai bagian dari gelombang kebangkitan kendaraan listrik (EV) Tiongkok. Meski begitu, di Indonesia sendiri, Geely sebetulnya sudah pernah mencoba peruntungan pada awal 2000-an lewat mobil-mobil kecil macam Geely Panda dan MK.
Sayang, waktu itu zaman belum berpihak kepada mereka. Kualitas produk mereka masih buruk, layanan purna jual masih lemah, dan stigma "mobil China" masih melekat kuat. Walhasil, mereka sempat dipaksa angkat kaki dari Indonesia.
Namun, meskipun sempat tidak laku dan harus angkat kaki, sebenarnya Geely tidak pernah benar-benar pergi. Di Indonesia, Volvo pernah identik dengan sebutan "mobil menteri" karena sering digunakan oleh para petinggi negara era Orde Baru. Bahkan, hingga kini Volvo masih dikenal sebagai produsen mobil mewah yang aman dan nyaman. Lantas, apa hubungan Geely dengan Volvo?
Pada 2010, Geely resmi mengakuisisi Volvo Cars, yaitu divisi mobil penumpang dari Volvo, perusahaan otomotif asal Swedia. Jadi, sejak itu pula, Geely sebenarnya terus berjualan mobil di Indonesia sampai 2017. Pada tahun tersebut, Volvo Cars hengkang dari Indonesia hingga 2023.
Nah, Volvo Cars bukanlah satu-satunya merek Eropa yang sudah "jatuh" ke tangan Geely. Ada juga nama-nama seperti Lotus, Polestar, Smart, juga Benelli. Bagi Geely, ini adalah sebuah langkah strategis karena setiap merek itu memiliki spesialisasi masing-masing.
Berkat langkah tersebut, kini konglomerasi Geely pun semakin besar. Mereka kini tercatat sebagai produsen otomotif terbesar ke-11 di dunia. Di arena EV, mereka lebih hebat lagi karena hanya BYD dan Tesla yang mampu mengungguli Geely.
Strategi Ganda Geely
Geely tidak hanya bangkit dengan nama sendiri lewat EX5, tetapi juga menjalankan strategi diversifikasi yang ambisius.
Di satu sisi, mereka memperkuat merek-mereknya sendiri seperti Geely, Zeekr, Geometry, dan Radar Auto. Di sisi lain, mereka juga mengendalikan merek global ternama seperti Volvo, Polestar, Lotus, Smart, dan Benelli. Pendekatan ini membuat Geely mampu menembus berbagai segmen mulai dari kendaraan listrik mainstream hingga kendaraan premium dan niche.
Pendekatan ganda Geely memiliki beberapa keunggulan. Pengembangan merek dan platform internal menunjukkan ambisinya sebagai pesaing global di segmen EV mewah. Sementara itu, akuisisi Volvo Cars sejak 2010 memungkinkan Geely masuk ke pasar premium dengan legitimasi merek Swedia yang sudah mapan. Hal serupa berlaku pada Polestar, yang dikelola bersama Volvo dan kini difokuskan pada pasar EV Eropa. Lotus dan Smart juga mendapatkan investasi teknologi listrik melalui kemitraan strategis.
Diversifikasi Geely bukan diversifikasi biasa. Di balik itu, ada inisiatif untuk membangun teknologi bersama. Dua platform penting telah dihasilkan dari hasil akuisisi merek-merek tersebut, yakni SEA (Sustainable Experience Architecture), platform modular EV canggih berbasis riset di Swedia yang mendukung produk Zeekr, Smart, dan Volvo, serta GEA (Global Intelligent New Energy Architecture), arsitektur kendaraan listrik generasi berikutnya dengan integrasi AI dan ekosistem digital. Dengan ini, mereka bisa menyebarkan inovasi lintas merek sambil menjaga identitas masing‑masing.
Hasilnya tak main-main. Data menunjukkan Geely Auto Group saat ini menjadi produsen EV terbesar ketiga di dunia, hanya di bawah BYD dan Tesla per April 2025. Volume penjualan 2024 mencapai lebih dari 3,3 juta unit keseluruhan, dengan hampir 1,5 juta unit kendaraan listrik dan plug-in hybrid.
Portofolio Global Geely
Kepemilikan atas Volvo boleh jadi memang yang paling dikenal dari strategi akuisisi global Geely. Namun, portofolionya tidak berhenti di situ. Dalam 15 tahun terakhir, mereka membangun salah satu jajaran merek paling beragam di dunia otomotif melalui kombinasi akuisisi penuh, joint venture, dan spin-off.
Struktur korporatnya kini terdiri atas dua pilar utama: Geely Auto Group (menangani produksi dan distribusi merek-merek kendaraan penumpang seperti Geely, Geometry, Zeekr, dan Radar Auto) serta Geely Holding Group (payung investasi merek-merek global, termasuk Volvo, Lotus, Polestar, Smart, dan Benelli).
Lotus, misalnya, adalah produsen mobil sport asal Inggris yang diakuisisi oleh Geely pada 2017 lewat pembelian 51 persen saham dari Proton (Geely memiliki 49,9 persen saham). Sejak itu, mereka menanam investasi besar untuk mengubah Lotus dari pabrikan niche menjadi merek mobil performa tinggi berbasis elektrik.
Polestar, meskipun lebih muda, telah menjadi ujung tombak Geely dan Volvo di segmen EV premium. Mobil listrik kelas atas, misalnya model Polestar 2 dan 3, masih menggunakan basis teknologi Volvo, tetapi hadir dengan desain dan segmentasi berbeda. Tujuannya adalah menyasar pasar Tesla secara langsung.
Smart, yang sebelumnya dimiliki penuh oleh Mercedes-Benz, juga telah menjadi bagian dari ekosistem Geely. Lewat kemitraan 50:50 dengan Daimler AG pada 2019, Geely memegang kendali produksi dan rekayasa kendaraan, sementara Mercedes bertanggung jawab atas desain. Produksi dua model EV terbaru mereka, Smart #1 dan Smart #3, sepenuhnya dilakukan di pabrik Geely di Tiongkok, tetapi menggunakan platform SEA yang dikembangkan oleh R&D Geely di Gothenburg.
Sementara itu, Benelli menambah dimensi baru karena ia bukan produsen mobil, melainkan sepeda motor. Merek ini berasal dari Italia, tetapi kini dimiliki oleh Qianjiang Motorcycle, anak perusahaan Geely Holding. Dengan pabrik utama di Tiongkok dan desain berbasis di Italia, Benelli berhasil menembus pasar Asia Tenggara, termasuk Indonesia, dengan citra sebagai motor Eropa yang terjangkau.

Geely di Indonesia
Menyusul kesuksesan penjualan EX5, Geely telah mulai melakukan produksi percontohan di pabrik lokal Purwakarta pada Mei 2025, dengan rencana kapasitas tahunan mencapai 20.000 unit menjelang kuartal terakhir.
Memanfaatkan momentum tersebut, Geely bekerja sama dengan PLN dan sejumlah lembaga keuangan Indonesia untuk mempermudah kepemilikan dan penggunaan EX5. Mereka menyediakan paket pendanaan, fasilitas pengisian daya domestik, serta pelatihan dealer dan teknisi lokal. Semuanya dilakukan agar kendaraan listrik ini tidak hanya hadir, tapi juga nyaman digunakan di ekosistem lokal.
Di segmen roda dua, Benelli secara resmi hadir melalui PT Benelli Motor Indonesia dan telah memiliki jaringan diler nasional untuk menjangkau konsumen penggemar motor bergaya klasik. Sejauh ini, seri Patagonian Eagle 250 disebut sebagai tipe Benelli terlaris di pasaran Indonesia.
Selain Benelli, Geely memiliki satu jenama Eropa lainnya untuk pasar roda dua Indonesia, yaitu Keeway. Jenama yang berbasis di Hongaria itu menawarkan berbagai tipe sepeda motor, mulai dari skuter matik sampai motor penjelajah.
Keuntungan Strategi Ganda
Geely Menggabungkan merek sendiri dengan merek global bukan sekadar langkah ekspansi, melainkan strategi jangka panjang yang dirancang untuk bertahan di tengah gejolak industri otomotif global. Model seperti ini memungkinkan mereka bermain di banyak front sekaligus.
Pertama, strategi ini memecah risiko reputasi. Merek seperti Volvo dan Lotus sudah mengakar kuat di benak konsumen sebagai merek Eropa yang prestisius. Ketika masuk sebagai pemilik, Geely tidak serta merta mengubah wajah luar produk.
Desain, pusat pengembangan, bahkan tim teknik di Eropa, tetap dipertahankan. Namun, fondasi teknologinya pelan-pelan diperkuat lewat platform modular seperti SEA dan GEA. Hasilnya, konsumen merasa sedang membeli "produk Eropa", padahal banyak komponennya dirancang di Asia.
Kedua, pendekatan tersebut memberikan fleksibilitas pasar. Volvo dan Polestar menjawab permintaan konsumen premium di Eropa dan AS. Di saat yang sama, Geely, Zeekr, dan Geometry, bisa menawarkan harga kompetitif di Tiongkok dan negara-negara berkembang seperti Indonesia. Strategi seperti itu mustahil dilakukan oleh pabrikan yang hanya bertumpu pada satu merek atau satu ekosistem produksi saja.
Ketiga, efisiensi skala menjadi keuntungan besar. Ketika beberapa merek berada di bawah satu grup, mereka bisa menggunakan sumber daya secara kolektif: platform EV yang sama, pasokan baterai dari mitra yang sama, bahkan strategi R&D dan uji keselamatan yang terkoordinasi. Ini mempercepat waktu pengembangan produk, menurunkan biaya produksi, dan tetap menjaga daya saing di berbagai pasar.

Strategi ganda juga memungkinkan Geely melakukan eksperimen terfokus. Zeekr, misalnya, dijadikan laboratorium untuk ide-ide futuristik: desain pintu unik, kokpit digital, serta fitur autonomous driving tingkat lanjut. Teknologi tersebut, jika terbukti berhasil dan disukai pasar, bisa dengan cepat ditransfer ke lini produk lain, entah itu Volvo, Smart, atau bahkan Geely sendiri.
Dari sisi korporat, strategi itu juga memperkuat posisi negosiasi Geely dalam rantai pasok global. Mereka tidak hanya membeli dari pemasok. Dalam banyak kasus, mereka menjadi mitra atau bahkan pemilik. Saat ini, Geely telah memiliki saham di beberapa produsen baterai seperti CATL dan Farasis serta mengembangkan cip dan sistem operasi mobil sendiri melalui ECARX, perusahaan teknologi otomotif spin-off dari Geely Technology Group.
Dengan kata lain, strategi ganda Geely bukan sekadar soal variasi merek, tapi juga tentang membangun ekosistem teknologi dan industri yang saling menopang. Ini menjadikan Geely bukan hanya produsen mobil, tetapi pemain terintegrasi dalam seluruh rantai nilai otomotif masa depan.
Tantangan dan Pertanyaan Selanjutnya
Meski strategi ganda Geely tampak solid di atas kertas—sejauh ini terbukti efektif—bukan berarti semua berjalan tanpa gesekan. Justru, makin kompleks konglomerasi ini tumbuh, makin besar pula tantangan yang harus dihadapi.
Salah satu tantangan yang paling menyulitkan nantinya adalah menjaga konsistensi identitas merek. Volvo punya sejarah panjang sebagai simbol keamanan dan kesederhanaan khas Skandinavia. Lotus dibangun di atas warisan handling presisi dan mobil sport ringan. Smart berakar pada urban mobility dan kolaborasi Jerman-Prancis.
Mengelola ekspektasi publik terhadap masing-masing merek tersebut—sambil menyuntikkan DNA Geely secara bertahap—adalah ujian branding tingkat tinggi. Salah langkah sekali, konsekuensinya bisa panjang.
Masalah lain muncul dalam pengelolaan teknologi lintas merek. Meski platform seperti SEA dan GEA dapat membantu efisiensi, ada risiko homogenisasi produk, terutama jika desain, fitur, dan pengalaman berkendara, mulai terasa terlalu mirip antarmerek. Diferensiasi yang telah menjadi kekuatan justru bisa berubah menjadi kelemahan.
Geely juga menghadapi tekanan geopolitik. Di tengah ketegangan perdagangan antara Tiongkok dan negara-negara Barat, kepemilikan perusahaan Tiongkok atas merek-merek Eropa terkadang menimbulkan kecurigaan. Jika tekanan regulasi menguat, ekspansi Geely di wilayah-wilayah tersebut bisa terhambat, baik dari sisi akses pasar maupun rantai pasok komponen.
Selain itu, ada pertanyaan jangka panjang tentang keberlanjutan model ini. Apakah Geely akan terus memberi ruang otonomi kepada merek-merek yang mereka akuisisi, atau akankah terjadi integrasi lebih jauh yang bisa memicu resistensi internal? Bagaimana mereka menyeimbangkan pertumbuhan cepat dengan kontrol kualitas, terutama saat volume penjualan EV-nya terus melonjak?
Tapi, barangkali ini yang paling mendasar: ketika kesuksesannya sangat bergantung pada banyak merek di bawahnya, apakah Geely sebagai merek induk bisa membangun identitas global yang kuat?
Sampai sekarang, nama Geely masih asing di AS dan hanya mulai dikenal di sebagian Eropa dan Asia. Jika ambisi mereka adalah menjadi konglomerat otomotif kelas dunia seperti Volkswagen Group atau Toyota, tantangan ke depan bukan hanya soal teknologi dan distribusi, tetapi juga persepsi.
Dalam dunia otomotif yang berubah cepat, Geely memang punya banyak kartu untuk dimainkan. Namun, seperti permainan strategi mana pun, tidak semua kartu bisa dimainkan sekaligus, dan tidak semua permainan bisa dimenangkan hanya dengan kekuatan kapital.
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadli Nasrudin
Masuk tirto.id


































