tirto.id - Harga beras di Indonesia masih terus menerus menjadi polemik. Alih-alih mencari akar masalah dan memperbaiki tata kelolanya, pemerintah justru membandingkan harga beras dalam negeri dengan negara lain. Singkatnya, kenaikan harga beras yang jadi keluhan masyarakat RI dianggap tak seberapa.
Hal itu dikatakan Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman, di rapat kerja bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Kamis (21/8/2025). Saat membahas harga eceran tertinggi (HET), ia menyinggung soal munculnya kegaduhan dan keluhan soal kenaikan harga beras. Amran lantas membandingkan harga beras di Jepang yang mencapai Rp100 ribu per kg.
"Sekarang ini baru naik saja sedikit saja ribut. Jepang sudah Rp100 ribu per kg, harga beras hari ini. Insya Allah kami tindaklanjuti nanti. Tapi arahnya adalah kita ingin konsumen menikmati tetapi petani kesejahteraannya harus terjaga," ucap Amran.
Pernyataan Amran soal perbandingan kondisi harga beras antara Indonesia-Negeri Sakura ini sontak memantik respons anggota komisi IV DPR RI, Titiek Soeharto. Menurutnya, sangat tidak relevan membandingkan harga beras di Jepang dengan di Tanah Air.
"Enggak bisa dibandingkan dengan Jepang. Income (pendapatan) per kapita kita juga sudah lain, Pak," respons Titiek singkat, yang disetujui juga oleh Amran.
(lompat ke garis waktu 1 jam 57 menit untuk ke diskusi terkait)
Sebelumnya, putri kedua mantan presiden Soeharto itu mempertanyakan soal wacana pemerintah menyeragamkan harga beras premium dan beras medium yang sempat mengemuka.
"Pak Menteri, itu mengenai harga yang mau disatukan antara premium dan medium satu harga itu kebijaksanaan itu apa itu? Saya banyak ditanya orang-orang, [apakah] rencana bapak seperti itu?" tanya Titiek.
Amran lalu menjelaskan, kementeriannya sudah melakukan rapat hingga empat kali membahas rencana penyatuan harga tersebut. Namun demikian, sampai saat itu, belum ada keputusan yang diambil.
Dia juga menerangkan intervensi harga beras di lapangan dengan anggaran yang tersedia, baik lewat HET di pedagang pasar, maupun harga pokok penjualan (HPP) di tingkat petani. Meski pada Juli lalu Badan Pangan Nasional (Bapanas) sempat menolak menaikkan HET yang diusulkan sejumlah pengusaha, baru-baru ini HET untuk beras medium resmi dikerek.
Kenaikan ini tertuang dalam Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional Republik Indonesia Nomor 299 Tahun 2025 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Beras, yang ditandatangani oleh Kepala Bapanas Arief Prasetyo Adi pada 22 Agustus 2025.
Latar belakang penyesuaian ini didasarkan pada pertimbangan bahwa HET beras di tingkat konsumen dinilai sudah tidak lagi sesuai dengan perkembangan struktur biaya produksi dan distribusi saat ini. Dengan demikian, untuk menjaga stabilisasi pasokan dan harga beras, evaluasi terhadap HET dinilai diperlukan.
HET beras medium kini berkisar antara Rp13.500 sampai Rp15.500. Secara spesifik, di Jawa, Lampung, dan Sumatera Selatan, beras medium berada di level Rp13.500 (naik dari Rp12.500) dan beras premium Rp14.900. Sementara di Papua, beras medium mencapai Rp15.500 alias naik sekitar 12,90 persen dari sebelumnya Rp13.500.
Rerata Pendapatan Indonesia dan Jepang Jauh Beda
Selaras dengan pernyataan Titiek, Pengamat Pertanian, Khudori juga menegaskan tidak tepat mengkomparasikan harga beras di Indonesia dan di Jepang. Secara ekonomi, Khudori bilang, pendapatan per kapita warga Indonesia dengan Jepang ibarat bumi dan langit.
Jika hal ini dijadikan dasar pembuatan kebijakan, maka sangat akan mungkin tak tepat manfaat.
“Pak Mentan tentu tahu itu. Kalau kemudian sudah tahu tapi masih menyampaikan di ruang publik, terus terang saya gak tahu apa maksudnya. Mungkin berharap masyarakat konsumen memaklumi kenaikan harga,” ucapnya kepada jurnalis Tirto, Selasa (26/8/2025).
Jika melongok Produk Domestik Bruto (PDB) per kapita Jepang, menurut data Bank Dunia, pada 2024 angkanya menyentuh 32,47 ribu dolar AS. Sementara Indonesia, sekitar 84 persen lebih rendah, di level 4,92 ribu dolar AS.
Data PDB per kapita ini mengacu ke rata-rata pendapatan penduduk suatu negara dalam periode tertentu.
Sementara pada April 2025, Dana Moneter Internasional atau International Monetary Fund (IMF) menaksir, nilai PDB per kapita Indonesia. Nilaunya mencapai 5,03 ribu dolar AS (setara Rp81,56 juta), sedangkan Jepang menyentuh 33,96 ribu dolar AS (setara Rp554,58 juta). Serupa data bank dunia, PDB Indonesia hanya sekitar 1/6 PDB Jepang.
Meski memang benar kata Amran, jika bicara soal nominal, harga beras di Jepang relatif mahal dibandingkan di Indonesia. Peneliti Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Eliza Mardian, mengatakan, dari sisi kenaikan harga beras pun lebih tinggi di Jepang.
“Pertumbuhan kenaikan harga beras di Jepang per Juni aja udah 100 persen dibandingkan awal tahun, di Indonesia kenaikan harga berasnya berkisar 6-10 persen-an, tergantung lokasinya," terang Eliza saat dihubungi di Jakarta, Selasa (26/8/2025).
"Nah, tapi persoalannya adalah ini perbandingan yang gak apple to apple, sebab dari kondisi daya beli masyarakatnya aja udah berbeda antara Indonesia dan Jepang,” tambah dia.
Dia bilang, Jepang adalah ekonomi maju dengan Pendapatan Nasional Bruto/GNI per kapita nominal sekitar 36.030 dolar AS pada 2024. Sementara Indonesia sekitar 4.910 dolar AS pada periode yang sama. Artinya, pendapatan per kapita Jepang sekitar tujuh kali lebih tinggi.

Melihat komposisi gaji, orang Indonesia habiskan lebih banyak pendapatan untuk beras
Selain dari sisi GNI per kapita, dalam konteks upah minimum kedua negara ini juga semakin terasa bedanya.Di Indonesia, UMP 2025 bervariasi antarprovinsi, dengan rata-rata nasional sekitar Rp3,31 juta per bulan (tertinggi Jakarta Rp5,4 juta; terendah Jawa Tengah Rp2,2 juta). Sementara di Jepang, rerata upah minimum nasional 2025 sebesar 1.090 yen per jam, alias setara Rp19,2 juta sebulan dengan asumsi 160 jam kerja per bulan.
Menukil Trading Economics, di Jepang, upah minimum mengacu pada jumlah rata-rata tertimbang nasional per jam. Terdapat dua jenis upah minimum: regional - yang berlaku untuk semua karyawan di suatu wilayah tanpa memandang perbedaan industri - dan spesifik - yang berlaku untuk pekerja di industri tertentu.
Gaji tertinggi diperoleh oleh mereka yang berada di daerah Tokyo, Kanagawa, dan Osaka, sedangkan yang terendah berada di Okinawa, Nagasaki, Miyazaki, Muku, Kumamoto, Kochi, dan Tottori.
Kebijakan Harus Fokus pada Konsistensi dan Kestabilan
Demi mewujudkan swasembada beras yang berkelanjutan, Anggota Ombudsman Republik Indonesia Yeka Hendra Fatika, meminta pemerintah menyusun kebijakan perberasan nasional yang berfokus pada konsistensi dan kestabilan.
Yeka mengatakan, berdasarkan catatan Badan Pangan Nasional, stok beras bulan Juli 2025 mencapai 4.2 juta ton. Angka ini merupakan jumlah tertinggi sepanjang sejarah. Sebagai perbandingan pada tahun 1984 dan 1997, stok tertinggi hanya sekitar 3 juta ton.
Menurutnya, angka tersebut memang terlihat baik, namun stok besar belum tentu aman jika tidak dikelola dengan hati-hati. Yeka menegaskan kalau swasembada bukanlah capaian sesaat, melainkan keberlanjutan
"Itulah perlunya membuat kebijakan yang lebih terencana dengan baik sehingga target swasembada diterapkan dengan tujuan sebenarnya,” tambah Yeka dalam Diskusi Publik Paradoks Kebijakan Hulu-Hilir Perberasan Nasional yang diikuti lewat Zoom, Selasa (26/8/2025).
Lewat diskusi itu, Yeka berharap dapat mengumpulkan berbagai informasi sebanyak mungkin guna memberikan saran perbaikan kepada pemerintah terkait kebijakan perberasan dari hulu ke hilir.
Penulis: Fina Nailur Rohmah
Editor: Alfons Yoshio Hartanto
Masuk tirto.id


































