tirto.id - Peneliti Pusat Kajian Anti Korupsi (Pukat) FH UGM Yogyakarta Zaenur Rohman mengamini gaji anggota DPR yang besar, tapi tidak mampu mencukupi biaya politik mereka yang tinggi. Hal semacam ini berkelindan dengan maraknya anggota parlemen berlaku koruptif.
"High cost politic itu memang tidak sebanding dengan total gaji. Yang salah itu bukan gajinya, tapi high cost politic-nya," ujar Zaenur kepada reporter Tirto, Jumat (17/9/2021).
Zaenur mencatat biaya politik yang tinggi tersebut diperuntukkan untuk mendongkrak elektabilitas secara tidak formal semisal, ongkos untuk membeli suara. Atau untuk pendanaan pencalonan pada pemilu berikutnya.
"Sehingga yang harus diubah adalah sistem politik yang mengakibatkan ekonomi tinggi, dengan aturan sebaik mungkin," tukasnya.
Biaya politik yang tinggi tersebut, lanjut Zaenur, mendorong banyak anggota parlemen dalam tindakan koruptif; menerima suap atau gratifikasi.
Dalam laporan Transparansi Internasional Indonesia (TII), DPR menjadi lembaga paling korup selama 2020. DPR berada di atas pejabat pemerintah daerah, pejabat pemerintah pusat, polisi, pebisnis, dan pengadilan dalam persepsi publik sebagai lembaga paling korup.
Padahal, menurut Zaenur, setiap anggota parlemen memiliki dana reses atau dana aspirasi yang diperuntukkan untuk menyerap aspirasi masyarakat di daerah pemilihan masing-masing. Yang besar dananya, jika menyitir pernyataan Anggota DPR Fraksi PDIP Krisdayanti, bisa mencapai Rp450 juta.
Namun menurut Zaenur dana tersebut bisa saja tidak cukup, apabila para anggota memiliki ambisi besar untuk tetap menang pada pemilu berikutnya. Hal ini yang menyebabkan iklim balik modal dan kemudian berkelindan dengan tindakan koruptif anggota DPR terjadi.
"Kalau mau memperbaiki dengan memberantas politik uang dan menekan ongkos politik serta iuran partai, termasuk sistem pendanaan partai politik di Indonesia," ujar Zaenur.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Abdul Aziz