tirto.id - Di samping istana Topkapı, Istanbul, ada taman asri bernama Gülhane. Kebun indah di wilayah kekuasaan Usmani zaman klasik ini berdiri Museum Sejarah Sains dan Teknologi dalam Peradaban Islam sejak 2008, luasnya sekitar 3.000 meter persegi. Museum ini menyimpan replika benda-benda termasuk astrolabe, peta, optik, dan ratusan perkakas ilmu pengetahuan dari zaman yang disebut sebagai era keemasan sains Islam.
Fuat Sezgin, pencetus museum ini, memboyong materialisasi gagasannya dari Frankfurt ke Istanbul. Di akhir hayat ia berniat pula mendonasikan seluruh bukunya sebagai wakaf pengetahuan di museum yang kini terdapat yayasan yang mengatasnamakannya, kendati upaya ini mendapat cegatan hukum dari otoritas Jerman. Persis di kawasan itu, makam Sezgin satu-satunya dibangun sebagai prasasti penting bagi seorang ilmuwan yang seluruh hidupnya mendalami persoalan ilmu pengetahuan, termasuk sains dan teknologi, semasa Islam pramodern. Tahun lalu, pertemuan bertajuk "2019 Prof. Dr. Fuat Sezgin Yılı Toplantısı" diadakan untuk mengingatnya dan dibuka Presiden Erdoğan.
Namanya terkenang di seantero Turki. Nama Fuat Sezgin terukir dalam satu kapal feri yang menghubungkan Istanbul bagian Eropa dengan Asia. Warisannya dirancang supaya diingat publik. Tidak berlebihan jika ia memompa semangat bangsa Turki pada umumnya untuk maju di era ketika ilmuwan muslim Turki bangkit kembali sejak 2000, kendati ia sendiri lahir dari suku Kurdi.
Mantra ‘dinamika’ menjadi kata kuncinya. Dalam sebuah seminar di Istanbul, ia pernah bilang, “İslam dinamik veriyor.” Islam memberikan tenaga gerak. Lanjutnya: “Islam berjalan dinamis berabad-abad lamanya. Saya ingin memberikan dinamika baru pada bangsaku dan umatku, dengan proyek sejarah. Tak ada yang bisa menghentikan kita manakala Islam itu dinamis. [Sayangnya] dinamika itu sendiri kurang mewujud di dalam diri kita [saat ini]. Pada masa silam ada banyak muslim yang saya idolakan karena siang malam tak lelah saya mencari. Engkau mesti menemukannya, engkau harus merengkuhnya [kembali].”
Bekerja 17 Jam Sehari
Sezgin lahir di kota Kurdi bernama Bitlis pada 1924, tak lama setelah sekularisme Atatürk resmi menghapus kekhalifahan Usmani. Pendidikan dasar dan menengahnya ditempuh di Erzurum, Anatolia Timur. Pada umur 19 ia hijrah ke Istanbul dan menjadi mahasiswa di kampus nomor wahid pada zamannya: Universitas Istanbul—kampus yang pernah mendidik tokoh Israel terkemuka, David Ben-Gurion dan Yitzhak Ben-Zvi. Di sini Sezgin berjumpa sejarawan dan orientalis Jerman abad ke-20, Hellmut Ritter. Perjumpaan ini menjadi titik tolak penting bagi karier dan arahan intelektualnya seumur hidup.
Ritter, nama besar dalam orientalisme, ialah sejarawan ulung dan penyunting banyak naskah Islam. Salah satu suntingannya, karya pendiri mazhab Asy'ariah Abu Hasan al-Asy'ari, Maqalat al-islamiyyin wa-khtilaf al-musallin,menyoal tentang para pembela doktrin Islam dan perbedaan di antara penyembah Tuhan. Ritter menemukan Istanbul sebagai harta karun, kota kosmopolitan yang menyimpan dan merekam khazanah Islam klasik dari berbagai dunia Arab dan Persia ketika Imperium Usmani melebarkan sayap sejak akhir abad ke-15. Saat ia meneliti manuskrip Arab soal ilmu kimia, ia sudah menelisik pengaruh keilmuan Yunani klasik pada kebudayaan Arab, topik yang berpuluh tahun kemudian ditelaah apik oleh Dimitri Gutas.
Ketika Nazi berkuasa pada 1933, kontrak kerja Ritter berakhir di Jerman. Modernisasi Atatürk yang ikut mereka ulang Universitas Istanbul akhirnya merekrut Ritter sebagai profesor. Ritter juga menjadi ketua Deutsche Orient-Gesselschaft, organisasi para orientalis Jerman, di Istanbul. Gairah para mahasiswa Turki dan asing mewarnai masa itu. Sezgin ikut bergabung sebagai muridnya.
Diriwayatkan, suatu hari Sezgin melukiskan perjumpaannya. “Guruku (Ritter),” kata Sezgin, “menanyaiku tentang berapa lama aku bekerja dalam sehari. Saya menjawab, 13-14 jam sehari. Ritter menimpali, ilmuwan tak cukup bekerja demikian; jika saya ilmuwan sejati, saya mesti bekerja lebih dari tujuh belas jam.” Dorongan ini membuat Sezgin bersemangat hingga akhir hayat. Sampai umur 70, ia bekerja keras 17 jam sehari. Ia hanya mengurangi kerja menjadi maksimal 14 jam per hari setelah dirasa cukup uzur.
Sebagai bekas ibu kota imperial, Istanbul sangat cukup membekali Sezgin muda berkembang. Ditambah dengan ilmuwan asing yang ikut menggemblengnya. Dari 1951 hingga 1954 ia meneruskan jenjang doktor di kampus yang sama dengan Ritter sebagai pembimbingnya. Warisan Doktorvater—sang pembimbing—membekas dalam perkembangan intelektual Sezgin. Ia menulis disertasi tentang sumber historis dan filologis hadis Bukhari, kajian yang ketat atas riwayat hadis untuk pertama kalinya melalui sumber tertulis, bukan sumber lisan. Penelitian sumber ini, yang dalam bahasa Jerman disebut Quellenforschung, menjadi riset dasar yang sangat penting.
Tiga sumbangannya bisa diringkas: pertama, kaitan Sahih Bukhari dengan karya filologis sezaman dan sumbangan metodologinya; kedua, derajat tingkatan karyanya yang, dalam kaitan filologis itu, menyerupai kompilasi lain dalam jenis kesusastraan serupa; serta, ketiga, menentukan apakah karyanya termasuk dalam ruang lingkup yang benar dari sebuah karya kanonisasi hadis. Karya ini, untuk pertama kalinya, mempelajari sumber-sumber filologis yang secara tak langsung memberi penjelasan atas hubungan antara perawi hadis dan para filolog dalam masa-masa awal Hijriah.
Sezgin memusatkan proyek penelitiannya ke arah yang baru atas saran Ritter. Kajian ilmu pengetahuan Islam menjadi minat besarnya di masa pascadoktoral. Dalam penerokaan awal, ia sudah menyadari soal ketimpangan diskursus dalam sejarah ilmu pengetahuan yang berkembang di Eropa. Para ilmuwan muslim belum dan luput dimasukkan dalam sejarah modern ilmu pengetahuan.
Inspirasi itu tercetus manakala ia membaca karya Carl Brockelmann (1868-1956) berjudul Sejarah Muslim dan Sejarah Kepustakaan Arab. Georg Graf (1875-1955), orientalis Jerman lain, mengkritik karya Brockelmann karena tidak memasukkan karya pustaka Kristen berbahasa Arab, lalu ia menulis banyak jilid Sejarah Kepustakaan Kristen-Arab sejak masa Islam klasik hingga abad ke-19. Seperti Graf, Sezgin juga menengarai kesalahan data dan kekurangan dalam karya Brockelmann. Kultur orientalisme Jerman ini ikut menggugah kesadaran intelektualnya untuk menelaah soal sejarah lengkap ilmu pengetahuan yang berkembang pesat selama Islam masa pramodern dari berbagai tradisi keagamaan dan linguistik.
Guru Besar bagi Para Cendekiawan
Berbeda dengan cendekiawan Arab semasanya, Sezgin tidak menjelaskan alasan filosofis tentang proyek intelektualnya. Tak lain, pengaruh kesarjanaan Jerman yang dingin, runut, dan kokoh ikut membuatnya tak memiliki dimensi politis. Setidaknya secara eksplisit. Namun momen politis akhirnya tiba. Seperti di Indonesia, akhir 1950-an di Turki ialah masa genting. Hanya, Turki memiliki riwayat kudeta militer yang lebih banyak. Kudeta militer terjadi pada 27 Mei 1960.
Pemerintahan di bawah kepemimpinan Adnan Menderes dari Partai Demokrat terjungkal. Seperti politik Turki era pasca-demonstrasi Gezi Park (2013), sensor dan persekusi terjadi. Akademisi ikut diawasi. Sejumlah profesor lalu ditendang dari kepegawaian, termasuk di antaranya profesor muda Sezgin yang saat itu berumur 36. Komite Pendidikan Nasional bikinan pemerintahan kudeta membuat hukum besi mengikat.
Sekonyong-konyong ia lalu pergi ke Perpustakaan Süleymaniyye di bilangan Fatih Istanbul, tempat favorit pengkaji manuskrip Islam, dan menulis surat kepada tiga kawannya: dua di Amerika, satu di Jerman. “Temukan aku sebuah tempat, aku akan hijrah!” tulisnya. Semua menerima, lalu ia memilih Frankfurt sebagai pelabuhan kariernya, lebih dari setengah abad.
Di Institut für Geschichte der Naturwissenschaften, Universitas Frankfurt, ia menulis disertasi kedua bernama Habilitation dalam sejarah ilmu alam sebagai syarat untuk menjadi profesor tetap. Setelah selesai mempertahankan disertasi pada 1965 tentang sumbangan sains dari Jabir ibn Hayyan, ia menjadi profesor dan berfokus pada proyek besarnya, Sejarah Kepustakaan Arab-Islam.
Empat ratus ribu arsip dan manuskrip ia telaah di lebih dari 60 negara. Penguasaan bahasanya menyerupai orientalis raksasa: perkakas untuk membaca ragam ilmu yang belum diterjemahkan. Tak salah jika dalam belasan jilid itu masing-masing ia persembahkan kepada orang terdekatnya dan untuk para orientalis ternama, termasuk Willy Hartner, Wolfhart Heinrichs, Hellmut Ritter, dan Matthias Schramm. Berbagai penghargaan bergengsi dan anggota kehormatan di dunia muslim ikut mengganjarnya. Karya yang sangat fundamental ini menjadi rujukan para pencari ilmu untuk meneruskannya: menyunting manuskrip, menulis sejarah, atau mencari inspirasi ilmiah yang tak pernah lekang.
Ia mengembangkan gagasan, mendidik banyak sarjana, dan mendedikasikan seluruh hayatnya untuk menelaah aspek yang belum tergali sepanjang sejarah ilmu pengetahuan dalam peradaban Islam. Di tengah kuasa pengetahuan yang mendewakan Barat sebagai sumber ilmu pengetahuan utama, ia kukuh mencari narasi non-Barat atau non-Eropasentris. Ia mengajukan suara tentang peradaban yang tidak timpang demi mengetahui perkembangan intelektual umat manusia secara umum, di mana peradaban Islam ialah salah satu fase yang penting dan terus menjadi inspirasi.
Banyak orang tergerak dan kagum kepada Sezgin. Di Turki, ia adalah büyük hoca alias guru besar bagi banyak cendekiawan kontemporer. Salah satu intelektual kondang Turki saat ini, mantan mentor saya di Istanbul, İhsan Fazlıoğlu, juga sejarawan ilmu pengetahuan yang suka berkomentar secara ensiklopedis dan filosofis.
==========
Redaksi Tirto kembali menampilkan rubrik khusus Ramadan "Al-Ilmu Nuurun". Tema tahun ini adalah para cendekiawan muslim global abad ke-20 dan ke-21. Kami memilih 33 tokoh untuk diulas pemikiran dan kontribusi mereka terhadap peradaban Islam kontemporer. Rubrik ini diampu kontributor Zacky Khairul Umam selama satu bulan penuh.
Zacky Khairul Umam adalah alumnus Program Studi Arab FIB UI dan kandidat doktor sejarah Islam di Freie Universität Berlin. Saat ini sedang menyelesaikan disertasi tentang pemikiran Islam di Madinah abad ke-17. Ia pernah bekerja sebagai peneliti tamu pada École française d'Extrême-Orient (EFEO) Jakarta 2019-2020.
Editor: Ivan Aulia Ahsan