tirto.id - Untuk pertama kalinya dalam sejarah Indonesia, pemerintah merilis uang pecahan Rp10 ribu dengan memajang wajah putra Papua pada September 2016. Pastinya, putra Papua tersebut punya jasa besar bagi Indonesia. Ia adalah Frans Kaisiepo. Beberapa tulisan menyebut ia dilahirkan pada 10 Oktober 1921 di Wardo, Biak. Di kota luar daratan Papua itu, sebuah bandara memakai namanya.
Frans muda termasuk orang-orang Papua pertama yang mengibarkan Merah Putih dan menyanyikan lagu "Indonesia Raya" di Papua, yang kata Franky Sahilatua adalah “surga kecil yang jatuh ke bumi”. Ketika Papua masih diduduki Belanda, Frans termasuk orang yang aktif dan mengalami jatuh bangun menegakkan eksistensi Republik Indonesia di Papua.
Murid Seorang Digulis
Biak termasuk wilayah Papua yang pertama berhasil membebaskan diri dari cengkeraman Jepang pada 1944. Rakyat Papua ikut membantu kemenangan Sekutu. Di Papua, tentara Amerika Serikat ikut membangun Batalyon Papua untuk mengalahkan Jepang. Di masa pendudukan Jepang di Papua, Frans Kaisiepo sudah menjadi tokoh masyarakat. Dia pernah sekolah guru agama Kristen di Manokwari. Tentu dia dihormati masyarakat Papua yang belum banyak bersekolah kala itu.
Ketika Republik Indonesia baru berdiri pada 17 Agustus 1945, Frans sedang sekolah di Kota NICA (Kampung Harapan), yang tak jauh dari Jayapura sekarang. Sekolah singkat serupa kursus itu bernama Papua Bestuur School (Sekolah Pegawai Papua). Di sekolah ini, Frans punya guru beretnis Jawa bernama Soegoro Atmoprasodjo, seorang Digoelis yang berpengaruh di kalangan orang-orang Papua pro-Indonesia.
“Soegoro adalah orang pertama yang memperkenalkan nilai-nilai nasionalisme Indonesia kepada para siswa,” ujar Corinus Krey, seperti dikutip Bernarda Meteray dalam Nasionalisme Ganda Orang Papua (2012). Soegoro, yang dulunya murid Taman Siswa Ki Hajar Dewantara, berusia dua tahun lebih muda ketimbang Frans.
Karena pengaruh dari sang guru ini, garis politik Frans makin menjadi nasionalis pro-Indonesia. Sebagai orang terpelajar, Frans tak suka dengan kata Papua. Nama itu dianggapnya mengandung pelecehan dan penghinaan.
Menurut Filep Karma dalam Seakan Kitorang Setengah Binatang (2014), “waktu itu nama Papua semacam nama penghinaan atau pelecehan, yang dilakukan oleh orang Ambon, Ternate, Sangir, Manado dan suku Melayu lainnya, terhadap orang Papua.
Sebagai orang Biak, Frans akhirnya memikirkan nama irarian, yang artinya berjemur atau terpapar sinar matahari. Nama itu menurutnya lebih cocok menggantikan kata Papua. Di bulan terakhir sekolah tersebut, Frans bikin ulah. Adiknya, Marcus Kaisiepo, yang juga belajar di sekolah itu, disuruhnya untuk mengganti papan nama sekolah dari Papua Bestuur School menjadi Irian Bestuur School.
Papua untuk Indonesia
Frans kembali ke Biak akhir Agustus 1945. Semangat Keindonesiannya masih menyala. Tak hanya ketika bersama gurunya. Di Biak, pada 31 Agustus 1945, Frans mengadakan sebuah upacara, lengkap dengan pengibaran bendera Merah Putih dan mengumandangkan lagu "Indonesia Raya". Tanggal 31 Agustus biasa diperingati sebagai Hari kelahiran Ratu Belanda Wilhelmina. Pejabat NICA Belanda bernama Raden Abdul Kadir Widjojoatmodjo di Indonesia timur tentu tak menyukai hal itu.
Frans juga ikut terlibat dalam Komite Indonesia Merdeka (KIM). Ketika Marthin Indey dan lainnya berusaha berontak di Jayapura, Frans berada di Biak, di mana dia menjadi Kepala Distrik Warsa, Biak utara. Jarak antara Biak dengan Jayapura kira-kira 40 menit dengan pesawat menyeberangi lautan. Meski jauh dari pergerakan di sekitar Jayapura, Frans tetap mempertahankan keindonesiannya dengan mendirikan Partai Indonesia Raya (PIM) pada 10 Juli 1946.
Sebagai kepala distrik berpengaruh di Biak, pemerintah NICA Belanda tentu merasa perlu untuk dekat dengan Frans. Namun NICA tak bisa mengambil hati Frans. Frans sering diajak dalam forum-forum yang melibatkan Belanda di Indonesia Timur. Akhir 1946, Frans diajak hadir dalam Konferensi Malino, kota kecil dekat Makassar. Frans menjadi satu-satunya wakil Papua di sana. Dia lebih suka menyebut seluruh daerah Papua sebagai Irian.
“Nama ini diberikan oleh almarhum Frans Kaisiepo di pertemuan Malino. Untuk menyebut tanah Papua yang terletak dekat khatulistiwa dan terpampang sinar matahari,” tulis Filep Karma.
Sukarno kemudian menciptakan akronimnya sendiri untuk kata Papua: Ikut Republik Indonesia Anti Nederland. Dalam Konferensi Malino tersebut, Frans termasuk penentang berdirinya negara Indonesia Timur (NIT). Frans lebih memilih Papua bersatu dengan Sulawesi Utara sebagai bagian dari Indonesia.
Meski mau menerima ajakan Belanda, Frans tetaplah Indonesia. Pada Maret 1948 Frans memimpin pemberontakan melawan Belanda di Biak. Namun Belanda tak bisa menghukumnya dengan keras. Akhir 1949, Frans ditunjuk lagi menjadi wakil Papua dalam Konferensi Meja Bundar di Den Haag. Frans menolak ikut karena tak mau didikte pemerintah Belanda. Isi KMB menyebut penyerahan Papua kepada Indonesia ditangguhkan setahun. Seharusnya tahun 1950 Papua diserahkan kepada Republik Indonesia.
Kesetiaan Frans pada Indonesia itu harus dibayar mahal. Dia jadi tak disukai Belanda. Frans pernah mendapat hukuman penjara 5 tahun. Pada 1961 Frans membangun partai lagi, yakni Partai Politik Irian. Setelahnya muncul program Trikora Soekarno yang hendak menyatukan Papua dengan Indonesia. Melalui Perjanjian New York 15 Agustus 1963, Indonesia dianggap resmi memiliki Papua.
Sejak November 1964, Frans diangkat menjadi Gubernur keempat, di wilayah yang sekarang disebut Papua lagi. Setelah bergabung dengan Indonesia, Papua diberi nama Irian Jaya. Jabatan Frans itu dipegang hingga 29 Juni 1973. Setelah tak jadi gubernur lagi, Frans pernah menjadi anggota Dewan Pertimbangan Agung hingga meninggal pada 10 April 1979, tepat hari ini 40 tahun lalu.
Berdasarkan Keputusan Presiden nomor 077/TK/1993, Frans Kaisiepo adalah Pahlawan Nasional Republik Indonesia. Beberapa belas tahun kemudian, fotonya diabadikan dalam uang pecahan Rp10 ribu. Harapannya adalah agar perjuangan Frans untuk Papua tidak dilupakan baik oleh rakyat, maupun pemerintah sendiri. Jangan lagi Papua menjadi wilayah yang terpinggirkan setelah diperjuangkan sedemikian keras.
==========
Artikel ini pertama kali ditayangkan pada 30 Oktober 2016 dengan judul "Mengenang Perjuangan untuk Papua dalam Selembar Rp10 Ribu" dan merupakan bagian dari laporan mendalam soal mata uang rupiah. Kami melakukan penyuntingan ulang dan menerbitkannya kembali untuk rubrik Mozaik.
Editor: Ivan Aulia Ahsan & Nurul Qomariyah Pramisti