tirto.id - Sudah hampir pasti jika orang Ambon jago bernyanyi. Termasuk anak-anak dari Hubert Johannes Sahilatua dan Theodora Yofefa Uneputi: Johnny, Jane, dan Franky. Johnny dan Franky tak hanya bisa bernyanyi, tapi juga menulis lagu. Itulah yang membuat mereka dikenal publik Indonesia dalam dekade-dekade silam.
Seperti kebanyakan orang Ambon terkemuka, anak-anak Theodora dan Hubert tidak besar di tempat asal-usul leluhur mereka di Ambon Kepulauan. Mereka besar di Surabaya, kota yang melahirkan banyak musisi. Dari Surabaya, band macam AKA atau Ariesta Bhirawa muncul pada 1970-an. Pada 1990an, kota ini melahirkan Dewa 19 dan Boomerang. Franky dan saudara-saudarinya dibesarkan di kota yang tepat.
Band terhebat yang pernah disinggahi Franky adalah Lemon Tree. Legenda musik balada Indonesia, Gombloh dan Leo Kristi, juga pernah jadi dedengkot kelompok musik folk itu. Seperti dicatat buku Musikku (2007:226) Franky, sebelum tersohor karena duet dengan adiknya, pernah aktif dalam duet Franky & Gina dalam beberapa pertunjukan di Surabaya selama 1972-1973.
Akhir 1974, Franky tak punya pasangan duet. Padahal dia memperoleh tawaran tampil sebagai musisi pembuka dalam konser Bimbo. Akhirnya Jane, adik Franky, diajak tampil. Mereka pun dikenal sebagai Franky & Jane. Duet ini cukup baik masa depannya. Franky sadar jika hijrah ke Jakarta penting agar bisa maju dalam bermusik. Perusahaan-perusahaan rekaman beserta studionya ada di Jakarta. AKA dan musisi-musisi Surabaya lainnya dari Surabaya pun juga sudah hijrah ke ibu kota.
Beruntunglah ada nyong Ambon bernama Wempi Tanasale yang juga musisi dan dulu mencabik bas di band Patas. Penggebuk drum band legendaris, Koes Plus, Kasmuri alias Murry, juga pernah bergabung di Patas. Wempi memperkenalkan Franky dengan adiknya Tonny Koeswoyo, Nomo Koeswoyo, yang pernah jadi penggebuk drum dalam band yang dipimpin Tonny, Koes Bersaudara (sebelum memakai nama Koes Plus).
Alih-alih main drum, Nomo lebih doyan bisnis. Ia mengelola perusahaan rekaman bernama Yukawi yang kelak memproduksi dua album pertama Franky & Jane direkam. Dua album itu, sayangnya, tak langsung membuat duo anak Sahilatua itu sukses di dunia musik.
Franky sukses tak hanya berkat pertolongan sesama musisi, tapi juga penulis novel, yakni Teguh Esha, penulis cerita Ali Topan Anak Jalanan. Versi film dari novel kenamaan Teguh cukup dikenal dalam sejarah perfilman Indonesia era 1970-an. Teguh yang suka dengan vocal Franky dan Jane, akhirnya meminang mereka untuk mengisi musik di sebuah film.
“Saya merasa banyak ditolong Mas Teguh,” kata Franky, seperti dikutip Musikku (2007:227) dari Aktuil edisi 247 Juni 1978. Diiringi J. Company, mereka merekam lagu di Duba Record. Kali ini, nama anak-anak Hubert Sahilatua itu terangkat. Masa depan cerah mulai terlihat. Lagu-lagu mereka pun cukup dikenal dan sering diputar di radio.
Salah satu yang populer adalah "Perjalanan". Sebagian orang mengenalnya sebagai "Kereta Malam"karena liriknya yang bercerita tentang perjalanan dengan kereta malam. Liriknya mengisahkan seorang ibu yang baru kehilangan anak gadisnya karena sakit yang tak terobati.
Setelah beberapa album, Franky & Jane pun vakum. Jane sibuk dengan keluarganya dan tak bermusik. Franky pun kemudian bersolo karier.
Lagu-lagu Sosial
Bagi banyak musisi, belantika musik adalah dunia penuh persaingan. Tak demikian bagi Iwan Fals dan Franky Sahilatua. Iwan bahkan Franky & Jane yang tidak sukses, yakni "Kemesraan". Lagu gubahan Franky dan Johny itu akhirnya terkenal ketika dibawakan Iwan Fals bersama Jamal Mirdad, Betharia Sonata, Chrisye, Rafika Duri, dan lain-lain. Tak hanya sukses di pasaran, "Kemesraan" jadi lagu nostalgia yang kerap muncul di acara kondangan.
Masih bersama Iwan Fals, Franky mengarap lagu "Orang Pinggiran"(1993). Gitaris band rock raksasa Indonesia God Bless, Ian Antono, juga ikut serta menggarapnya.
Franky cukup peduli pada masalah sosial. Menurut Alex Palit dalam God Bless and You - Rock Humanisme (2017:15), lagu "Merah Putih dan Reruntuhan"di album Perahu Retak bercerita tentang bencana kemanusiaan akibat pembangunan Waduk Kedungombo. Dalam album itu Franky berkolaborasi dengan Emha Ainun Najib.
Franky juga menggubah lagu tentang Papua, "Aku Papua", yang kemudian dinyanyikan Edo Kondologit. Ketika Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) masih jadi presiden, Franky yang berkunjung ke Palu kecewa dengan kerusakan lingkungan di kota tersebut. Tak heran dia pernah bikin album berjudul "Aku Mau Presiden Baru" (2007).
Franky yang peduli dengan masalah sosial politik pernah juga pernah jadi simpatisan Partai Amanat Nasional (PAN). Pada 2006, Franky menarik dukungannya dari partai yang didirikan Amien Rais tersebut. Setelah itu ia benar-benar kecewa dengan partai politik. “Partai apa partai penipu. Dapat kursi, rakyat ditipu,” dendangnya.
Franky Sahilatua tutup usia pada 20 April 2011.
Editor: Windu Jusuf