tirto.id - Ismail Harahap bukanlah musisi profesional. Ia sempat memainkan keroncong dan hawaiian pop yang pada dekade 1960-an yang sedang populer. Laki-laki berdarah Batak yang lahir di Tanjung Morawa ini besar di Kota Pahlawan, Surabaya. Di sana, ia bekerja sebagai apoteker, lalu menikahi perempuan keturunan Perancis, Fransiena Frederika Mahieu.
Dari perkawinan tersebut, lahirlah Ucok Andalas Datuk Oloan Harahap, atau akrab disapa Ucok Harahap. Kelak ia dikenal sebagai rockstar papan atas yang mekar dengan grup bernas bernama AKA Band.
Ada tiga hal yang dapat merangkum eksistensi AKA: aksi panggung yang liar, komposisi sarat distorsi, dan pionir heavy-metal di Indonesia.
Bermula dari Sebuah Apotek
Sebagaimana dicatat Situ Naasyi'ah dalam Ucok AKA Harahap: antara Rock, Wanita, dan Keruntuhan (2012), keluarga Ucok termasuk keluarga berada. Ini tak lepas dari bisnis apotek milik ayahnya, "Apotik Kali Asin" yang terletak di Jalan Kali Asin (sekarang Jalan Basuki Rahmat) di Surabaya. Di era 1960-an, Apotik Kali Asin cukup punya reputasi yang mentereng.
Demi menjaga bisnis apoteknya tetap hidup, Ismail meminta Ucok untuk meneruskannya. Ucok pun disekolahkan di Sekolah Asisten Apoteker Semarang dan bekerja di apotek ayahnya usai lulus.
Masa sekolah di Semarang merupakan masa-masa di mana Ucok mulai kenal dan keranjingan dengan musik. Hal itu bahkan diteruskannya kala ia bekerja di Kali Asin. Motivasi Ucok mengambil pekerjaan apoteker adalah untuk membeli seperangkat alat musik, alih-alih menjalankan keinginan ayahnya. Ia telah berikrar bahwa selepas tujuannya terpenuhi, Ucok bakal cabut dari pekerjaannya.
Keinginan Ucok pun akhirnya terwujud. Ketika duit untuk beli alat musik sudah terkumpul, ia lantas berhenti sebagai apoteker. Alat musik yang ia beli ditempatkan di apotek, seraya mengubah sebagian ruang jadi studio musik. Tempat ini seketika menjadi tempat favorit Ucok. Ia rela duduk berjam-jam hingga berhari-hari di studio untuk mengulik dan mendengarkan banyak lagu.
Agar hasrat bermusiknya tak tertahan begitu saja, Ucok mengajak Zainal Abidin (drum), Sonata Tanjung (gitar), dan Piter Wass (bass) untuk ngeband. Dari sini, pada Mei 1967, mereka lantas mendirikan AKA, band rock yang namanya diambil dari akronim apotek milik ayah Ucok.
Karier AKA di awal kemunculan tak berjalan begitu mulus. Mereka sulit dikenal, hanya main di panggung sekelas pentas seni sekolah, dan memperoleh bayaran yang tak seberapa. Tak cuma itu, AKA juga harus kehilangan Zainal dan Piter.
Keadaan tersebut nyatanya tak membikin mental Ucok goyah. Hengkangnya Zainal dan Piter tergantikan oleh masuknya Arthur Kaunang dan Syech Abidin. Arthur merupakan anak dari sahabat ibu Ucok, sementara Syech adalah adik mantan personel AKA yang lain, Zainal. Formasi Ucok, Arthur, Syech, serta Sonata inilah yang kemudian jadi formasi AKA paling solid dan produktif semenjak pertama kali disatukan pada 1969.
Memanaskan Panggung
Apa yang membikin AKA jadi istimewa, salah satunya, ialah aksi mereka setiap tampil di atas panggung. Semua tentu muncul berkat keberadaan Ucok. Sosok Ucok sendiri merupakan contoh bagaimana dunia musik Indonesia pernah melahirkan rockstar yang nekat, eksentrik, dan tak ragu menerabas batasan-batasan di depan mata.
Kegilaan-kegilaan itu bisa Anda simak, misalnya, saat Ucok berani hanya memakai celana dalam saja sewaktu menyanyikan lagu "Sex Machine" ciptaan James Brown. Di lain kesempatan, Ucok bahkan bersedia lompat ke atap, dipukuli, digantung, dan ditenggelamkan ke dalam peti mati. Semua dilakukan atas nama totalitas. Musik rock tanpa aksi panggung yang liar, pikir Ucok, sama halnya kibul belaka.
Kendati begitu, dalam beberapa aksinya, Ucok tak luput dari kecelakaan. Seperti yang terjadi di Jember, Jawa Timur. Menurut Nuran Wibisono, dalam bukunya berjudul Nice Boys Don’t Write Rock n Roll: Obsesi Busuk Menulis Musik (2017), kala itu, di Jember, Ucok jatuh berdebam, kepala menghantam lantai panggung terlebih dahulu karena tali yang mengikat kepalanya putus. Alih-alih menyalahkan hal teknis, Ucok mengaku bahwa putusnya tali tersebut terjadi secara gaib akibat ulah orang yang tak suka kepada dirinya.
Namun, tak semua aksi liar Ucok di atas panggung berujung nestapa. Ada yang berakhir dengan konyol dan mengundang tawa. Contohnya ketika AKA tampil di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta pada 1973. Waktu itu, Ucok mempertontonkan aksi masuk peti mati. Aksi ini mulanya berjalan lancar sampai akhirnya Ucok menggedor-gedor peti dari dalam meminta untuk dikeluarkan dan berteriak histeris setelahnya. Rupanya, di dalam peti terdapat mayat betulan. Penonton hanya bertepuk tangan, tak tahu apa yang sebenarnya terjadi pada Ucok.
Aksi-aksi bernas AKA di panggung ternyata bikin risih penguasa, alias Orde Baru. Beberapa kali, Ucok dan rekannya ditegur aparat untuk tak terus-terusan liar kala pentas. Ucok pun menuruti perintah aparat. Namun, hal tersebut hanyalah kamuflase. Setelah bermain "santun" di nomor pembuka, Ucok dan AKA kembali menggila di lagu-lagu berikutnya.
“Beruntung Ucok lahir dan besar di Indonesia. Kita, di Indonesia, akan selalu menganggapnya sebagai legenda tak terlupakan,” tulis Nuran Wibisono.
Berkompromi dengan Lagu Cengeng
Musikalitas AKA bertumpu pada warna rock yang kerap dimainkan band-band Barat macam Deep Purple sampai Led Zeppelin. Ini bisa dilihat sejak debut album mereka, Do You What Like (1970), rilis ke permukaan dan dilanjutkan di karya-karya berikutnya: dari Reflections (1971), Crazy Joe (1972), Sky Rider (1973), Cruel Side Of Suez War (1974), Mr Bulldog (1975), dan Pucukku Mati (1977).
Permainan gitar Sonata penuh improvisasi. Jemarinya meliuk cepat, tenang, dan membentuk melodi maupun riff-riff berbahaya. Duet Arthur dan Syech adalah candu—ritmis, seksi, dan bertenaga; menjadikan ketukan-ketukan di setiap komposisi seperti satu spektrum yang rapat.
Sementara Ucok: vokalnya adalah perlambang keberanian, pemberontakan, dan mukjizat; lengkingannya menjangkau misteri, membelah sekaligus menggetarkan gelanggang di samping pula mengajak pendengarnya bergoyang.
Kualitas-kualitas itu lantas melahirkan repertoar serupa sihir seperti "Shake Me" hingga "Crazy Joe."
Kendati dicap sebagai band rock, AKA juga pernah mengeluarkan lagu-lagu pop yang mendayu, sebuah langkah yang ternyata juga dilakukan band rock lainnya seperti God Bless. Anda tak percaya? Coba dengarkan "Jeritan Seniman," "Akhir Kisah Sedih," "Seniman dan Biola," sampai "Badai Bulan Desember." Kebanyakan dari lagu-lagu tersebut bercerita mengenai curahan hati tentang percintaan maupun hidup yang terkadang begitu kejam.
Namun, memasuki akhir 1970-an, perjalanan bermusik AKA harus berakhir. Penyebabnya: Ucok kelewat sibuk dengan proyek sampingannya sehingga bikin dirinya tak fokus berkarya bersama AKA. Selain itu, kelakuan Ucok di luar studio juga membuat personel lain gerah: terlampau glamor dan dekat dengan groupis. Walhasil, Ucok pun mesti menerima kenyataan pahit: diberhentikan sebagai vokalis band yang dibentuknya sendiri.
Tanpa Ucok, anggota tersisa AKA tetap jalan. Mereka melepas nama besar AKA, membangun kekuatan sendiri, dan jadilah SAS (Sonata, Arthur, Syech) dengan warna musik rock yang juga eksplosif. Sedangkan Ucok, sama sekali tak punya niat untuk meratapi nasib. Ia mendirikan Ucok and His Gang, berduet dengan Ahmad Albar, serta bermain di sejumlah judul layar perak.
Editor: Suhendra