tirto.id - Lies Soetisnowati Adji Rahman tak bisa menutupi raut kecewa ketika bicara tentang akhir perjalanan Dara Puspita, all female band di Indonesia yang tumbuh tenar di era 1960-an. Lies adalah gitaris sekaligus pendiri Dara Puspita.
“Kalau boleh memilih, sebenarnya saat itu, ya, enggak mau bubar.”
Kekecewaan Lies sangat beralasan. Pasalnya, saat itu, Dara Puspita sedang berada di masa keemasan. Mereka melangsungkan tur di Eropa selama kurang lebih tiga tahun, rekaman di bawah label CBS di London, dan dipuja layaknya rockstar kala tiba di Indonesia.
Namun, persoalan internal yang tak bisa diselesaikan harus menutup pencapaian mengesankan kuartet ini. Selepas bubar, pada 1972, masing-masing personel Dara Puspita menempuh jalan yang berbeda. Titiek Hamzah, pencabik bass dan vokalis utama, memilih tampil solo. Susy Nander, si penggebuk drum, memutuskan untuk fokus mengurus keluarga. Sementara Lies pindah ke Belanda.
Upaya menghidupkan kembali marwah Dara Puspita sempat dilakukan Titiek AR, kakak Lies sekaligus vokalis Dara Puspita. Bersama Judith Manopo dan Dora Sahertian, Titiek membentuk Dara Puspita Min Plus. Namun, Dara Puspita versi “baru” tersebut tak bertahan lama. Titiek lantas bergabung dengan band Daughter of Zeus, all female band asal Australia.
Meski sudah lama bubar, nama Dara Puspita tetap diperbincangkan oleh generasi sekarang. Ada rasa takjub, segan, dan hormat yang ditujukan kepada empat anggota Dara Puspita dengan segala prestasinya. Harapan agar Dara Puspita reuni pun, mau tak mau, menyeruak ke permukaan.
“Kami senang saja kalau masih ada yang mengingat kami, dan akan menyenangkan kalau kami bisa reuni. Tapi, kalau reuni, ya, harus berempat [anggota] Dara Puspita yang dulu,” demikian Lies bilang pada Manunggal K. Wardaya, pengarsip Dara Puspita.
Semua Karena Koes Plus
Dara Puspita dibentuk di Surabaya, pada 1964, oleh Titiek AR, Lies AR, Susy Nander, dan Ani Kusuma. Mulanya, nama band mereka ialah “Nirma Puspita.” Bagi keempat gadis tersebut, bermusik hanyalah untuk senang-senang dan tak ada pikiran untuk jadi bintang besar.
Akan tetapi, semua berubah kala mereka bertemu dengan Koes Bersaudara—cikal bakal Koes Plus—di Hotel Simpang. Usai Koes Bersaudara tampil, Titiek, Ani, dan Lies, sebagaimana penggemar pada umumnya, berniat untuk meminta tanda tangan. Usaha mereka sempat terbentur penjagaan ketat, sebelum teknisi Koes Bersaudara, Handiyanto, meyakinkan personel Koes untuk menerima mereka.
Pertemuan itu nyatanya mengubah jalan karier Dara Puspita. Di sela-sela perjumpaan, Tonny Koeswoyo bilang, jika ingin sukses seperti Koes Bersaudara, maka, Jakarta adalah pintu buat mewujudkannya, demikian seperti ditulis Manunggal K. Wardaya dalam “Kenangan Dara Puspita” (2013).
Pernyataan Tonny bikin personel Dara Puspita kepikiran. Sampai pada 1965 mereka membulatkan tekad untuk pindah ke Jakarta sekalipun berangkat tanpa bekal yang mencukupi. “Kami mau nginep di mana juga enggak tahu. Akhirnya, kami nginep di rumah budhe (bibi),” ujar Titiek AR.
Di ibukota, Dara Puspita menempa diri bersama Koes Bersaudara di sebuah markas yang berlokasi di Jalan Mendawai, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Kebersamaan kedua band ini tak sebatas terjalin waktu sesi latihan melainkan juga dalam pementasan. Sesekali, mereka berkesempatan untuk tampil bersama pada satu show.
Di tengah perjalanan, Lies harus pulang ke Surabaya guna menyelesaikan sekolahnya. Posisi Lies lantas diisi oleh Titiek Hamzah, yang sebelumnya lebih sering menggeluti dunia jazz. Tak lama setelahnya, Ani memutuskan cabut dari band. Lies, yang sudah merampungkan pendidikannya, kembali bergabung untuk menggantikan posisi Ani.
Dengan formasi inilah, Dara Puspita berjaya.
Boleh Main Asal Aparat Tak Tahu
Saat Dara Puspita sedang mengembangkan kariernya, Indonesia masih berada di bawah pemerintahan Sukarno yang tegas melarang musik Barat. Dalam benak Sukarno, musik Barat adalah musik yang tak jelas, tak patriotik, dan sekadar hura-hura. Bagi mereka yang ngeyel, hukuman bisa jadi dijatuhkan.
Ini dialami sendiri oleh Koes Bersaudara kala mereka diciduk aparat karena memainkan lagu-lagu The Beatles dalam sebuah hajatan pesta ulang tahun. Tak cuma ditangkap, Koes Bersaudara juga dipenjara selama tiga bulan di Glodok.
Pemenjaraan Koes Bersaudara berimbas pula pada nasib anak-anak Dara Puspita yang juga kerap membawakan repertoar The Beatles atau band-band Barat lainnya. Mereka, misalnya, dikenakan wajib lapor ke kejaksaan. Selain itu, kala sedang tampil di panggung, mereka dilarang untuk bergaya maupun bergoyang badan.
Larangan menyanyikan lagu-lagu Barat membikin Titiek Hamzah tak habis pikir. Menurutnya, pemerintah Orde Lama tak bisa seenak jidat membatasi kreativitas bermusik anak-anak muda. Kebijakan melarang lagu Barat, alih-alih menciptakan keteraturan, justru mendorong anak-anak muda untuk mbalelo.
“Kita boleh melarang orang buat jatuh cinta, tapi perasaannya enggak bisa dilarang,” ucap Titiek Hamzah, sebagaimana diwartakan Detik.
Tak semua aksi represi tersebut meninggalkan kesan buruk. Beberapa di antaranya malah bikin anggota Dara Puspita tertawa mengingatnya.
Syahdan, Dara Puspita diundang untuk manggung di Komdak Metro Jaya—sekarang Polda Metro Jaya. Seperti biasanya, panitia telah mengultimatum mereka mengenai lagu apa saja yang boleh dan tidak dibawakan.
Ketika mereka menyanyikan “A Hard Day’s Night” garapan The Beatles, aparat menyebut lagu itu dilarang. Namun, giliran mereka membawakan “I Can’t Get No Satisfaction” milik The Rolling Stones aparat justru memperbolehkannya.
Sadar ada yang tidak beres dari kebijakan yang diterapkan, Dara Puspita sepakat nge-troll aparat. Lagu “Mr. Moonlight” dari The Beatles dijadikan bahan uji coba. Saat aparat bertanya lagu itu milik siapa, anak-anak Dara Puspita kompak menjawab, “Lagu dari Liverpool.” Aparat pun langsung memberikan tanda setuju dan tak ngeh bahwa lagu bersangkutan adalah kepunyaan The Beatles.
“Dari situ saya dan kakak-kakak saya [Titiek Hamzah menganggap personel Dara Puspita lainnya kakak karena ia paling muda] menganalisis: mereka-mereka ini disuruh melarang, tapi mereka enggak tahu definisinya,” jelas Titiek sembari tertawa.
Selepas Sukarno tumbang dan Orde Baru berkuasa, popularitas Dara Puspita makin moncer. Pada momen itu, mereka melepas album debut bertajuk Jang Pertama. Di album ini, mereka memainkan musik pop minimalis dengan iringan gitar jangly yang begitu manis ala Everly Brothers di nomor macam “Mari-Mari” hingga “Surabaya.”
Musik mereka mengalami perubahan saat memasuki album kedua. Di album tersebut, anak-anak Dara Puspita mulai memasukkan warna rock serta mengeraskan volume keliaran. Ini bisa dijumpai lewat track seperti “Burung Kakatua,” “Mabuk Laut,” dan “Pesta Pak Lurah”.
Musikalitas semacam itu coba dipertahankan di album-album setelahnya. Dalam rentang dua tahun, 1966-1968, Dara Puspita melepas total empat buah album. Banyaknya album yang mereka bikin berjalan beriringan dengan derasnya tawaran manggung yang berdatangan ke meja manajemen.
“Kami sering ke daerah. Rasanya setiap kota kita pernah main,” terang Titiek menggambarkan ketenaran Dara Puspita saat itu.
Popularitas mereka, di saat bersamaan, menembus batas negara. Tak sekadar di level Asia, Dara Puspita juga mengokupasi Eropa selama tiga tahun. Mereka bermain di Inggris, Belanda, Prancis, Belgia, Jerman, hingga Hungaria. Atas pencapaian tersebut, majalah Aktuil menempatkan Dara Puspita di peringkat teratas sebagai artis pilihan pembaca, lebih tinggi dari Koes Bersaudara.
Pada akhirnya, nama Dara Puspita pasti akan disebut pertama jika berbicara tentang band perempuan Indonesia. Mereka adalah legenda, sekaligus pembuka jalan bagi band perempuan di negara yang warganya secara umum masih melihat (industri) musik sebagai dunia laki-laki.
Editor: Nuran Wibisono