tirto.id - Tak ada yang salah apabila nama “Jack Lesmana” diubah menjadi “Jazz Lesmana.” Melihat sepak terjangnya di dunia jazz Indonesia, penyematan nama tersebut sah belaka. Kontribusi Jack terhadap perkembangan jazz tanah air memang tidak main-main. Album dan bermacam komposisi yang ia ciptakan merupakan buktinya.
Jack lahir di Jember pada 18 Oktober 1930 dari ayah seorang Madura serta ibu berdarah campuran Jawa-Belanda. Nama aslinya ialah Jack Lemmers, mengikuti nama ayahnya yang diadopsi orang Belanda. Keluarga ini suka kesenian, yang membuat Jack suka musik sejak usia belia. Sang ayah adalah pemain biola, dan ibunya penyanyi kelompok opera Miss Riboet.
Perkenalan pertama Jack dengan jazz terjadi saat usianya 12 tahun. Ia membikin grup musik jazz bernama Dixieland. Waktu itu, Jack pegang gitar. Dari Dixieland, Jack kemudian bergabung dengan Berger Quarter serta Boogie-Woogie Rhytmics yang memainkan ragam musik boogie-woogie—ragam blues yang muncul di abad 19. Dalam grup tersebut Jack ditemani Micki Wyt (piano), Oei Boeng Leng (gitar), dan Benny Heynen (klarinet).
Dalam Musisiku (2007) yang diterbitkan Republika, pada kurun waktu 1950an sampai 1970an, Jack terhitung bergabung dengan banyak proyek jazz. Mulai dari Gema Irama sampai Jack Lesmana Quintet. Namun, di antara kelompok tersebut, nama Jack makin moncer saat bermain dengan Indonesian All Stars dan Irama Lenso.
Di Indonesian All Stars, Jack bergabung bersama Bubi Chen (piano), Benny Mustapha (drum), Maryono (flute), dan Jopie Chen (bas). Dari nama-namanya saja sudah dapat diprediksi bahwa grup ini punya daya ledak yang sangat dahsyat.
Benny Mustapha, misalnya, punya gebukan drum yang bertenaga dan liar—cenderung ke gaya rock and roll—dan menjadikannya salah satu drummer yang diwaspadai. Sementara Bubi Chen begitu mahir mengolah jemarinya di tuts piano dengan tenang, penuh presisi, dan menghanyutkan. Lalu, ada Maryono yang mampu mengeluarkan bunyi melodius dari perkakas flute-nya.
Kombinasi bernas itu lantas menarik perhatian publik. Salah satunya dari Tony Scott, peniup klarinet jazz asal Amerika. Scott, yang pada dekade 1960-an berada di Jakarta, mengajak mereka untuk membuat rekaman kolaborasi. Mereka pun setuju bekerjasama.
Maka, terciptalah album Djanger Bali yang berisikan gubahan ulang empat repertoir tradisional Indonesia seperti “Ilir-Ilir,” “Burung Kakatua,” “Gambang Suling,” dan “Djanger Bali.” Djanger Bali digarap di Jerman pada akhir Oktober 1967. Album tersebut pula yang membuka kesempatan Indonesian All Stars bermain di Australia, AS, sampai Jerman.
Satu lagi grup yang berandil dalam melejitnya karier Jack adalah Orkes Irama. Jack bergabung dengan Orkes Irama pada awal 1960an atas ajakan Presiden Soekarno. Hubungan Jack dengan Soekarno memang dikenal dekat. Kedekatan itu dibuktikan dengan pemberian nama Lesmana dari Bung Karno kepada Jack untuk menggantikan nama “Lemmers.”
Sama seperti Indonesian All Stars, Irama Lenso juga bertaburan musisi papan atas. Selain Jack, ada Bing Slamet, Titiek Puspa, Lilis Suryani, serta Nien Lesmana. Dalam proyek ini, Jack berperan sebagai pemimpin grup bersama Bing Slamet dan Idris Sardi. Ketiganya menjadi penanggungjawab proses kreatif antara musisi pengiring serta penyanyi.
Pembentukan Orkes Irama sebetulnya tak bisa dilepaskan dari konteks politik saat itu. Bung Karno, sebagaimana diketahui, sangat alergi terhadap segala hal berbau Barat, termasuk urusan musik. Di era itu, musik Barat yang diwakili The Beatles sampai Elvis Presley memang sedang hangat-hangatnya diperbincangkan, dinikmati, sekaligus dijadikan inspirasi.
Bung Karno yang melihat fenomena budaya tersebut, tak terima. Ia ingin masyarakat Indonesia tak terpapar pengaruh Barat. Bung Karno kemudian membentuk grup musik yang dinilai bisa mewakili budaya Indonesia. Walhasil, jadilah Orkes Irama yang khas dengan irama lenso—semacam tarian pergaulan tradisional yang bermuasal dari Ambon, Maluku.
Orkes Irama dikenal dengan albumnya berjudul Mari Bersuka Ria dengan Irama Lenso (1965). Album ini direkam di bawah label Irama Records kepunyaan Suyoso Karsono, pensiunan Angkatan Udara. Di album tersebut, Jack dan kawan-kawan mengaransemen lagu-lagu daerah dan populer macam “Euis” (dinyanyikan Bing Slamet dan Rita Zahara), “Bengawan Solo” (Bing Slamet dan Tities Puspa), “Soleram” (Suara Bersama), dan tentu saja “Gendjer-Gendjer” (Bing Slamet).
Mentor yang Baik
Rasanya tak perlu berpikir panjang untuk menyimpulkan bahwa Jack Lesmana adalah musisi jazz yang lengkap. Ia punya kemampuan bermain yang mumpuni, jempolan mengaransemen komposisi, serta piawai menyatukan harmoni-harmoni yang dihasilkan dari deru improvisasi. Ia adalah conductor yang handal. Hebatnya, semua keistimewaan itu didapatkannya secara autodidak.
Berbicara soal kemampuannya tersebut, Anda bisa melihat dalam beberapa karyanya seperti yang tertera pada Merpati Putih (1978). Di album itu, Jack berhasil menyodorkan aransemen jazz-lounge yang mengalir, sendu, dan sekaligus nikmat. Coba putar track berjudul “Tidurlah Intan” yang menampilkan kombinasi maut melodi gitar Jack bersama Oele Pattiselanno yang saling bersautan serta mengisi ruang-ruang kosong. Rasanya, Merpati Putih cocok didengarkan dengan wine dan sebatang rokok di tangan sembari membebaskan pikiran dari belenggu kejamnya ibukota.
Beda Merpati Putih, beda pula Jawaban Api Asmara (1977) dan Jazz Guitar (1978). Kedua album itu merupakan bukti bagaimana Jack bisa meramu fusion, funk, bossa, dan soul menjadi satu resep ampuh yang tiada duanya.
Jika masih kurang bukti betapa bernasnya Jack, Anda dapat menyimak saat ia memainkan “Silence for the Buffalo” di bawah bendera Jack Lesmana All Stars. Di sana, Anda akan mendengar instrumentasi rock dan jazz selama delapan menit tanpa henti. Permainan gitar Jack pada komposisi itu mengingatkan saya pada Lee Ritenour dan Larry Carlton.
Hal lain yang bikin Jack istimewa adalah ia tak ragu untuk bekerjasama dengan musisi lainnya dan menjadi mentor rekan sejawatnya atau generasi jazz selanjutnya.
Cerita itu bermula saat Jack merantau ke Jakarta pada 1960. Di Jakarta, Jack bekerja di Irama Records milik Suyoso Karsono—biasa dikenal Mas Yos—sebagai teknisi rekaman dan penata musik. Posisi inilah yang membuatnya mengurusi semua rekaman musisi Irama seperti Oslan Husein, Bing Slamet, sampai Nien Lesmana. Masing-masing penyanyi diarahkan sebagaimana mestinya. Ia memberi saran, masukan, serta kritik. Apa yang harus ditambah dan apa yang sebaiknya diperbaiki.
Musisi yang bekerjasama dengannya tak sebatas di lingkup Irama semata. Jack tercatat juga menjadi kolaborator lintas genre dengan Rien Djamain dalam Api Asmara (1975), Margie Segers (Semua Bisa Bilang, 1975), Broery Marantika (Manisku, 1976), Bubi Chen (Selembut Kain Sutera, 1977), hingga Mus Mujiono (Yang Pertama, 1987).
Tak ketinggalan, bersama putranya, Indra Lesmana, Jack membikin tiga album: Children of Fantasy, Ayahku Sahabatku, dan Jack & Indra Lesmana.
Selain menjadi kolaborator, Jack juga sering memfasilitasi musisi-musisi jazz tanah air untuk mengembangkan kemampuannya. Beberapa langkah yang ia tempuh di antaranya seperti membentuk komunitas serta menyelenggarakan perhelatan jazz secara rutin.
Komunitas yang dibikin Jack kerap berkumpul di kediamannya di bilangan Tebet, Jakarta Selatan. Seperti dicatat Denny Sakrie dalam 100 Tahun Musik Indonesia (2015), di sana, Jack dan teman-teman musisi lainnya macam Benny Likumahuwa, Pattiselanno bersaudara (Oele dan Perry), Abadi Soesman, sampai Candra Darusman mengadakan diskusi yang sesekali diselingi sesi jamming bersama.
W. Royal Stokes, kritikus jazz, dalam bukunya Growing Up with Jazz: Twenty-Four Musicians Talk about Their Lives and Careers (2005), menulis bahwa Jack merupakan penggagas panggung jazz di Taman Ismail Marzuki pada era 1970an. Tak hanya itu saja, pada 1969-1979, Jack juga mengelola show jazz bulanan di TVRI bertajuk “Nada dan Improvisasi.”
Lewat acara tersebut, Jack membantu mengenalkan musisi-musisi jazz tanah air seperti Bubi Chen, Benny Likumahuwa, Didi Tija, Benny Mustapha, Abadi Soesman, Margi Segers, Rien Djamain, hingga Broery Marantika ke khalayak ramai.
Gelora Jack akan musik jazz tak berhenti hingga kematian menjemputnya pada 1988 akibat diabetes. Kendati begitu, sebelum berpulang, Jack setidaknya sudah menuntaskan misinya: menimba ilmu di New South Wales Conservatory School of Music serta mendirikan sekolah musik “Musik Indra & Jack Lesmana.”
Meski Jack telah tiada, perkembangan jazz di dalam negeri berada di titik positif mengingat di era 1980an, musisi-musisi jazz banyak bermunculan membawa karya yang patut diperhatikan.
Dari sini, setidaknya kita paham bahwa hidup Jack didedikasikan hanya untuk jazz. Ia istimewa karena kemampuannya menyusun komposisi jazz yang seringkali dianggap mbulet dan membingungkan. Namun, yang lebih membuatnya spesial adalah ia meninggalkan banyak capaian sekaligus fondasi untuk pelaku jazz di masa sekarang sekaligus mendatang.
Editor: Nuran Wibisono