tirto.id - Solo, tujuh tahun silam. Di sebuah gedung yang terletak di pusat kota, Bambang Sumitro menghadiri hajatan penting dalam hidupnya: pernikahan putri ketiganya. Wajahnya sedikit tegang, namun juga menyimpan syukur serta bahagia yang tak bisa disembunyikan.
Memasuki acara santai, ia menuju panggung kecil yang letaknya tak jauh kursi tamu undangan. Ia diam sejenak dan membisikkan sesuatu ke pemain keyboard di sampingnya. Tak lama berselang, alunan intro mengalun dengan lembut dan masuklah vokal Bambang yang menyanyikan tembang “Jangan Ada Dusta di Antara Kita.”
Ia menyanyi dengan penuh penghayatan. Suaranya menggema mantap, memenuhi seluruh aula. Di tengah lagu, ia memanggil istrinya untuk naik ke panggung. Kendati sempat menolak, sang istri akhirnya luluh juga. Keduanya lantas membentuk duet vokal yang disambut hangat para tamu.
Di akhir lagu, ia berpesan untuk mempelai pengantin. Ia berharap, perkawinan mereka langgeng, abadi, penuh cinta, dan tentunya saling membahagiakan satu sama lain.
“Saya memilih lagu ini agar putriku, Mutia, dan suami, Anton, bisa terus bersama. Tak peduli apapun rintangannya, kalian harus tetap bersatu. Saling terbuka dan jujur tanpa ada yang ditutup-tutupi adalah kunci mewujudkan hal itu,” ujarnya sambal mengusap air mata yang jatuh di pipinya.
Ikon Pop Nusantara
Balada “Jangan Ada Dusta di Antara Kita” adalah salah satu lagu hits yang dinyanyikan Broery Marantika. Ia menyanyikan lagu itu bersama Dewi Yull pada 1992. Lagu ini dianggap mendorong pasangan untuk berlaku jujur satu sama lain dan menjadi tembang legendaris yang pernah dilahirkan musisi pop tanah air.
Saking legendarisnya, lagu ini, sampai sekarang, masih bisa dijumpai di banyak hajatan; dari pernikahan, reuni sekolah, sampai acara malam peringatan 17 Agustus di lingkup RT dan RW.
Meledaknya “Jangan Ada Dusta di Antara Kita” tak bisa dilepaskan dari sosok Broery. Suaranya begitu dalam, lembut tapi tak terdengar cengeng. Duetnya bersama Dewi Yull juga tampak saling melengkapi: mengisi kekosongan satu sama lain, menghidupkan makna yang tersimpan dalam liriknya.
Broery Marantika lahir di Ambon pada 25 Juni 1948 dari pasangan Gijsberth Pesulima dan Wilmintje Marantika dengan nama asli Simon Dominggus Pesulima. Ia dibesarkan paman dari keluarga ibunya, Simon Marantika, dan punya tiga saudara: Henky, Freejohn, serta Helmi.
Di tanah kelahirannya, ketertarikan Broery terhadap tarik suara sudah terlihat sejak kecil. Ia menjadi anggota paduan suara gereja dan sering mengikuti lomba-lomba menyanyi berskala lokal, seperti kontes di RRI Ambon yang menghantarkannya jadi juara satu pada awal 1960-an.
Selepas juara kontes menyanyi di RRI Ambon, ia memutuskan merantau ke Jakarta, tepatnya pada 1964, demi mengejar mimpinya sebagai penyanyi papan atas. Di Jakarta, ia ditampung Remy Leimena. Ia juga mengubah namanya jadi “Broery Marantika”—mengikuti identitas keluarga sang ibu.
Awal karier Broery diisi dengan bergabung bersama kelompok The Pro’s yang beranggotakan Dimas Wahab (bas), Pomo (alat tiup), Enteng Tanamal (gitar), dan Fuad Hasan (drum). Broery mengisi posisi vokal. Grup ini didukung perusahaan minyak negara, Pertamina, dan dikenal juga sebagai “Pertamina Culture Group” kala tampil di Amerika dengan misi memperkenalkan Indonesia.
Lewat The Pro’s, nama Broery perlahan melejit. Bahkan, melebihi nama grup itu sendiri. Kemampuannya mengolah suara dan melakukan improvisasi yang di atas rata-rata membuatnya mudah meraih perhatian publik.
“[…] suaranya khas. Dia bisa membuat lagu apa pun sebagai lagu dia, karena improvisasinya luar biasa yang membuat orang terheran-heran. Apa yang ditampilkannya di luar kebiasaan yang ada,” ucap Bob Tutupoli seperti dikutip Kompas pada 2000.
Tentang keunggulannya ini, ia pernah menyatakan bahwa inspirasinya berasal dari Nat King Cole dan banyak penyanyi kulit hitam lainnya.
“[…] nyanyian yang mereka keluarkan itu dari jiwa, bukan hanya dari otak ke mulut. Karena itu, musik mereka disebut soul. Mereka percaya, jika menyanyi dengan keras, mungkin Tuhan bisa mendengar penderitaan mereka. Maka, berteriaklah mereka. Teriakan itu tidak sama, tidak beraturan, dan kadang-kadang seperti tertawa, tapi disertai air mata. Itulah improvisasi,” jelasnya.