tirto.id - Di ruangan kelas yang tegang itu para murid diam menundukkan kepala, sementara Pak guru yang otoriter lagi kejam sejagat institusi musik Shaffer Conservatory New York, Terence Fletcher mengoceh serampangan. Siapa bulan-bulanan Fletcher? Anak baru Andrew Neiman.
Menurut Fletcher, Neiman adalah musisi tanpa bakat. Kualitasnya di bawah rata-rata, tak mampu memainkan tempo dengan baik, dan bermental tempe. Sepanjang merisak Neiman, Fletcher tak henti-hentinya menceritakan anekdot tentang Charlie Parker yang kepalanya dilempar simbal oleh Jo Jones kala tampil di publik. Bukannya menyerah, Parker justru bertekad menjadi musisi jazz besar usai insiden tersebut. Lewat cerita Parker, Fletcher berharap murid-muridnya bisa tahan banting di dunia jazz.
Anekdot Fletcher tentang Parker memang bukan sekedar motivasi klise. Bedanya, di adegan Whiplash (2016) Fletcher menyebut simbal drum Jones menghantam kepala Parker. Kenyataannya, Jones hanya membanting simbalnya ke lantai.
Baca juga:Jazz dan Potret Rasisme di Amerika
Usia Parker baru 16 tahun ketika bersiap tampil bersama salah satu band jazz terbesar di Amerika, Count Basie’s Orchestra pada suatu malam tahun 1937. Malam itu, Reno Club yang terletak di Kansas City, sesak pengunjung.
Pucuk dicinta ulam pun tiba. Lagu “I Got Rhytm” dimainkan dan Parker berhasil melewati tahap pertama dengan baik. Tiupan saksofonnya membius penonton yang kerap bertanya-tanya: "Bocah mana dia?", “Sekolah musik di mana?”, dan seterusnya.
Tapi masalah timbul sesudahnya. Permainan Parker mulai kehilangan kendali dan mengusik penggebuk drum Jo Jones. Menurut pengakuan pembetot bas Count Basie, Gene Ramey dalam Kansas City Lightning: The Rise and Times of Charlie Parker (2007), Jones berkali-kali memberikan sinyal kepada Parker agar berhenti dari aksi solonya.
Tanpa disadari, Jones membanting simbalnya ke lantai. Sejurus kemudian, Jones memelototi Parker dan mengusirnya dari panggung. Penonton yang mulanya diam, akhirnya tak bisa menahan tawa melihat kejadian itu.
Setelah insiden memalukan itu, normalnya musisi mungkin akan berhenti bermain lantas beralih profesi, tapi Parker beda. Mengutip Ross Russell dalam Bird Lives: The High Life and Hard Times of Charlie (Yardbird) Parker (1973), Parker mengatakan, “Aku akan kembali ke sini” pada dirinya sendiri.
Ia pun menepati janjinya. Ia kembali datang ke Reno bukan untuk jadi bahan olok-olok, tapi supaya orang tahu ia bisa memainkan solo saksofon terbaik dalam sejarah musik jazz Amerika.
Lahir di Kansas City pada 1920, Parker dibesarkan oleh ibunya, Addie. Di usia 13 tahun, ibunya membelikannya saksofon. Ketertarikan terhadap jazz pun bersemi. Ia mulai berlatih seharian dan mengisi malam-malamnya menyambangi klub tempat ibunya bekerja. Di sana pula ia menyaksikan jagoannya Lester Young bermain saksofon.
Baca juga:Satu Abad Thelonious Monk
Kecintaan pada jazz membuat Parker di-DO dari sekolah menengah pertama. Bagi Parker, saksofon dan jazz tak bisa diselingi kegiatan lain termasuk urusan akademis. Stanley Crouch dalam Kansas City Lightning: The Rise and Times of Charlie Parker (2007) menyebut Parker adalah sosok yang intens dalam mempelajari hal-hal yang membuatnya tertarik, tak terkecuali jazz.
Ia belajar sendiri dengan durasi tak main-main (11 sampai 15 jam sehari) untuk memahami, mengulik, dan mengulangi Lester Young dan Paul Desmond. Selain itu, dibantu beberapa musisi lokal Kansas, pelan-pelan Parker menemukan karakter musiknya sendiri.
Jelang dekade 1940-an, Parker bergabung bersama band Jay McShann (pianis asal Oklahoma), Jay McShan Orchestra. McShann langsung terkesima kala pertama kali mendengarkan permainan Parker. Pada tahun-tahun itu, setelah pernikahannya yang Kandas, Parker mulai mengonsumsi heroin.
Meski demikian, kebersamaan Parker dengan band McShann hanya berlangsung sampai tahun 1942. Pada tahun itu, McShann memecat Parker karena kerap tak disiplin mengikuti sesi latihan bersama dan mangkir dari pentas.
Peletak Fondasi Dasar Bebop dan Hancur Ditelan Obat-Obatan Terlarang
Parker merantau ke New York City pada awal 1940-an. Kota itu menjadi saksi bagaimana Parker meniti karirnya sebagai musisi jazz di Minton’s Playhouse di Harlem. Minton’s mempertemukan Parker dengan musisi-musisi jazz muda seperti Kenny Clarke, Thelonious Monk, Bud Powell, Charlie Christian, hingga pemain terompet Dizzy Gillespie yang kelak jadi duet mautnya.
Pertemuan Charlie dengan musisi-musisi itu lantas melahirkan sub-genre jazz bernama “bebop.” Genre yang dibenci Louis Armstrong ini dikenal dengan ciri permainan cepat, improvisasi, dan penolakan atas pakem jazz yang berlaku pada waktu itu. Kehadiran bebop nantinya menjadi panduan untuk jazz era modern.
Lahirnya bebop juga mempengaruhi musikalitas Parker secara keseluruhan. Ia lebih intens mengembangkan kemampuannya yang bertumpu pada eksplorasi kord dasar serta melebarkan tuas melodinya dalam tiupan-tiupan solo mengesankan. Dari sini lalu lahir deretan nomor magis semacam “Now’s the Time,” “Ornithology,” “Billie’s Bounce,” “Yardbird Suite,” “Ko-Ko,” sampai “Scrapple from the Apple.”
Kesuksesan demi kesuksesan pun mulai berdatangan. Tampil di sejumlah festival-festival jazz bertaraf internasional, mencetak hits bersama George Ershwin, duet maut dengan Dizzy Gillespie dan Miles Davis, hingga menelurkan album orkestrasi jazz di bawah label Verve adalah sekelumit keberhasilannya.
Di tengah masa-masa suksesnya, ketergantungan Parker terhadap narkoba semakin menjadi-jadi. Sesaat setelah melangsungkan tur bersama Gillespie ke Los Angeles pada akhir 1940-an, Parker yang harusnya balik ke New York bersama rombongan justru memilih tinggal di Los Angeles. Ia menukar tiket pesawatnya untuk membeli narkoba. Kejadian tersebut membuatnya mendekam di tahanan polisi dan panti rehabilitasi selama enam bulan.
Usai direhabilitasi, Parker tak pernah benar-benar menanggalkan ketergantungannya pada narkoba. Tahun 1950-an menjadi titik rendah dalam perjalanan karir Parker. Ia dilarang tampil di Birland, kendati bar tersebut memajang namanya di papan kehormatan. Setahun kemudian, lisensi manggungnya di seluruh pub dan bar New York dicabut otoritas berwenang sesuai rekomendasi petugas anti-narkotik.
Kemunduran-kemunduran itu melengkapi kehancuran Parker setelah putrinya yang berusia dua tahun meninggal akibat pneumonia. Depresi dan frustrasi, Parker sempat beberapa kali mencoba bunuh diri namun berhasil digagalkan oleh rekan-rekannya.
Pada 1956, Parker tewas akibat komplikasi yang disebabkan ketergantungan heroin dan alkohol. Apartemen milik Baroness Pannonica de Koenigswater pun menjadi saksi bisu tatkala salah seorang musisi jazz terbesar AS merenggang nyawa di usianya yang baru menyentuh 36.
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf