tirto.id - Di sebuah perempatan jalan di daerah Melawai, Jakarta selatan, terlihat Indra Lesmana muda berjalan santai memasuki sebuah kelab kecil. Bukan hanya Indra Lesmana, nama-nama seperti Idang Rasjidi, Benny Likumahua, Erwin Gutawa, Yance Manusama, Christ Kayhatu bahkan juga sering terlihat memasuki kelab tersebut.
Alunan musik jazz terdengar memenuhi ruangan kelab, semua orang terlihat sangat menikmati suasana sambil sesekali mereka bercengkrama dan menikmati minuman yang tersedia. Kurang lebih seperti itulah ilustrasi suasana dari sebuah kelab jazz bernama Jamz di sekitar tahun 90-an. Pemiliknya adalah Peter F Gontha, seorang pengusaha muda sekaligus penggila jazz.
Peter bukanlah orang baru di skena jazz saat itu, Kiprahnya di musik jazz sudah bermula sejak tahun 1985, ketika dia membentuk Bhaskara Music Production yang menaungi sebuah band jazz bernama Bhaskara. Melalui Bhaskara Music Production, Peter mulai banyak berkenalan dengan musisi jazz lokal. Kesuksesan yang dibuat oleh Peter saat itu adalah berhasil membawa Bhaskara untuk tampil di acara North Sea Jazz Festival tahun 1985 dan 1986, di Den Haag, Belanda.
Pria kelahiran Semarang, 4 Mei 1948 yang mempunyai nama lengkap Peter Frans Gontha ini memang sangat menggandrungi musik jazz. Ketertarikan Peter akan musik jazz berasal dari sang ayah, Victor Willem Gontha. Selain menjadi seorang karyawan swasta, Victor Gontha adalah seorang pemusik jazz. Instrument musik yang dikuasainya adalah trumpet. Walaupun, sebelumnya Peter pernah bermimpi ingin menjadi pemusik seperti sang ayah, akhirnya dia lebih memlih untuk bisa menghibur orang dengan cara lain, yaitu dengan membayar musisi untuk bermain.
Jamz menjadi tempat yang penting bagi para penikmat musik jazz di Jakarta dekade 90-an. Di tempat inilah mereka bisa melihat musisi favorit tampil dan jammin’ dengan musisi lainnya. Di tempat ini juga para pelaku dan penikmat musik jazz bisa saling berkumpul dan berinteraksi dengan intim.
Tidak seperti musik pop, rock, atau metal, di masa itu penikmat musik jazz di tanah air bisa dibilang sangat terbatas. Imej musik jazz malah sering kali dicap sebagai musik bagi para kaum elite. Tidak banyak fasilitas atau tempat bagi para pelaku maupun penikmat musik jazz untuk bisa menyalurkan ekspresi dan Jamz hadir sebagai jawaban atas keresahan itu.
Di masa keemasannya, kelab ini bahkan sampai membuka cabang di Bandung dan Surabaya. Kehadiran Jamz, sebagaimana dituliskan Deded Er Moerad dalam buku Jazz Indonesia, sanggup “menyulut semangat musisi jazz.” Tak hanya musisi jazz lokal, juga musisi jazz mancanegara.
Kawah Candradimuka dan Tempat Main Musisi Internasional
Menurut Dharmo Soedirman, yang aktif di Komunitas Jazz Kemayoran, Jamz itu seperti kawah candradimuka untuk band dan musisi jazz muda kala itu. Menurutnya, ada banyak band yang memulai karier di sana. Karimata, misalkan, terbentuk karena sering bertemu di Jamz.
"Gue suka banget dengan Jamz yang di Melawai, suasananya lebih hangat dan friendly. Hampir setiap minggu bokap ngajak gue kesana, nonton band jazz lokal ataupun pas saat lagi ada band jazz internasional main disana,” kenang Dharmo yang juga pemain keyboard band ska jazz Sentimental Moods.
Hendra Revianto yang sering dipanggil Cak Hend, manajer dari kelompok musik Nonaria, adalah salah seorang pengunjung rutin Jamz saat itu. Menurut Cak Hend, sebelum ada Jamz, agak sulit menemukan klub jazz di Jakarta.
“Dulu gue bisa nonton musisi jazz internasional cuma di Jamz. Musisi jazz kayak Ramsey Lewis, Phil Perry, atau Lee Ritenour. Bayangin, musisi jazz internasional tapi main di pub kecil. Benar-benar jazz banget suasananya,” ujar Cak Hend.
Sebelum Jamz hadir, sebenarnya sejak akhir tahun 70-an sudah ada beberapa kelab yang menyajikan musik jazz, seperti Jaya Pub, kelab milik pasangan artis Frans Tumbuan dan Rima Melati, Green Pub yang berlokasi di area bawah bioskop Djakarta Theater, dan Captain’s Bar di Hotel Mandarin International. Tapi di tempat-tempat itu, musik jazz bukan menu utama tapi hanya menjadi sebagai salah satu bagian dari hiburan yang ditawarkan. Walaupun demikian, kelab-kelab tersebut hadir sebagai embrio awal untuk skena jazz di ibukota.
Nama besar Jamz akhirnya menarik perhatian para musisi jazz mancanegara. Beberapa musisi jazz legendaris yang pernah bermain di kelab ini antara lain Bob James, Chick Corea, Phill Perry, Lee Ritenour, John Patitucci sampai Keith Jarret. Selain itu, kelab ini juga banyak melejitkan karier musisi-musisi muda tanah air seperti Ello, Maliq & D'Essentials, dan Mike Mohede. Tempat ini juga menjadi salah satu tempat bagi almarhum Glenn Fredly mengawali karirnya.
Melihat antusiasme yang semakin tinggi dari penikmat musik jazz di tanah air dan Jamz yang saat itu sudah tidak bisa menampung antusiasme tersebut, Peter merasa dirinya butuh membuat sesuatu yang lebih besar lagi. Di tahun 2005, melalui Java Festival Production sebuah perusahaan yang baru saja dia bentuk, lahirlah sebuah festival musik jazz dengan skala internasional yang bernama Jakarta International Java Jazz Festival.
Java Jazz Festival pertama diselenggarakan pada tanggal 5-6 Maret 2005, di Jakarta Convention Centre, Senayan. Menampilkan sekitar 25 musisi Internasional dan lebih dari 50 musisi tanah air, festival ini sukses mendatangkan kurang lebih 48.000 orang penonton. Di setiap tahunnya Java Jazz festival terus mendatangkan penonton yang semakin bertambah jumlahnya. Sudah ratusan artis mancanegara dan artis lokal yang pernah bermain di festival ini.
Memasuki era pertengahan tahun 2000-an, popularitas Jamz perlahan mulai pudar dan akhirnya harus tutup di sekitar tahun 2010. Jamz memang sudah berhenti beroperasi tapi tidak dengan perkembangan musik jazz di Indonesia. Java Jazz Festival saat ini bagaikan kiblat bagi para pecinta musik jazz di Indonesia bahkan di dunia. Hal ini tidak lepas dari kontribusi sebuah kelab kecil bernama Jamz. Sudah selayaknya kelab ini tercatat sebagai salah satu tempat yang mempunyai kontribusi penting dalam perkembangan industri musik khususnya musik jazz di tanah air.
Penulis: Boris Herlambang
Editor: Nuran Wibisono