Menuju konten utama

Jazz dan Potret Rasisme di Amerika

Strange Fruit adalah lagu yang ditulis oleh anggota Partai Komunis Amerika, Abel Meeropol dan dipopulerkan oleh penyanyi jazz Billie Holiday sebagai respons atas sikap rasisme dan diskriminasi terhadap orang kulit hitam di Amerika. Menurut data yang dilempar wsws.org. Sebelum tahun 1940 tercatat kurang lebih 4.000 orang dihakimi dengan hukum gantung, dan sebagian korban adalah orang kulit hitam.

Jazz dan Potret Rasisme di Amerika
Musisi jazz tampil di jalanan New Orleans, LA. [Foto/Shutterstock]

tirto.id - Agustus, delapan puluh enam tahun silam, ribuan massa berkumpul di depan penjara Indiana. Mereka meruntuhkan pintu penjara, menerobos masuk dan menangkap tiga pemuda Afrika Amerika, Tom Shipp, Abe Smith, dan James Cameron dengan tuduhan telah merampok dan membunuh seorang pekerja pabrik kulit putih, Claude Deeter dan memperkosa pacarnya Mary Ball.

Ketiga pemuda itu diseret ke alun-alun, Shipp dan Smith diadili dengan cara yang biadab, keduanya digantung di atas pohon hingga tewas. Cameron, yang ikut diadili berhasil lolos berkat salah seorang wanita yang tak dikenal identitasnya, menyatakan pemuda berusia 16 tahun itu tidak terlibat dalam tindakan kriminal tersebut. Belakangan, Cameron dipindahkan ke luar kota dan mendapat hukuman empat tahun penjara.

Kejadian itu begitu membekas dalam ingatan Cameron. Setelah keluar dari penjara, ia pun menjadi aktivis anti-hukuman mati serta mendirikan Black Holocaust Museum dan menuliskan sebuah otobiografi yang berjudul “A Time of Terror”. Dia meyakini bahwa suara yang datang dari kerumunan untuk menyelamatkan hidupnya adalah suara malaikat.

Cameron dalam sebuah wawancaranya mengakui, Shipp dan Smith tidak benar-benar bersalah seperti apa yang dituduhkan. Pernyataan tersebut menyusul kesaksian Mary Ball yang menyatakan bahwa ia tidak diperkosa dan polisi hanya memberikan tuduhan palsu.

Peristiwa tersebut diabadikan oleh seorang fotografer lokal, Lawrence Beitler. Ia merekam dengan pas kejadian itu, dua mayat tergantung dan disaksian oleh ribuan orang. Sepuluh hari ke depan Beitler pun menjual salinan fotonya dan laku terjual hingga ribuan eksemplar.

Foto itu akhirnya mengilhami seorang guru Yahudi sekaligus anggota Partai Komunis, Abel Meeropol untuk menuliskan puisi yang berjudul "Strange Fruit". Puisi tersebut dijadikan lagu dan dipopulerkan oleh penyanyi jazz kulit hitam, Billie Holiday.

Strange Fruit pertama kali dilantunkan Holiday di Cafe Society, Greenwich Village. Dalam sebuah pengakuannya, Holiday merasa takut ketika hendak menyanyikan lagu tersebut, menyusul maraknya rasisme yang begitu mencengkram saat itu. "Tidak ada derai tepuk tangan ketika saya selesai [nyanyi]," ungkapnya dikutip dari The New York Times, "Kemudian orang satunya mulai bertepuk tangan dengan gugup. Lalu tiba-tiba semua orang bertepuk tangan." lanjutnya.

Sejak malam itu, Strange Fruit berubah menjadi simbol perlawan terhadap rasisme. Meskipun demikian, John Hammond, selaku produser Holiday menolak merekam lagu tersebut. Belakangan, lagu tersebut dilirik oleh perusahaan rekaman Commodore milik Milt Gabler. Ketika dirilis, beberapa radio sempat memboikot dan menolak memutarkannya, tetapi tindakan tersebut justru membuat Strange Fruit menjadi terkenal dan mendapat sambutan hangat. Berkat kepiawaian Holiday dan Meeropol lagu ini menjadi rekor di tahun 1939 karena mampu menjual satu juta kopi.

Keberhasilan tidak semata soal angka penjualan. Max Roach Holiday, seorang drummer mengatakan, merekam lagu itu adalah sebuah hal yang revolusioner, karena Billie Holiday mampu membuat kita semua menjadi orang kulit hitam. Ia menjadi pejuang dan orang-orang kulit hitam mencintainya. Selain itu, Q musik publikasi di Inggris memasukkan Strange Fruit ke dalam sepuluh lagu yang benar-benar mengubah dunia.

Bukan Sekadar Musik

Strange Fruit berhasil menjadi magnet dan ikon pergerakan. Lagu tersebut mampu membangkitkan kesadaran politik bagi banyak kalangan, baik itu artis, musisi, aktor serta siswa dan kaum intelektual mengecam rasisme. David Margolick dalam bukunya yang berjudul “Strange Fruit: Billie Holiday, Café Society and an Early Cry for Civil Rights” mengatakan Strange Fruit dapat mengartikulasikan kesadaran dan kemarahan dalam membangkitkan gerakan hak-hak sipil di tahun 1950 dan 1960-an.

Apa yang diungkap Margolick juga diamini oleh seorang musisi Jazz yang juga berprofesi sebagai jurnalis musik, Leonard Feather. Ia menyatakan Strange Fruit adalah sebuah bentuk protes pertama yang balut dengan kata-kata dan musik. Sekaligus teriakan pertama melawan rasisme.

Apresiasi tersebut juga datang dari profesor bahasa Inggris, Feenie Ziner. Ia mengatakan, Billie Holiday bisa merobek hati Anda ketika ia menyanyikannya. Ia dapat membantu membangunkan seseorang dari prasangka rasialnya. Selain itu, Strange Fruit juga dengan mudah menyelinap masuk di antara celah-celah studi akademis.

Seorang pendiri Atlantic Records, Ahmet Ertegun bahkan menyebut lagu tersebut sebagai simbol rasisme, kekejaman, rasa sakit dan penderitaan yang dialami begitu banyak orang di Amerika. Bahkan Dorian Lynskey, menulis di The Guardian, lagu ini adalah lagu pertama yang memikul pesan politik yang eksplisit ke arena hiburan sekaligus menjadi simbol rasisme dan diskriminasi orang kulit hitam di Amerika.

Mengapa Strange Fruit begitu mampu menyentuh banyak jiwa ?

Dalam sebuah makalah yang berjudul “The Social Effects of Jazz” mengatakan, musik jazz sangat penting bagi orang Amerika Afrika, mereka yang saat itu sering berhadapan dengan rasisme, diskriminasi, dan segregasi menemukan kenyamanan dan rasa damai ketika mendengar dan bermain musik. Musik terus menjadi sarana untuk menyampaikan kemarahan, kesedihan, kasih sayang dan keinginanan untuk melakukan perubahan.

Strange Fruit benar-benar menghantui Holiday, begitu pula rasisme yang terus meracuni kehidupannya dan setiap orang kulit hitam di Amerika. Pada 1944, seorang perwira angkatan laut memanggilnya negro, Holiday mengamuk, lalu memecahkan botol bir dan menghajar seorang perwira itu dengan pecahan botol.

Beberapa saat kemudian, seorang teman melihat Holiday berkeliaran dan berseru.

"Bagaimana kabarmu, Lady Day?"

"Yah, kau tahu, aku masih negro." jawab Holiday.

Baca juga artikel terkait RASISME atau tulisan lainnya dari Alexander Haryanto

tirto.id - Musik
Reporter: Alexander Haryanto
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti