Menuju konten utama

Satu Abad Thelonious Monk

Tanpanya, mustahil jazz bisa berdiri seperti saat ini.

Satu Abad Thelonious Monk
Musisi Jazz, Thelonious Monk saat tampil di Paris tahun 1969. FOTO/Jean-Pierre Leloir

tirto.id - Kakek saya mencintai musik jazz. Ketika kecil, saya sering diajaknya mengunjungi toko kaset Harapan Musik di pusat kota, yang menjual rekaman pop, rock, sampai keroncong. Tiap kali ia menginjakkan kaki di sana, sorot matanya tertuju pada satu rak bertuliskan "Jazz".

Saking cintanya, kakek membuatkan wadah khusus untuk menyimpan koleksi-koleksinya yang hanya mencakup rekaman jazz, tak ada yang lain. Jika kritikus musik Nuran Wibisono mengaku hair metal dan Guns N’ Roses telah mengubah hidupnya, bagi kakek saya jazz mengiringi sepanjang hayatnya.

Di antara para raksasa jazz yang karya-karyanya diakrabi kakek, (Charlie Parker, Charles Mingus, Oscar Peterson, Bill Evans, sampai Dizzy Gillespie), beliau selalu merujuk satu nama; Thelonious Monk. “Jazz tidak akan pernah sama tanpa kehadiran Monk. Ia diturunkan Tuhan supaya jazz tetap abadi,” tuturnya suatu ketika.

Baca juga:Beraneka Wajah Grammy

Mulanya saya sangsi. Sampai akhirnya kakek menghadiahi kaset Monk bertajuk Criss-Cross (1963) ketika saya berulangtahun ke-10. Beliau berpesan, “Dengarkan kala senggang, resapi pelan-pelan. Ini mahakarya Monk yang jarang didengar orang.” Pernyataan kakek betul adanya.

Thelonious Monk, pianis dan komposer jazz asal Amerika Serikat lahir pada 10 Oktober 1917 di Rocky Mount. Monk tumbuh di West 63rd Street, New York City yang saat ini menjadi lokasi berdirinya Lincoln Center for Performing Arts.

Ketertarikan Monk pada musik, khususnya piano sudah dimulai sejak usia lima tahun. Robin Kelley dalam Thelonious Monk: The Life and Times of an American Original (2009) menyatakan Monk belajar secara otodidak untuk mengasah intuisi. Menginjak remaja, Monk sempat mengenyam pendidikan di Stuyvesant High School—sekolah untuk anak berkemampuan khusus—meski tidak lulus.

Sepak terjang Monk dalam dunia jazz bermula ketika ia sering bermain di Minton’s Playhouse pada tahun 1940an. Tak lama setelahnya, Monk memulai debut rekaman bersama Coleman Hawkins Quartet. Sosok Coleman ini pula yang mengenalkan Monk pada industri jazz dan John Coltrane pada 1957.

Label jazz besar di Amerika Blue Note mengendus bakat Monk. Pada 1947, Monk direkrut dan jadi musisi andalannya Blue Note. Hasilnya, Monk mengeluarkan album seri berjudulGenius on Modern Music, Vol. 1 dan Vol. 2 (1952).

Perjalanan karier Monk bukannya tak berliku. Monk digosipkan terlibat konflik panas dengan Miles Davis saat diminta membantu produksi album kelompok Miles Davis and the Modern Jazz Giant. Rumor tersebut muncul karena pada sesi rekaman album, Miles meminta Monk untuk tidak mengisi part-nya saat Miles memainkan solo. Miles, dalam autobiografinya Miles (1989), membantah rumor itu dan menyebutnya "kesalahpahaman."

Baca juga:Yang Mengecewakan dan Menyenangkan di Java Jazz

Monk juga dikritik karena meninggalkan banyak celah dalam permainan solonya yang bertempo lambat, bahkan ada pendapat bahwa Monk adalah "pianis yang inferior." Di samping kritik-kritik seputar permainan, Monk juga digunjingkan karena hal sepele, misalnya bermain dengan topi berbentuk ganjil atau sebab sedikit bicara di atas panggung.

Belum lagi pada 1951, Monk ditangkap Kepolisian New York City akibat dugaan kepemilikan narkoba. Saat ditangkap, Monk sedang bersama pianis jazz Bud Powell. Polisi menduga narkoba itu milik Powell. Dalam proses pengadilan, Monk menolak memberi kesaksian yang bakal memberatkan Powell. Dampaknya, polisi mencabut lisensi kerja Monk sehingga ia tidak bisa tampil di bar-bar New York.

Puncak Karier, Kematian, dan Pengaruh

Karier Monk melejit pada tahun 1955. Ketika bergabung bersama label Riverside, Monk diminta merekam komposisi menggunakan gaya permainan Duke Ellington agar “musiknya dapat diterima penikmat jazz.” Monk tentu tak mengiyakan sepenuhnya. Dengan memadukan keinginan label dan gayanya sendiri, Monk merilis Brilliant Corners (1957).

Seketika album Brilliant Corners membawa Monk dalam popularitas. Publik mengakui kemampuannya dalam mengolah musik jazz. Tak hanya itu, ia mulai rutin tampil di Five Spot—café jazz prestisius di New York—hingga bermain pada panggung besar seperti di Town Hall. Album tersebut juga mengantarkannya menjadi sampul majalah TIME pada 1968, menandatangani kontrak bersama label raksasa Columbia, serta masuk dalam Grammy Hall of Fame.

Infografik thelonious monk

Kariernya mulai melorot pada 1970an. Ia tiba-tiba memutuskan pensiun dari dunia jazz setelah sebelumnya bermain dengan Giant of Jazz. Di tahun yang sama, Monk menderita gangguan jiwa berat sampai maut menjemputnya pada 17 Februari 1982.

Baca juga:Jazz dan Potret Rasisme di Amerika

Walaupun sudah tiada, karya-karya Monk tetap abadi. Sebagian besar lagunya kini masuk repertoar standar musisi jazz seperti, “Round Midnight,” “Straight No Chaser,” “52nd Street Theme,” “Blue Monk,” sampai “Ruby My Dear.” Tak sebatas lagu-lagu ciptaannya, album Monk yang pernah dirilis Blue Note hingga Columbia telah dibawakan ulang oleh banyak musisi dari Idrees Sulieman, Art Blakey, Milt Jackson, Julius Watkins, Sonny Rollins, sampai John Coltrane.

Untuk Indonesia sendiri, sosok Monk telah menginspirasi musisi muda jazz Joey Alexander. Lewat kanal YouTube miliknya, Joey membawakan tujuh nomor ciptaan Monk yang difavoritkan Joey.

Stanley Crouch dalam Considering Genius: Writings on Jazz (2009) menjelaskan, “Monk adalah Picasso-nya jazz; musisi Afro-Amerika pertama yang mengembangkan gaya khas untuk menciptakan elemen musik dengan cara segar.” Sedangkan Sonny Rollins, pemain saksofon, kawan dan murid Monk menyebutkan, “Jika Anda musisi jazz dan Anda berpikir tidak terpengaruh olehnya (Monk), maka Anda sulit dibilang musisi jazz.”

Gaya musik Monk, mengutip David Graham dari The Atlantic, memiliki karakter disonansi yang renyah, kuat, dan kaya ritme. Di samping itu, lagu-lagunya mudah diingat, memikat penggemar musik kontemporer, puritan jazz atau blues, sampai penikmat jazz abangan.

Saya pun paham mengapa kakek saya begitu mencintai Thelonious Monk.

Baca juga artikel terkait MUSISI DUNIA atau tulisan lainnya dari Faisal Irfani

tirto.id - Musik
Reporter: Faisal Irfani
Penulis: Faisal Irfani
Editor: Windu Jusuf