tirto.id - Grammy Awards, penghargaan tertinggi di industri musik, melahirkan dua kutub yang berbeda. Ia diharapkan oleh banyak orang, dijadikan sebagai salah satu puncak karier, namun juga dibenci sebagian yang lain. Trent Reznor, vokalis sekaligus pendiri band Nine Inch Nails, termasuk orang yang paling keras mengkritik ajang yang pertama kali diadakan pada 1959 ini.
"Kenapa Grammy itu tidak penting? Karena penghargaan ini terasa murahan dan akal-akalan, seperti kontes popularitas yang pemenangnya sudah ditentukan oleh orang dalam," katanya pedas.
Sebagai sebuah instrumen dari industri musik, wajah Grammy memang tak selalu cemerlang. Ada banyak kontroversi di sana. Selain isu soal pemenang sudah ditentukan oleh para petinggi dan juri, ada juga isu soal rasisme. Pada 2013, penyanyi Frank Ocean mengemukakan isu ini. Dalam wawancara dengan The New York Times, dia mengeluhkan tentang sistem penghargaan, pemilihan nominasi, juga infrastruktur Grammy yang dianggapnya sudah ketinggalan zaman. Menurut nominator pendatang terbaru terbaik Grammy 2013 ini, pemenang yang dipilih selama ini dominan dari ras kulit putih ketimbang ras lain.
“Sejak aku lahir saja, bisa dihitung berapa orang kulit hitam yang pernah menang,” ujarnya.
Tom Mandel, kritikus musik dari Mic juga sependapat dengan Ocean. Ia menilai Grammy rasis karena hanya punya 13 pemenang kulit hitam, dari total 57 kali penganugerahan yang telah dibuat.
Sarat Kontroversi
Salah satu kontroversi pertama tentang Grammy dibawa oleh Sinead O’Connor, 1991 lalu. Penyanyi yang dikenal luas melalui lagu "Nothing Compares 2 U" ini adalah musisi pertama yang memboikot Grammy. Menurutnya, ajang itu hanya menilai musik dari segi komersil, bukan dari nilai yang sebenarnya. Padahal waktu itu ia dinominasikan untuk tiga kategori: Rekaman Tahun Ini, Performa Vokal Pop Perempuan Terbaik, dan Performa Musik Alternatif Terbaik.
Penolakan dan kritik ini akhirnya disuarakan pula oleh musisi lain. Pada 1996, vokalis utama band Eddie Vedder menganggap menang atau tidak di Grammy sebagai hal yang tak berarti. Dia mengucapkannya setelah Pearl Jam menang dalam kategori Performa Hard Rock Terbaik, mengalahkan Alice in Chains, Primus, Red Hot Chili Peppers, dan Van Halen.
Vokalis band Tool, Maynard James Keenan bahkan tak datang ke malam penganugerahan saat mereka dapat salah satu piala. Alasannya, ia menganggap Grammy hanyalah mesin promosi raksasa untuk industri musik. Datang ke acara itu berarti, “Melayani mereka yang tak mengerti musik, dan tak menghargai seni atau senimannya yang mereka buat."
Deretan artis pemboikot ini terus bertambah, di antaranya band indie Bon Iver, pemenang kategori artis pendatang baru 2012 yang mengalahkan Nicki Minaj dan Skrillex. Justin Vernon, vokalis utamanya tak menyangka kalau jenis musik yang mereka bawakan akan sesuai kategori musik dalam ajang ini. Alasan Bon Ivor melakukan pemboikotan adalah perihal penjurian.
Tak seperti ajang penganugerahan lainnya, Grammy memang tak punya juri tetap macam Oscar, atau dipilih oleh publik secara terbuka seperti People Choice Award atau American Music Award. Ia dipilih oleh dewan yang disebut The Recording Academy. Dewa ini terdiri dari 12 ribu orang lebih di 12 kantor cabang di Amerika serikat. Anggotanya berlatar belakang musik seperti pencipta lagu, produser, komposer, penyanyi, dan music engineering, yang membeli formulir seharga $100 dan telah mengomersilkan setidaknya 12 rekaman di Amerika Serikat.
“Kita tak tahu siapa yang menilai. Dan apa latar belakang mereka memilih pemenang. Maksudku, aku punya kawan yang juri, dan alasannya jadi juri hanya karena dia tak percaya pada juri yang lain,” kata Vernon seperti dikutip dari The New York Times.
Secara teknis penjurian dan penentuan pemenang, Grammy dianggap punya kecenderungan yang aneh. Setiap tahun, waktu penjurian selalu dimulai dari 1 Oktober sampai 30 September. Tapi beberapa nominator tetap menang meski di luar masa penjurian. Macam Album 1989 dari Taylor Swift yang menang di kategori Album Terbaik Tahun ini di Grammy 2016, padahal albumnya dirilis pada 2014.
Karena Grammy Juga Berarti Gengsi, dan Piti
Sebesar apapun kontroversi yang menyelimuti Grammy, tetap saja ajang penghargaan ini banyak dianggap sebagai puncak pencapaian di industri musik. Sebab, seperti yang dikatakan Sinead O’Connor, ada nilai komersil di balik trofi. Bagi yang ingin terlibat dalam industri dan kaya raya karenanya, maka Grammy adalah jawabannya.
Pada 2012 silam, Forbes menuliskan artikel tentang nilai ekonomi di balik penghargaan Grammy. Yang paling kentara adalah kenaikan honor para musisi maupun produser. Naiknya pun tak sembarangan, bisa mencapai 300 persen.
Taylor Swift pertama kali memenangkan Grammy pada 2010. Setelahnya, rata-rata kenaikan pendapatan manggungnya mencapai 380 persen. Ia menaikkan banderol sampai 380 persen, dari $125 ribu jadi $600 ribu per malam. Bahkan jadi $1,1 juta di tahun 2011, setelah koleksi Grammy-nya menggemuk.
Bruno Mars pun demikian. Pemenang Grammy pada 2011 di kategori Best Male Pop Vocal ini mengalami kenaikan rata-rata pendapatan konser sebesar 55 persen. Harga panggung Bruno Mars per malam dipacak di angka $130 ribu naik 55 persen jadi $202 ribu. David Banner, setelah dapat Grammy pada 2009, mematok kenaikan tarif 100 persen. Sedangkan Jim Jonsin, dapat Grammy pada 2009, tarifnya memproduser album naik 90 persen.
"Grammy membuat citramu naik," kata David Banner. "Sebagai produser yang tak tampil di depan kamera, penghargaan Grammy besar sekali arti dan efeknya."
Bicara soal Grammy, ada kabar baik yang perlu disebarkan. Musisi Joey Alexander kembali masuk nominasi Grammy 2017 untuk kategori Best Improvised Jazz Solo melalui lagu "Countdown". Di kategori ini, pianis berumur 13 tahun harus bersaing dengan nama lain yang lebih senior, yakni Ravi Coltrane (In Movement), Fred Hersch (We See), Brad Mehldau (I Concentrate On You), dan John Scofield (I'm So Lonesome I Could Cry).
Tahun lalu, Joey gagal menang. Tapi kesempatan itu masih terbuka untuk tahun depan. Kalau pun tidak menang, kembali masuknya Joey dalam nominasi Grammy akan semakin mengukuhkan namanya di dunia internasional sebagai pianis jazz muda dari Indonesia.
Semoga beruntung, Joey!
Penulis: Aulia Adam
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti