Menuju konten utama

Yang Mengecewakan dan Menyenangkan di Java Jazz

Festival Java Jazz kembali digelar. Ada beberapa hal yang mengecewakan, seperti jadwal yang molor hingga lagu andalan yang tak dimainkan. Namun, festival ini masih berhasil menjadi tujuan tahunan para penikmat musik.

Yang Mengecewakan dan Menyenangkan di Java Jazz
Penyanyi dan juga seorang pelopor musik rap Indonesia, Iwa K tampil Jakarta Internasional BNI Java Jazz Festival 2017 di JIExpo Kemayoran, Jakarta, Sabtu (4/3).

tirto.id - Sebuah festival musik rupa-rupanya tak hanya menghadirkan keriangan, namun juga kekecewaan. Begitu pula di Java Jazz 2017. Di gelaran ke 13 festival musik terbesar di Indonesia ini, ada beberapa kekecewaan yang mampir.

Pertama, perkara Iwan Fals. Tentu banyak orang penasaran dengan hadirnya Iwan dalam sebuah panggung jazz. Rasa penasaran yang sama juga pernah lahir saat tampilnya Slank (2009) dan JKT48 (2014).

Iwan tampil di hari terakhir Java Jazz, di jam terakhir pula. Di lembar jadwal yang tertera di meja informasi, Iwan akan tampil pukul 11 malam. Selepas menonton Mocca, saya dengan segera beranjak ke panggung Iwan. Saat saya datang, sudah ada puluhan orang menyemut di bibir panggung. Mereka memakai baju merah, bertuliskan OI, singkatan Orang Indonesia, sebutan untuk penggemar Iwan.

Beberapa orang tampak melakukan cek suara di atas panggung. Kegiatan ini dilakukan hingga lewat dua puluhan menit dari pukul 11 malam. Iya, jadwal Iwan molor. Tapi ini bukan yang paling parah. Di panggung Chick Corea malam sebelumnya, pertunjukan molor hingga 1 jam. Ini jelas mengecewakan untuk sebuah festival yang berusia lebih dari 1 dekade. Waktu 13 tahun seharusnya menjadi jaminan untuk kelancaran produksi, termasuk memastikan jadwal berjalan dengan tepat waktu.

Saat Iwan muncul, banyak penonton yang tadinya duduk di lantai langsung menghambur mendekati panggung. Kharisma pria yang pernah mendapat anugerah Asian Heroes dari majalah TIME ini memang luar biasa. Meski rambutnya memutih dan penampilan garangnya nyaris tak bersisa, Iwan bisa memukau siapa saja.

"Wah ramai juga, ya. Tadi di belakang saya sempat nanya, 'Apa ada penontonnya? Kan besok pada kerja'," katanya sembari tersenyum lebar.

Lagi-lagi Iwan yang sederhana. Ia mungkin banyak mendengar penggemar yang rela datang jauh untuk menontonnya. Tapi tetap saja itu tak mengubahnya. Ia tetap sosok sederhana yang murah senyum. Hangat. Menyenangkan. Walau mungkin Soeharto tak setuju dengan pendapat itu.

Lagu pertama dimainkan: "Yang Terlupakan". Penonton langsung bernyanyi bersama.

Lalu di mana kekecewaannya? Setelah lagu "Izinkan Aku Mencintaimu", "Asik Gak Asik", lagu baru "Tanam Siram Tanam", barulah kekecewaan itu muncul. Itulah masa di mana Iwan dan rekan satu bandnya memaksakan diri untuk memainkan lagu dalam aransemen jazz. Iwan dan personel grupnya, termasuk gitaris terkenal Toto Tewel, seperti terlalu terbebani dengan terma jazz. Mereka seperti merasa harus memainkan setidaknya satu lagu dengan aransemen jazz. Sayang, pilihannya salah, yaitu lagu "Manusia 1/2 Dewa".

Semua penggemar Iwan tahu: ini adalah lagu keluh kesah seorang rakyat kecil, penuh dengan kegundahan, sekaligus kedongkolan. Ritmenya yang pelan membuat aura kegusaran dan protesnya makin terasa. Bisa dibilang ini adalah generasi terakhir lagu protes Iwan, sebelum Iwan yang dulunya api menjelma jadi pohon beringin yang menyejukkan dengan lirik-lirik lagu penuh kebijaksanaan.

Lagu yang sedemikian kuat itu kemudian dimainkan dengan ritme free jazz. Tentu saja hasilnya adalah ambyar. Tidak jelek, tapi tidak pas. Saya tidak sendiri. Orang di sebelah saya, seorang penonton dari Purwokerto, juga merasakan keanehan yang sama.

"Dadine malah wagu ngene [Jadinya malah aneh begini]," katanya pendek.

Iwan seharusnya tak perlu terbebani dan merasa perlu mengaransemen lagunya dalam format jazz. Bagi para penggemarnya, ia adalah manusia setengah dewa. Lagipula, "Bongkar" yang sedemikian menghantam itu dimainkan dengan format yang sederhana kan?

Selain itu, andai lagu pilihannya tepat, bisa jadi hasil improvisasinya tak akan seburuk itu. Ada lagu-lagu seperti "Oemar Bakri", "Bento", atau "Hio" yang lebih rancak dan pasti lebih enak untuk diutak-atik. Dua lagu terakhir itu akhirnya memang dimainkan dengan mengundang pemain terompet Maurice Brown dan pemain saksofon Kirk Whalum. Dengan tambahan dua alat musik tiup itu, penampilan Iwan jadi tambah trengginas. Penonton malam itu bersenang-senang. Begitu pula Iwan yang tampak sumringah, walau katanya menahan kantuk.

Set Iwan ditutup dengan "Kuda Lumping", beberapa menit selepas pukul 1 malam, ditimpali oleh Iwan yang menari sembari tersenyum lebar.

Kekecewaan lain, selain Iwan dan molornya banyak jadwal, adalah saat menyaksikan Blood, Sweat & Tears (BS&T). Saya pertama mengenal band ini dari lagu blues sendu berjudul "I Love You More Than You'll Ever Know". Mendengar mereka akan datang ke Indonesia untuk kali pertama, saya tentu antusias.

Band ini dibentuk oleh musisi Al Kooper serta 7 orang kawan bermusiknya. Mereka merilis album perdana Child Is Father to the Man pada 1968. Setelah album ini dirilis, Al Kooper keluar dari band dan memilih menjadi pengembara dunia musik. Salah satu jasanya adalah menemukan band bernama Lynyrd Skynyrd dan jadi produser tiga album pertamanya.

Setelah ditinggal Al Kooper, BS&T masih moncer. Album keduanya Blood, Sweat & Tears yang dirilis pada Desember 1968 berhasil meraih Album of the Year di ajang Grammy 1970, mengalahkan album Abbey Road milik The Beatles. Mereka bongkar pasang personel, termasuk Jaco Pastorius, pemain bass muda yang kemudian jadi amat masyhur. Total jenderal, grup ini punya sekitar 156 mantan personel.

Band ini memang terakhir merilis album pada 1980. Namun, bukan berarti penggemarnya tak tersisa. Saya masih melihat api semangat di mata banyak penggemarnya malam itu. Termasuk pada Andi (47 tahun), yang datang sendirian dengan ransel dan berjalan tergopoh, berharap tak terlambat. Dia duduk di belakang saya di baris ketiga penonton.

Malam itu BS&T juga terlambat sekitar 30 menit dari jadwal. Penampilan mereka prima. Vokalisnya sekarang adalah Bo Bice, pria Southern jebolan American Idol musim keempat. Bedanya, sudah tak ada sisa rambut gondrong dan brewok. Ia tampil dandy dengan rambut spike dan cambang yang dipapras habis. Setil.

"Band ini sudah berusia 50 tahun. Album pertamanya direkam pada 1967, pas setengah abad lalu. Lagu-lagunya banyak, begitu pula personelnya. Tapi musicianship mereka yang membuat kalian mau datang, terima kasih," kata Bo Bice setelah lagu "More & More" dimainkan.

Mereka membawakan nyaris semua lagu hitsnya. Mulai "Sometimes in Winter", "Smiling Phases" yang diikuti solo drum Dylan Elise, "God Bless the Child", "And When I Die", "Spinning Wheel", dan tentu saja "You Make Me So Very Happy". Sayangnya: nyaris. Sebab yang paling ditunggu-tunggu, "I Love You More Than You'll Ever Know" tidak dimainkan.

Tak ada encore. Tak ada teriakan dari penonton untuk tambah lagu. Personel band pamit, melambaikan tangan. Penonton pada bingung. Saya menengok ke belakang, ingin menyaksikan wajah Andi. Dia bengong.

"Lho, kok lagu hitsnya malah enggak dimainkan sih?" tanya pria asal Madiun ini.

Saya cuma tersenyum pahit dan mengangkat bahu. BS&T ternyata memang tak memainkan "I Love You More Than You'll Ever Know" yang merupakan salah satu lagu terbesarnya. Ini serupa dengan kamu menonton konser Guns N Roses tapi "November Rain" tak dimainkan, atau menonton Slank tapi mereka tak memainkan "Terlalu Manis", atau menonton Rhoma Irama tapi tak ada dendang "Judi". Hambar!

Andi, saya, dan puluhan penonton lain masih duduk di bangku masing-masing. Mengharapkan mereka kembali muncul dan memainkan senjata pamungkasnya itu. Tapi nihil. Yang muncul malah pembawa acara yang mengatakan kalau pertunjukan sudah usai.

"Oalah, jamput. Tiwas dienteni [Oalah, sialan. Padahal sudah kadung ditunggu-tunggu]," kata Andi memaki. Saya ngakak.

INFOGRAFIK Java Jazz 2017

Malam Ini Indah

Meski demikian, Java Jazz 2017 masih amat layak untuk dirayakan. Membuat festival musik berkesinambungan bukanlah pekerjaan mudah, apalagi di negara yang dilanda banyak masalah seperti Indonesia. Di masa yang nyaris minim festival musik kelas dunia dari Indonesia, Java Jazz muncul selama 13 tahun.

Banyak orang menganggap festival tahun ini kurang begitu semarak. Tapi pecinta jazz tak peduli, sebab penyelenggara berhasil mendatangkan Chick Corea Elektric Band. Ini adalah kedatangan pertama pianis yang dianggap membawa banyak perubahan vital dalam jagat jazz modern ini. Tak heran kalau penonton sudah memenuhi hall D2 sekitar 10 menit sebelum pertunjukan dimulai. Sayang memang, pertunjukan pertama mereka di hari Sabtu (4/3) molor sekitar satu jam.

Mereka memainkan lagu-lagu terkenalnya, semisal "CTA", "Silver Temple", "Got a Match", hingga "Trance Dance" yang jadi pembuka. Chick Corea, pria bernama asli Armando Anthony Corea ini, tampil dengan mengenakan flannel kotak-kotak dengan perpaduan warna merah, putih, biru. Rambutnya keperakan, maklum usianya sudah 75 tahun. Tapi masyaallah, jemarinya begitu lincah menari di atas tuts keyboard, terlihat tampak mudah. Macam profesor matematika ketika diajukan pertanyaan 1+1.

Selain kedatangan Chick Corea yang patut dirayakan, kita patut pula merayakan nama-nama yang asing sebelumnya. Menyaksikan mereka tampil adalah hil yang nyaris mustahal jika tak dalam Java Jazz. Nama seperti Richard Bona and Mandekan Cubano, misalkan. Mereka memainkan musik yang menguarkan aroma Afro-Kuba. Musik yang membuatmu tak tahan untuk tak berjoget. Rancak. Lengkap dengan perkusi yang ritmik dan departemen tiup yang eksotis. Mereka membawakan komposisi seperti "Jokoh Jokoh", "Santa Clara", juga "Janjo La Maya".

Yang juga patut dirayakan adalah tampilnya tiga nama besar di jagat hip-hop dan rap Indonesia: Iwa K, Sweet Martabak, dan Neo. Mereka mencapai puncak ketenaran di era 90-an. Nama mereka kembali ramai diperbincangkan saat terjadi gonjang-ganjing dalam dunia hip-hop Indonesia beberapa waktu silam. Syukurlah, keramaian itu akhirnya membawa mereka kembali aktif dan tampil bersama.

Sabtu malam itu, anak-anak 90-an bereuni dan bersuka ria menyanyikan lagu yang wara-wiri di radio, semisal "Tiddit", "Borju", "Nombok Dong", "Bebas", dan dipungkasi oleh "Malam Ini Indah" yang dinyanyikan beramai-ramai oleh tiga kelompok musik ini.

Malam itu memang indah. Jika mengesampingkan beberapa gangguan menyebalkan, Java Jazz 2017 masih berhasil jadi festival yang menjelma sebagai tempat bersenang-senang banyak orang. Sesuai namanya, festive: perayaan, pesta.

Penontonnya begitu beragam. Mulai dari pasangan muda, kelompok kawan, orang tua membawa serta anaknya yang asyik berlarian gembira, hingga manula yang tampak tak mau kalah dengan yang muda. Maka, wajar kalau banyak penonton terbawa suasana saat Iwa K, Sweet Martabak, dan Neo menyanyikan lagu anthem milik Iwa, "Malam Ini Indah".

Malam ini indah penuh dengan warna

Yang selalu menghiasi sudut kota

Malam ini indah penuh dengan cahaya

Yang selalu menerangi sudut kota

Baca juga artikel terkait JAVA JAZZ 2017 atau tulisan lainnya dari Nuran Wibisono

tirto.id - Musik
Reporter: Nuran Wibisono
Penulis: Nuran Wibisono
Editor: Maulida Sri Handayani