tirto.id - Tiga tahun silam, popularitas band Kelompok Penerbang Roket (KPR), trio hard rock asal Jakarta, sedang menjulang tinggi. Nama mereka rutin mengisi tiap pementasan, juga lagu-lagunya ramai diputar di mana saja. Singkatnya, Kelompok Penerbang Roket adalah eksponen panas kancah musik arus pinggir waktu itu.
Tak sulit untuk mencari alasan mengapa band yang berdiri pada 2011 ini gampang menarik atensi para pegiat indie. Mereka menawarkan sesuatu yang dirindukan anak-anak muda: musik rock bertenaga yang berkelindan dengan lagu-lagu seputar protes sosial dan aneka macam keliaran. Kelompok Penerbang Roket serupa gabungan entitas antara AKA, Duo Kribo, dan Led Zeppelin.
Ihwal tersebut bisa disaksikan lewat dua album yang mereka rilis sekaligus pada 2015, HAAI dan Teriakan Bocah. Kedua album ini sama-sama memperoleh respons positif dari kritikus dan dirayakan gegap gempita oleh para penggemar.
Menariknya, dari sepasang album yang mereka rilis, satu album bertajuk HAAI, sengaja dibikin untuk memberikan penghormatan kepada band legendaris tanah air: Panbers.
“Kenapa Panbers? Jujur, gue mengidolakan Panbers dan Om Sido. Mungkin karena basically gue banyak mendengarkan musik 70an, sampai gue pernah membatasi enggak mau dengerin musik dari 90an ke atas. Begitu juga Viki. Itu dasar yang ngebuat kami pengen banget cover lagu band legend Indonesia, Panbers yang akhirnya kami pilih,” cerita Coki, bassist sekaligus vokalis KPR, sebagaimana diwartakan Provoke!.
Sedangkan Asido Panjaitan, drummer Panbers, mengaku tidak menyesal memberikan izin kepada Kelompok Penerbang Roket untuk membawakan lagu-lagu Panbers.
“Saya nggak usah banyak bicara lagi. Everything is OK and the best. Saya baru mendengarkan sekali mereka dalam rekamannya, tapi ternyata hati saya ternyata tersentak karena mereka itu bisa dan cocok [merekam ulang lagu Panbers]. Jadi, rasanya mereka sudah pas membawakannya,” Sido berkata.
Mencoba Mendobrak Koes Plus
"Panbers" merupakan singkatan dari Panjaitan Bersaudara. Band ini digawangi empat orang kakak-adik: Benny, Hans, Doan, dan Asido Panjaitan. Keluarga Panjaitan dikenal suka bermain musik. Ayah mereka, J.M.M. Panjaitan, merupakan pemain biola.
Tumbuh di keluarga yang bermusik, mau tak mau, mendorong keempat anak ini ikut mempelajari musik. Benny, misalnya, mulai belajar gitar saat masih belia. Kecintaan pada musik akhirnya mendorong mereka membikin band bernama Tumba Band, yang dalam bahasa Batak berarti ‘irama menari.’
Kiprah Tumba Band tak berlangsung lama. Selain faktor dibikin hanya untuk senang-senang, pekerjaan sang ayah sebagai direktur bank membuat keluarga Panjaitan harus berpindah dari satu kota ke kota lainnya. Usai tinggal di Palembang, di mana Tumba Band dibentuk, pada 1966, mereka pergi ke Surabaya.
Tinggal di kota baru tak menyurutkan hasrat anak-anak Panjaitan untuk bermusik. Di Surabaya, mereka kembali membikin band. Di momen inilah nama “Panbers” dipilih. Alasannya: untuk menegaskan bahwa mereka merupakan kakak-beradik keluarga Panjaitan. Sementara kata ‘s’ diimbuhkan supaya terdengar seperti Rolling Stones atau The Beatles.
Dengan bendera Panbers, mereka memainkan repertoar lagu-lagu populer Batak dan rutin menyambangi pesta sekolah, pernikahan, hingga panggung-panggung THR (Taman Hiburan Rakyat). Harapannya: mereka bisa meniru jejak sang idola, Koes Plus, yang lebih dulu moncer.
Lagi-lagi perjalanan Panbers di Surabaya hanya sebentar. Pada 1971 mereka pindah ke Jakarta. Kepindahan ke Jakarta juga menjadi momentum bagaimana anak-anak Panjaitan memandang urusan musik; apakah cuma untuk senang-senang atau jadi bekal hidup? Apalagi sang ayah meminta mereka memprioritaskan sekolah.
“Ayah agak diktator, tapi beliau selalu memberikan dorongan. Kalau mau hidup dengan musik, kalian bisa mencari uang sendiri dari musik, karena ayah tahu bahwa musik itu menjanjikan,” kenang Benny tentang sosok ayahnya, mengutip Republika.
Pilihan pun sudah diambil. Mereka ingin bermusik secara serius. Menjadikannya tak sekadar hobi, melainkan juga profesi. Maka, dari sini, anak-anak Panjaitan mulai pasang kuda-kuda dengan membikin lagu sendiri sembari memantapkan musikalitas mereka.
Gayung bersambut. Nama Panbers perlahan mencuri atensi publik Jakarta. Dari yang awalnya hanya bermain di lingkup pesta, mereka diundang ke acara berskala nasional, salah satunya lewat program “Kamera Ria” yang diampu TVRI. Di sini, mereka membawakan lagu-lagu ciptaan sendiri seperti “Akhir Cinta,” “Senja Telah Berlalu,” hingga “Maafkan Daku.”
Nama Panbers kian melambung kala mereka diundang tampil di gelaran “Djambore Band Djakarta 1970.” Kritikus musik, almarhum Denny Sakrie, dalam “Mesin Waktu (1) Djambore Band Djakarta 1970” mengatakan pesta musik ini diadakan di Istora Senayan, pada 7 November 1970, dengan jumlah penonton yang hadir sekitar tiga ribu orang. Denny menyebut, Djambore Band adalah perhelatan musik terbesar yang “punya magnet luar biasa” di eranya.
Dalam Djambore Band, Panbers bersanding dengan band-band ternama macam The Candies, Bhajangkara Band, The Rhadows, serta Koes Plus. Denny mencatat, Koes Plus memang “merampas perhatian penonton lewat lagu-lagu karya Tonny Koeswoyo,” namun penampilan Panbers tak kalah memikat.
Usai tampil di gelaran tersebut, Panbers kian percaya diri. Di waktu bersamaan, Dick Tamimi, pendiri Dimita Molding Industries, perusahaan rekaman piringan hitam, yang mencium potensi Panbers lantas mengajak rekaman. Pada 1971, debut album mereka yang bertajuk Kami Tjinta Perdamaian rilis ke khalayak.
Respons publik meriah. Album ini laris di pasaran dengan “Akhir Cinta” sebagai lagu andalan. Keberhasilan debut tersebut tak bisa dilepaskan dari dukungan Dick Tamimi yang membebaskan Panbers mengolah kreasinya. Setelah album pertama keluar, jalan Panbers makin mulus yang dibuktikan dengan lahirnya macam track “Pilu,” “Kisah Cinta Remaja,” “Cinta Abadi,” sampai “Hidup Terkekang.”
Tak cuma menyanyikan lagu pop saja, Panbers pun tak lupa dengan akar Batak mereka dengan memasukkan “Masihol Ahu” ke dalam materi rekaman. Ini dianggap sebagai langkah yang berani, sebab saat itu belum ada rekaman lagu Batak.
“Ternyata sambutan orang Medan luar biasa. Kami main di Stadion Teladan, di mana-mana. Saya masih ingat, Stadion Teladan sampai jebol. Kami berpikir, bangga sekali kami sebagai orang Batak,” jelas Benny.
Sebagaimana band yang mulai terkenal pada umumnya, Panbers juga tak luput dari omongan, bahkan cercaan. Panbers seringkali disebut sebagai “band kampungan” hanya karena mereka tak membawakan lagu-lagu band luar, seperti kebanyakan band-band pada masa itu.
Namun, Panbers cuek bebek. Mereka tetap melaju dan tak peduli omongan dari luar. Bagi Panbers, yang terpenting adalah bermusik dengan sikap dan keyakinannya sendiri. Hasilnya pun tokcer: Panbers menjelma jadi band besar di Indonesia, dan mungkin bersanding dengan Koes Plus.
Punya DNA Rock
Karya-karya Panbers identik dengan nuansa sendu, sentimentil, dan melankolis. Lagu-lagu mereka banyak berkisah tentang romantisme cinta yang liris hingga balada anak manusia yang kurang beruntung. Sejak awal, Panbers hampir tak pernah bergeser dari pakem itu.
Namun, tak semua karya Panbers lekat dengan hal yang menye-menye. Beberapa di antaranya bahkan keluar dari pola itu. Panbers bisa menggila dan meliar dengan begitu mantap. Ihwal ini pernah dicatat kritikus musik, almarhum Denny Sakrie, tatkala menyimak Panbers tampil di hajatan “Djambore Band.”
“[...] Walau mereka menyebut diri sebagai band pop, tapi aksi panggungnya mirip rockers. Terutama drummer Asido Panjaitan yang kerap berakrobat: nendang cymbal pakai kaki atau berdiri di atas kursi drumnya,” terang Denny.
Pernyataan Denny tak salah. Anda bisa simak jiwa rock bengal mereka, misalnya, di nomor “Djakarta City Sounds.” Di track ini, lengkingan vokal Benny begitu menggelegar bak gemuruh halilintar. Disertai raungan gitar yang saling bersautan dengan riuh klakson mobil dan irama ondel-ondel, “Djakarta City Sounds” terdengar makin trippy dan surreal.
Selain itu, ada pula komposisi berjudul “HAAI” yang lebih kompleks dan mengerikan. Di sini, gebukan drum Asido sangat ritmis—terlebih di bagian solo—yang mengingatkan kita pada sosok Jim Gordon dari Derek and the Dominos. Belum lagi, Panbers memasukkan bebunyian sitar dan aroma psikadelia yang membuat “HAAI” terdengar seperti lagu dari George Harrison yang khusus dibikin untuk Pink Floyd. Candu!
Dua lagu di atas hanyalah secuil contoh bagaimana Panbers juga piawai meramu rock. Selanjutnya, Anda bisa dengarkan “Let Us Dance Together,” “Bye Bye,” maupun “Colour of Your Heart” yang sama-sama bernas dan bertenaga. Dari sini, kelak, Anda bisa mengucap:
“Like Beatles song, I love Rolling Stones, I love Led Zeppelin but also The Panbers I love.”
Editor: Suhendra