tirto.id - Pahlawan-pahlawan super dalam semesta DC bisa dibilang jauh lebih ampuh memantik imajinasi. Karakter superhero-nya kebanyakan datang dari luar Bumi, tidak manusiawi dan rentan seperti karakter-karakter utama dari Marvel.
Superman, Supergirl, Green Lantern, Starfire, dan J’onn J’onzz adalah alien. Wonder Woman dan Aquaman datang dari dunia-yang-belum-terjamah manusia. Mereka membawa latar belakang cerita yang bikin anak-anak di bawah 10 tahun bertualang bebas ke dunia fantasi.
Sementara Iron Man, Captain America, Black Widow, Hawkeye, SpiderMan, atau Hulk adalah manusia biasa yang hidup di Bumi—yang dapat kekuatan super dari uang, zat radio aktif, atau bahkan sama sekali tak punya kekuatan super. Konflik mereka biasanya lebih kompleks karena konspirasi di pemerintah, Hydra, dan S.H.I.E.L.D. Itu sebabnya Marvel Cinema Universe (MCU) cenderung lebih berhasil merenggut perhatian para penonton dewasa.
Kecuali Wonder Woman, film-film dari DC Extended Universe (DCEU) loyo di bioskop. Naskah dan presentasinya ramai menuai kritik. Dua film perdananya, Batman V Superman dan Suicide Squads memang disambut antusias tinggi dari para penggemar DC. Tapi tak satu pun yang memberi kepuasan pada penonton. Suicide Squads juga punya rating anjlok, cuma 25 persen, lebih parah dari Batman V Superman yang dapat 28 persen.
Bahkan ketika semua superhero utamanya bersatu—termasuk Wonder Woman—dalam Justice League, DC tetap kewalahan menyajikan tontonan menarik. Reputasi buruk ini yang bisa bikin calon penonton Aquaman, tak membawa ekspektasi apa-apa ketika membeli tiket Aquaman, film terbaru dari DCEU.
Hasilnya? Lumayan mengejutkan.
Film Aquaman tak bisa dibilang juga bagus, dan James Wan, sang sutradara, juga tak sepenuhnya berhasil memperbaiki reputasi DC. Naskahnya juga masih belum kuat. Namun, ada banyak hal yang berhasil di film ini. Masih layak ditonton, dan anehnya… memberikan after taste yang menyenangkan.
Hal pertama yang paling menonjol adalah keputusan Wan—sutradara kelahiran Malaysia yang terkenal sebagai Bapak Semesta The Conjuring dan Saw—untuk membuat Aquaman tampil ekstra, seekstra-ekstranya. Petualangan Arthur Curry (Jason Momoa) si manusia separuh bangsa Atlantis diraciknya dengan banyak sekali referensi.
Ada Kaiju bawah laut (suaranya diisi Julie Andrew dari The Sound of Music) yang dirujuk dari Godzila; Adegan lari dikejar-kejar musuh di atap rumah seperti yang sering muncul dalam film-film Bond atau Mission Impossible; ‘Polisi Atlantis’ yang didesain dengan pakaian robot a la Power Rangers; Masuk ke inti bumi dan perjalanan di gurun Sahara macam Indiana Jones; Atlantis yang didesain canggih macam dunia-dunia utopis seperti dalam Star Trek; bahkan ada adegan romantis khas Mamamia yang membalut Arthur dan love interest-nya Mera (Amber Heard) di Sisilia yang mirip Kolakairi.
Pilihan ini tergolong berani, karena tumpukan plot yang terlalu banyak dan berbelit-belit berpotensi bikin penonton susah mengikuti cerita. Namun, James Wan membuat cerita ini seringan-ringannya. Konflik utama Aquaman adalah kecemburuan Orm (Patrick Wilson), adik Arthur (dari ibu yang sama tapi ayah yang beda) yang menginginkan takhta milik sang kakak. Orm merasa lebih pantas karena ia keturunan murni bangsa Atlantis.
Sementara konflik selingannya: Arthur tak percaya diri untuk jadi Raja Atlantis, dan jikalaupun ingin, ia harus mencari Trisula Keramat yang terkubur bersama raja pertama Atlantis. Jadi, tak susah untuk mengikuti plotnya.
Namun, konflik sederhana itu juga bikin petualangan ini mudah tertebak. Belum lagi, referensi yang bertumpuk berpengaruh pada durasi film yang jadi panjang. Karakter-karakter dalam Aquaman jadi tak punya banyak ruang untuk digali. Motivasi mereka lemah, termasuk Arthur sendiri. Ia ditampilkan Wan sebagai karakter yang kocak, maskulin, dan punya wawasan yang luas, tapi tak lebih dari itu.
Kita tak tahu apa pekerjaannya, mengapa ia ingin memakai kekuatannya untuk kebajikan, dan cenderung tak takut identitasnya terbuka pada publik. Satu-satunya sifat Arthur yang digali adalah latar belakangnya sebagai anak haram Ratu Atlantis.
Naskah sederhana itu akhirnya dibalut Wan dengan banjir efek CGI. Tak cuma menumpuk banyak-banyak plot dengan tumpukan referensi, ia juga jor-joran menggali Atlantis, dan semua adegan tarung di film ini. Editannya memang belum terlalu rapi, terutama pada wajah Temuera Morrison (yang jadi ayah Arthur) di awal-awal film, tapi sinematografinya cukup rapi dan detail. Beberapa adegan tarung ampuh (terutama adegan tarung Nicole Kidman di rumah keluarga Curry) menaikkan adrenalin, meski efek CGI-nya amat kentara.
Namun, yang paling menghibur dari menonton petualangan Arthur adalah keberanian James Wan untuk tampil ekstra. Ia tak menghadirkan naskah ambisius yang coba menyaingi kesuksesan film-film MCU. Wan justru menampilkan film yang kuat nilai fantasinya. James Wan cukup membuat penontonnya masuk dunia yang penuh fantasi, dan lumayan meninggalkan bekas.
Editor: Suhendra