tirto.id - Justice League bercerita tentang persatuan manusia super Wonder Women, Aquaman, The Flash, Batman, dan Cyborg melawan si jahat Steppenwolf (dan pasukannya) yang ingin mendatangkan kiamat di bumi. Ironisnya, persatuan kelima manusia super ini diceritakan melalui plot bertele-tele dan karakterisasi pas-pasan.
Menurut laporan The Hollywood Reporter, Justice League akan meraup 110 juta dolar AS di minggu pembukaan di pasar Amerika Utara. Walaupun tidak fenomenal, angka ini sudah dapat dikatakan memuaskan. Namun, jika dibandingkan dengan film pasukan superhero milik Marvel, The Avengers, angka ini masih kalah telak. The Avengers (2012) yang pertama meraup keuntungan hingga $207,4 juta, kemudian sekuelnya pada tahun 2015 berhasil mendapatkan $191,3 juta.
Namun, bukan berarti animo yang kuat di awal akan terus bertahan hanya karena ini film soal pasukan superhero. Dalam kasus Batman vs Superman, menurut analisis Forbes, pertarungan dua pahlawan (plus kemunculan Wonder Woman) dengan prinsip moral yang berlawanan ini akhirnya kehilangan penonton secara drastis di minggu kedua (penjualan tiket menurun 68,4 persen) setelah dihantam derasnya kritik terhadap plot dan karakterisasi film oleh situs-situs agregator skor kritikus, fans, dan warganet.
Baca juga: Tambang Uang dari Pahlawan Super
Saat ini rating Justice League di Rotten Tomatoes hanya 37 persen. Dulu Batman vs Superman mendapatkan skor 27 persen. Ditambah lagi, kritik pedas terhadap plot dan karakter Justice League juga sudah mulai berhamburan. Lalu, apakah Justice League juga akan kehilangan penonton di minggu keduanya layaknya Batman vs Superman? Apakah ini akan menjadi kesalahan yang sama untuk Zack Snyder? Mari kita lihat.
Plot Justice League membuat kita cepat-cepat ingin pulang saking gagalnya film ini membingkai klise tentang sepak terjang manusia super melawan kejahatan dalam alunan cerita yang terstruktur, seru, dan menyenangkan. Soal karakterisasi, JL juga kedodoran membangun keunikan cerita karakter-karakter segar—The Flash, Aquaman, Cyborg—yang belum difilmkan secara khusus oleh DC Universe saat ini. Zack Snyder seakan belum move on dari Batman vs Superman atau film Superman-nya dulu.
Alih-alih fokus dalam cerita soal tiap anggota dan prinsip solidaritas yang mendasari Justice League, film ini justru didominasi dengan melankoli kematian Superman. Tak hanya itu, romantisasi berlebihan karakter Superman juga menjadi benang merah yang akhirnya membuat keseluruhan cerita menjadi kusut.
Tak mengherankan jika frasa “Superman is dead” berulang kali diutarakan. Kematian Superman digambarkan menghancurkan simbol harapan, kebajikan dan keamanan masyarakat dunia. Atmosfer keputusasaan dibangun sorotan atas kehidupan sehari-hari penduduk Kota Metropolis; seorang pengemis yang terlantar di ujung jalan dan ekspresi ketakutan seorang ibu dan anak yang terlibat dalam sebuah perkelahian. Selain itu, monumen pahlawan dengan patung Superman pun telah hancur berantakan.
Kosongnya posisi Superman dimanfaatkan oleh Steppenwolf untuk memulai sebuah misi yang tujuannya tak lagi mengagetkan: menghancurkan bumi. Strategi Steppenwolf adalah menggambungkan tiga kubus kuno berisi kekuatan mahadahsyat dan memanggil pasukan Parademon untuk menciptakan kekacauan. Steppenwolf punya beberapa motif: membangkitkan induk segala kejahatan, keinginan untuk diakui, balas dendam (karena dulu kalah perang lawan pasukan Atlantis, Amazon, dan manusia), hingga menciptakan kehancuran total di muka bumi. Namun, yang paling menonjol adalah obsesi dia terhadap penghancuran - bumi dan segala isinya, benda mati ataupun makhluk hidup -yang diilustrasikan lewat efek CGI yang mendominasi layar.
Tak mengagetkan, Batman dan Wonder Woman berhasil mengetahui adanya rencana invasi ini. Dibentuknya Justice League menjadi satu-satunya cara mencegah kehancuran dunia.
Baca juga: Kesuksesan Wonder Woman Taklukkan Batman dan Superman
Proses membujuk Aquaman, The Flash, dan Cyborg agar mau direkrut pun dimulai. Di titik ini, kedangkalan eksplorasi karakterisasi oleh Sutradara Zack Snyder mulai terlihat. Konstruksi latar belakang karakter didominasi oleh pameran kekuatan super mereka. Kira-kira begini cara Synder membangun karakter di Justice League:
Aquaman? Seorang pria berotot dengan tubuh dihiasi tato, bisa mengendalikan air, dan membawa senjata mirip garpu rumput. Pribumi Atlantis. Karakternya terjebak antara ingin menjadi sosok pahlawan yang serius vs serius tapi lucu.
The Flash? Seorang remaja pelari cepat, cerewet, dan butuh teman. Ayahnya sedang menjalani hukuman di penjara. Daddy issues.
Cyborg? Mantan atlet rugby yang dikira telah mati. Kekuatannya? Meretas komputer dan bertransformasi menjadi tameng dan senjata. Ia membenci keputusan sang ayah yang menyelamatkannya dengan implan tubuh robot dan otak komputer.Lagi-lagi, daddy issues.
Sangat simplistik. Konflik personal yang dimiliki oleh para karakter ini hanya dikenalkan oleh Synder pada level permukaan saja, tanpa ada eksplorasi lanjutan yang menjabarkan prinsip ‘the good’ and ‘the bad’ untuk para karakter pahlawan maupun penjahat. Padahal ini biasanya yang menjadi elemen utama film-film superhero yang sukses dipuji kritikus seperti Wonder Woman atau Batman: The Dark Knight.
Melihat minimnya eksplorasi karakter ini, Zack Snyder seperti berasumsi [semua calon] penonton telah membaca ratusan lembar komik DC, menonton Wonder Woman, Batman vs Superman, The Flash: TV Series, dan membaca laman Wikipedia soal Aquaman dan Cyborg sebelum menonton film ini.
Namun, tak hanya para pahlawan, si penjahat Steppenwolf juga menjadi korban karakterisasi Snyder yang malas. Sebagai contoh, adegan flashback ditemani dengan monolog oleh Wonder Woman hanya fokus dalam mendeskripsikan siapa Steppenwolf. Alasan datang kembali untuk menghancurkan bumi hanya dijelaskan lewat monolog singkat atau seruan perang—misalnya teriakan kata ‘kiamat’ yang diulang-ulang hingga terdengar kaku dan dangkal. Untuk itu, tidak perlu berharap ada karakterisasi penjahat yang diwarnai dengan kompleksitas moral dan unsur kecerdasan seperti karakter Joker atau Ra’s al Gul di film-film Batman garapan Christopher Nolan yang membawa standar baru film superhero.
Baca juga: Spider-Man: Homecoming Munculkan Superhero Remaja Milenial
Tak heran, konfrontasi Justice League dan Steppenwolf bergantung pada efek-efek CGI yang sangat vulgar untuk menggambarkan tingkat kehancuran lingkungan dan berbagai jurus berwarna-warni manusia dan makhluk super di film ini. Imbasnya, ketika penjahat di sebuah film superhero minim kompleksitas cerita, maka plotnya yang saat ini sudah menjadi klise, berubah jadi soak; pembuka, konflik, klimaks, dan resolusi menjadi mudah diprediksi sekalipun ada ‘plot twist’. Overdosis CGI juga membuat film pasukan superhero yang harusnya fun jadi tak fun lagi, meskipun masih bisa dimaklumi karena mungkin hanya dengan jualan efek penonton bisa diyakinkan mereka tak sia-sia buang duit demi tiket.
Melihat formula CGI ini, Zack Snyder sepertinya masih meminjam banyak rumus yang ia gunakan di Batman vs Superman. Film ini tidak menciptakan cukup rahasia untuk membuat penonton sejenak percaya ini bukan film superhero dengan plot yang itu-itu aja. Dari 170 menit rentetan cerita, hanya satu momen yang memberikan secercah nuansa segar: ketika Batman meminta Flash yang sedang ketakutan untuk menyelamatkan orang walau hanya satu saja.
Masalah lain dari narasi yang dibangun oleh Synder adalah ketergantungan terhadap karakter Superman. Setelah kita disuguhkan dengan proses rekrutmen yang panjang untuk membentuk Justice League, ternyata oh ternyata pasukan ini tidak cukup kuat tanpa Superman untuk mengalakan Steppenwolf.
Batman yang sudah tua, setelah 20 tahun menjadi kelelawar vigilante di Gotham, kekuatannya memang tinggal dari sisa kekayaaan sang Ayah. Untungnya ada aksi badass Wonder Woman setidaknya bisa menunda kehancuran Bumi ketika Kal-El tidak ada.
Batman yang menjadi inisiator Justice League bahkan merengek minta Superman hidup lagi. Begitu juga Wonder Woman dan anggota Justice League yang lain. Alien invasi karena apa? Superman mati. Justice League masih lemah karena apa? Superman masih mati. Akhirnya Bumi berhasil diselamatkan karena siapa? Superman…….
Tak berlebihan seandainya film ini tak diberi judul Justice League, tetapi Superman: Back From The Wooden Box.
Mungkin juga, Superman: Penak Jamanku Toh?
Penulis: Terry Muthahhari
Editor: Windu Jusuf