Menuju konten utama

Fenomena SD Kekurangan Siswa, Urusan Preferensi atau Kualitas?

Masih ditemui kekhawatiran terhadap isu perundungan dan pengajaran pada sekolah negeri, yang mestinya menjadi bahan evaluasi.

Fenomena SD Kekurangan Siswa, Urusan Preferensi atau Kualitas?
Guru memberikan pengajaran baca tulis kepada satu-satunya murid kelas 1 di SDN 1 Kendalrejo, Trenggalek, Jawa Timur, Senin (14/7/2025). ANTARA FOTO/Destyan Sujarwoko/rwa.

tirto.id - Sejumlah sekolah dasar (SD) di beberapa wilayah Indonesia dikabarkan kekurangan siswa. Fenomena ini terjadi di Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah, hingga Bali. Tidak sedikit dari sekolah yang sepi peminat ini adalah sekolah dasar berstatus negeri.

Di Jawa Timur misalnya, beberapa SD diwartakan mendapatkan murid sangat sedikit pada tahun ajaran baru ini. Bahkan ada sekolah yang sama sekali tidak menerima murid baru. Ini terjadi pada SDN 1 Setono di Kecamatan Jenangan, Ponorogo.

Nasib serupa juga dialami oleh sekolah negeri lain di Ponorogo, SDN 1 Bajang.

Sementara di Malang, ada SD Negeri Jatimulyo 4 yang cuma menerima 1 siswa baru pada tahun ajaran baru ini. Imbasnya, pihak sekolah memutuskan memindahkan siswa tersebut ke SD lain karena pertimbangan orang tua siswa dan mempertimbangkan psikologis anak.

Kejadian mirip juga terjadi di Jombang, SDN Sumberaji 2 Kabuh, pada tahun ajaran baru ini hanya diminati 1 siswa. Kejadian ini mengulang ajaran baru tahun lalu, dimana sekolah ini juga hanya mendapatkan 1 siswa. Jumlah siswa di SDN Sumberaji 2 kini tercatat cuma 10 siswa.

Berpindah ke Jawa Barat, SDN 206 Putraco Indah, Kota Bandung, dikabarkan resmi ditutup akibat selalu kekurangan siswa ketika tahun ajaran baru. Sekolah negeri yang beralamat di Kecamatan Lengkong, Kota Bandung. Sekolah dasar ini rencananya akan dialihkan menjadi TK atau PAUD.

Kejadian serupa juga terjadi di SDN Kertasari 3, Kertajati, Majalengka. Sekolah dasar ini tak mendapatkan murid baru pada tahun ajaran 2025/2026 ini. Bahkan, total siswa di sekolah itu hanya berjumlah 18 siswa dari semua tingkatan kelas.

Hal ini juga terjadi di SDN 27 Kauman Solo di Jawa Tengah, yang hanya memiliki satu murid baru tahun ini. SDN Sucen dan SDN Tawengan di Boyolali tak dapat siswa.

Sementara di Bali, ada sebanyak 58 Sekolah Dasar Negeri (SDN) di Kabupaten Buleleng yang kekurangan siswa pada tahun ajaran baru 2025/2026. Dinas pendidikan setempat juga menginformasikan bahwa rerata siswa baru di puluhan sekolah itu hanya di bawah 10 siswa. Dinilai salah satu penyebab utamanya yakni berkurangnya anak di usia sekolah dasar yang ada di Buleleng.

Padahal, berdasarkan Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023, ideal jumlah siswa untuk jenjang sekolah dasar dan madrasah ibtidaiyah adalah 28 murid. Fenomena sepinya murid di berbagai sekolah tingkat pendidikan dasar tak hanya akan mempengaruhi keberlanjutan operasional sekolah, namun juga berdampak pada kegiatan belajar-mengajar siswa di sana.

Sekolah dasar di Temanggung kekurangan murid

Seorang guru mengajar dua murid baru saat Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) di SD Negeri Butuh, Temanggung, Jawa Tengah, Rabu (16/7/2025). Sebanyak 32 sekolah dasar di Kabupaten Temanggung pada Tahun Ajaran Baru 2025/2026 mendapat kurang dari 5 murid. ANTARA FOTO/Anis Efizudin/YU

Sebelumnya, Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti, sudah buka suara atas maraknya sekolah yang sepi peminat pada tahun ajaran baru kali ini. Mu’ti menyatakan akan mendata sekolah-sekolah yang kekurangan murid serta mengevaluasi pelaksanaan Sistem Penerimaan Murid Baru (SPMB).

Mu’ti berjanji akan menggandeng Kementerian Dalam Negeri untuk mengatasi fenomena ini.

“Jadi nanti kami akan melakukan evaluasi secara keseluruhan SPMB secara nasional. Ini kami sedang himpun datanya. Dan mudah-mudahan nanti setelah itu kami juga akan menyampaikan evaluasi itu kepada pihak-pihak terkait,” ujar Mu’ti usai menghadiri rapat di Kompleks Parlemen DPR-MPR, Senayan, Jakarta, Rabu (16/7/2025).

Abdul Muti

Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen), Abdul Mu’ti di Gedung DPR RI, Jakarta, Rabu (16/7/2025). tirto.id/Nabila Ramadhanty Putri Darmadi.

Lebih Selektif

Kepala Bidang Advokasi dari Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Iman Zanatul Haeri, menilai fenomena sepinya peminat sekolah dasar negeri sebetulnya punya sisi positif. Yakni masyarakat menjadi lebih selektif dalam memilih pendidikan dasar untuk anak-anak mereka.

Namun, kecenderungan sikap orang tua yang tetap ingin anak-anak mereka akhirnya masuk SMP/SMA negeri menunjukkan bahwa ekspektasi terhadap SDN saat ini belum terpenuhi.

“Di kalangan orang tua ada kualitas-kualitas tertentu, ekspektasi tertentu dari para orang tua terhadap pendidikan dasar yang mereka anggap itu tidak ada di sekolah dasar negeri. Tentu saja ini menjadi tantangannya,” ucap Iman kepada wartawan Tirto, Jumat (25/7/2025).

Fenomena sepinya minat orang tua terhadap SDN menunjukkan persepsi publik terhadap kualitas layanan pendidikan SD swasta yang dianggap lebih menjanjikan dari pembelajaran di sekolah negeri. Hal ini dipandang cukup berbahaya jika dipelihara menjadi stereotip serta tidak diiringi pembenahan dari sekolah dasar negeri itu sendiri.

Misalnya, stereotip pada guru-guru sekolah negeri yang dipandang kurang perhatian kepada murid. Menurut Iman, hal tersebut patut diwaspadai, sebab memperparah persepsi negatif masyarakat.

Iman berpendapat, karenanya sekolah negeri tidak bisa lagi hanya menjadi sebatas sekolah umum. Sekolah negeri tetap mesti memiliki branding dan karakteristik khas supaya menarik minat orang tua. Tanpa pembeda yang kuat, sekolah negeri akan semakin ditinggalkan.

Hari Pertama siswa masuk sekolah

Para siswa melaksanakan upacara bendera saat hari pertama masuk sekolah di SDN Duren Tiga 1, Jakarta, Senin (10/7). tirto.id/ANdrey Gromico

Peningkatan kemampuan literasi, numerasi, serta kualitas kurikulum operasional (KOSP) di sekolah negeri berpotensi menjadi magnet baru bagi orang tua. Selain itu, pemerintah perlu membangun ekosistem pendidikan yang lebih menyeluruh, tak sebatas kegiatan mengajar. Melainkan menciptakan lingkungan sekolah yang memberikan nilai tambah bagi siswa.

Sebab, Iman melihat adanya dilema orang tua yang memilih SD swasta karena tidak mampu secara finansial. Banyak yang memaksakan diri karena mereka merasa tidak punya pilihan lain untuk memasukkan anaknya ke jenjang pendidikan dasar yang lebih terjamin.

Masih ditemui kekhawatiran terhadap isu perundungan dan pengajaran pada sekolah negeri, yang mestinya menjadi bahan evaluasi.

“Mereka lebih baik membayar, berutang, daripada sekolah negeri gratis tidak ada garansi bahwa anaknya akan baik-baik saja,” terang Iman.

Bahan Evaluasi

Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, menilai terlepas dari faktor geografis daerah dan sedikitnya anak di usia sekolah dasar, pasti juga ada persoalan kualitas yang perlu disoroti dari sekolah negeri. Hal ini penting menjadi bahan evaluasi agar terjadi pembenahan sekolah negeri dari sisi kualitas.

Saat ini, banyak bermunculan SD swasta yang jualan fasilitas mewah dan kurikulum terpadu dengan pengajaran multi-bahasa, yang semakin menarik minat masyarakat. Sementara SD negeri dinilai masih mandek dalam inovasi belajar-mengajar dengan fasilitas yang terbatas.

“Selama ini pemerintah tak fokus pada pembenahan mutu sekolah yang timpang. Harusnya ketimpangan mutu ini harus diatasi, jangan malah membiarkannya. Apalagi saat ini justru ada Sekolah Garuda yang membuat ketimpangan kian terasa,” ujar Ubaid kepada wartawan Tirto, Jumat (25/7/2025).

Sementara itu, pengamat pendidikan Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan, menilai banyak yang mesti dianalisa di balik isu fenomena sekolah dasar negeri yang semakin sepi peminat.

Sejauh ini, kata Edi, tampak persepsi atau stigma kualitas SD negeri yang relatif stagnan atau biasa-biasa saja, sangat mungkin menjadi faktor utama banyak orang tua enggan menyekolahkan anak di SD negeri.

“SD negeri, sebagaimana sekolah-sekolah negeri pada umumnya, bukan sekolah negeri yang dilabeli unggulan, sering dipahami sarananya terbatas, gurunya kurang perhatian pada anak didik, tidak inovatif,” kata Edi kepada wartawan Tirto, Jumat (25/7/2025).

Dilihat dari sisi tata kelola pendidikan, persoalan datang dari minimnya anggaran perbaikan fasilitas dasar di sekolah-sekolah negeri. Selain soal budget, isu soal tata kelola birokrasi dan organisasi yang relatif tidak terbuka terhadap adanya inovasi kelembagaan juga masih menjangkit di sekolah negeri.

Sementara pada sekolah swasta, sudah punya tenaga pengembang teknologi pembelajaran sampai psikolog dan talent scouting. sementara sekolah-sekolah negeri tidak bisa sebebas itu. Rumitnya birokrasi dan minimnya inovasi pemerintah membuat sekolah-sekolah negeri sukar berkembang dan akhirnya ditinggalkan orang tua yang melihat semakin banyak opsi sekolah bagi buah hati mereka.

“Satu hal yang bisa dilakukan oleh pemerintah tentunya adalah tambahkan budget untuk perbaikan sekolah, peningkatan kapasitas dan kompetensi guru, termasuk membuka kesempatan untuk didukung jika mereka memiliki inovasi yang kreatif,” ujar Edi.

Baca juga artikel terkait SEKOLAH NEGERI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News Plus
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Farida Susanty