tirto.id - "Apa maunya pak polisi? Diskusi enggak mau, dijelaskan enggak mau dengar. Pak presiden suruh lapor kalau ada persekusi, lha ini pelakunya polisi sendiri."
Tuduhan tersebut dilontarkan Felix Siauw di Instagram, @felixsiauw, Senin (4/2/2019) kemarin, dan telah dikomentari banyak warganet. Unggahan itu isinya ungkapan kekecewaan lantaran ada kajian yang mestinya dia hadiri tapi ternyata dihalang-halangi polisi. Dan itu sudah terjadi berkali-kali, katanya.
Berikut potongan keluhannya: “untuk kesekian kalinya, sudah enggak kehitung lagi, panitia mengeluh ke saya, kajian mereka yang saya rencanakan hadiri, mendapat tekanan dari polisi.”
Alasannya?
"Khawatir saya kampanye 02 [Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, pasangan calon presiden-wakil presiden], dan bawa-bawa HTI [Hizbut Tahrir Indonesia]. Klise dan lucu.”
Sayangnya Felix tak menjelaskan di mana persisnya acara yang penyelenggaranya diintimidasi polisi itu. Pertanyaan reporter Tirto tidak juga direspons sampai berita ini tayang, Selasa (5/2/2019) sore.
Dengan mengasumsikan kalau tuduhan ini benar, Felix sebetulnya tak cuma bisa bicara panjang lebar di media sosial. Dia juga bisa, misalnya, lapor langsung keDivisi Profesi dan Pengamanan (Propam) Mabes Polri, bukan cuma me-mention akun Humas Polri seperti yang dia lakukan dalam unggahan itu.
“Jika ada perbuatan yang menargetkan seseorang, maka dia bisa lapor ke Propam Polri,” ujar Direktur Program Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Erasmus Napitupulu, kepada reporter Tirto.
Propam, mengutip laman resmi Polri, bertugas untuk menegakkan disiplin dan ketertiban di lingkungan Polri serta melayani pengaduan masyarakat.
Felix Siauw tak perlu repot-repot datang ke kantor polisi untuk melakukan itu. Sebab kini hanya butuh gawai dan koneksi internet saja. Felix tinggal isi formulir di laman yang telah tersedia. Mungkin cuma butuh waktu kira-kira lima menit.
Dalam unggahan yang sama Felix bersaksi kalau polisi kerap mempersulit acara, dan ujung-ujungnya meminta panitia bubar. Padahal, misalnya itu dilakukan di ruang tertutup seperti masjid, izin polisi sama sekali tak diperlukan.
“Izin sebetulnya perkara keramaian di tempat umum, kalau bikin diskusinya di ruang tertutup itu tidak perlu izin,” tambah Erasmus.
Hal serupa dikatakan ahli hukum dari Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Mudzakir.
“Misalnya mau salat Jumat atau ceramah di masjid, itu tidak perlu izin. Tapi jika itu dilakukan di stadion, memang perlu izin keamanan. Tapi bukan melarang konten acara,” kata Mudzakir kepada reporter Tirto.
Selain melapor ke internal polisi itu sendiri, dia juga bisa lapor ke Komnas HAM karena apa yang dialaminya itu termasuk pelarangan penyampaian pendapat seperti yang termaktub dalam Pasal 28 UUD 1945.
“Itu juga mengganggu kebebasan orang untuk mendalami agama,” tambah Mudzakir.
Memang, jika Felix lapor, itu tak serta merta membuat masalah selesai. Bahkan bisa jadi kasusnya sendiri diabaikan hingga mungkin terulang lagi. Hal ini dikatakan baik oleh Mudzakir atau Erasmus.
"Di kasus-kasus seperti ini saya agak skeptis,” aku Erasmus. “Pelarangan seolah dianggap wajar. Kenapa? Karena ada fakta pelarangan diskusi buku.”
Sementara Mudzakir bilang: “memang kami pesimis." Tapi, katanya, minimal ada "dokumen [yang menunjukkan] ada tindakan hukum yang tidak adil, polisi tidak independen dalam menegakkan hukum."
Alasan polisi--meminjam istilah Felix sendiri--menekan panitia sendiri tidak pernah sama.
Misalnya ketika Felix batal jadi pengisi diskusi di Universitas Brawijaya, Malang, 30 April 2017. Ketika itu Kapolresta Kota Malang AKBP Hoirudin Hasibuan bilang polisi tak membubarkan acara, "tapi menyampaikan ke pihak hotel tentang aturan hukum mengenai masalah izin yang harus dipenuhi."
Felix juga gagal tampil di Semarang, Juli 2017. Ketika itu dia ditolak oleh sejumlah ormas karena dianggap anti-Pancasila. Demi menjaga agar tidak terjadi keributan, polisi menyarankan kepada penyelenggara agar acara ditangguhkan saja.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino