Menuju konten utama

Dari Aa' Gym ke Felix Siauw: Ustaz Medsos & Medium Dakwah Politis

Perubahan teknologi komunikasi turut memengaruhi cara orang belajar agama.

Dari Aa' Gym ke Felix Siauw: Ustaz Medsos & Medium Dakwah Politis
Avatar Satya Adhi. tirto.id/Sabit

tirto.id - Ketika Zainuddin MZ melejit sebagai dai sejuta umat pada awal dekade 1980-an, tren baru kesalehan publik muncul ke permukaan. Sebutan Zainuddin sebagai “dai sejuta umat” bukan tak punya makna apa-apa. Julukan itu menandai pergantian gaya Islamisasi dari budaya keaksaraan ke kelisanan.

Zainuddin mendapat kesempatan pengarsipan dan publikasi dakwah yang belum pernah didapatkan para dai sebelum dia. Berawal dari kontrak dengan perusahaan rekaman Virgo Record, kaset-kaset rekamannya disetel di hampir setiap rumah di Indonesia Orde Baru. Cara dakwah kelisanan dengan medium dengar semacam ini jelas berbeda dari pengajaran ala pesantren, yang menuntut ketekunan membaca dan menulis—suatu aktivitas soliter.

Rekaman-rekaman ceramahnya yang disetel di radio telah menciptakan komunitas separuh maya di pelbagai tempat. Jika Martin Luther menyatukan umat Protestan lewat budaya keaksaraan berkat terjemahan Injil, Zainuddin menyatukan umat Islam lndonesia lewat dakwah kelisanan. Dan sejak itu (hingga sekarang), mempelajari agama jadi perkara praktis, cenderung tidak literer, tetapi tetap populer.

Alam Orde Baru juga membuat Zainuddin jadi dai yang politis. Statusnya sebagai anggota Partai Persatuan Pembangunan sejak 1977-1982 membuat dakwahnya kerap dicampur dengan isu-isu politik praktis. Upaya politik Zainuddin dan umat Islam sebenarnya mulai terbuka ketika dukungan kepada Soeharto mulai surut pada awal 1990, hingga mendorong pemerintah mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) untuk meraih simpati umat Islam.

Itu ironi. Sebab, pasca-reformasi, karier dakwah Zainuddin pelan-pelan surut lantaran aktivitas politiknya. Apalagi keran kebebasan pers membuat banyak stasiun televisi swasta baru bermunculan. Para dai tak lagi hanya membutuhkan vokal yang menggairahkan dan materi dakwah yang menggugah, tapi juga penampilan visual yang menarik di depan kamera.

Abdullah Gymnastiar atau Aa’ Gym kemudian menjadi bintang baru dakwah televisi. Gaya ceramahnya yang personal dan cenderung apolitis berhasil memikat penonton dan pengiklan.

“Bintang Aa’ Gym akan meredup seperti Zainuddin jika ia mencampuradukan dakwah dengan pesan politik," tulis Julia Day Howell, profesor dalam sosiologi agama, dalam "Variasi-Variasi Kesalehan Aktif: Profesor dan Pendakwah Televisi sebagai Penganjur 'Sufisme' Indonesia" (Fealy & White, 2008: 47). Howell bahkan menyebut Aa’ Gym sebagai "mega bintang pendakwah televisi (televangelist) sejati perdana Indonesia.”

Era baru bagi popularitas Islam telah dimulai. Aa’ Gym dan para ustaz televisi yang lain tak hanya dianggap manusia suci. Mereka adalah selebritas yang setara, atau bahkan melebihi, pemain sinetron, musisi, atau pelawak.

“Di mata para pendengar, pendakwah baru ini memiliki penampilan bak bintang musik rock. Mereka memperlihatkan tren terbaru dan terkeren dalam pidato, pakaian, dan potongan rambut mereka,” tulis Ariel Heryanto dalam Identitas dan Kenikmatan: Politik Budaya Layar Indonesia (2015: 55).

Indonesia memasuki masa pasca-Islamisasi yang merambah ke setiap sendi kehidupan. Lewat para ustaz televisi, Islam ditampilkan mampu menyediakan tawar-menawar dengan gaya hidup kekinian. Gerakan puritan dan anti-sekularisme ditampilkan tidak sekaku golongan Islam radikal.

Ustaz seleb di televisi masih bertahan hingga sekarang. Hanya saja, popularitas mereka mulai menurun justru karena skandal-skandal personal (dan tentunya apolitis) yang menimpa para ustaz.

Aa’ Gym dicecar sebagian penonton karena berpoligami. Yusuf Mansur sempat dilaporkan ke polisi karena dituduh mengkapitalisasi sedekah. Soleh Mahmud (Solmed) bahkan digoyang gosip perceraian.

Terlebih, pada pertengahan 2000-an, muncul semesta baru yang terlambat diantisipasi para pebisnis media. Sebuah semesta dahsyat dengan karakter personal sekaligus massal, interaktif kemudian politis, dan menggabungkan budaya kelisanan dan keaksaraan dalam satu tempat.

Ustaz Medsos

Hingga awal Januari 2018, media sosial macam YouTube dan Facebook menjadi dua situs yang paling sering diakses setelah Google (alexa.com). Peringkat ini menandai perubahan sumber akses informasi yang cepat dari laman browser ke media sosial. Peringkat yang bisa diduga akan bertahan selama produksi massal gawai terus berlangsung.

Perubahan yang terjadi termasuk perubahan radikal dalam mencari sumber “ilmu” agama. Dalam hal ini, kita sungguh perlu menahbiskan Zakir Naik sebagai nabi pertama di medsos. Lewat unggahan video ceramah dan debatnya di YouTube, Naik berhasil menghimpun pengikut yang tak pernah dibayangkan oleh Aa’ Gym sekalipun.

Zakir Naik berhasil menggerakkan puluhan, bahkan ratusan, juta jempol dan mata warganet untuk menonton kemampuan retorika sofistiknya dalam berdakwah. Mengingat Naik bisa dianggap tak memiliki vokal menggairahkan dan tampang menawan, sebuah karakter baru dalam dakwah Islam di media sosial telah muncul ke permukaan.

Ini tak lepas dari efisiensi medsos dalam menjaring pengguna. Medsos berhasil membuat para pengguna merasa terlibat dengan sumber pesan dan pesan itu sendiri. Kemampuan semacam ini tidak dimiliki media sebelumnya seperti surat kabar, radio, televisi, bahkan laman beritayang cenderung memperlakukan pengguna sebagai audiens yang pasif.

Hal lain yang membuat medsos digemari adalah elemen interaktifnya. Mereka tidak hanya bisa membaca atau menonton, tapi bisa berbincang dan berdebat di kolom komentar. Dalam dunia dakwah, keistimewaan semacam ini jelas tidak dimiliki pada pendidikan Islam terdahulu yang menuntut kepatuhan para santri terhadap gurunya.

Di Indonesia, para ustaz medsos berhamburan di jagat maya—tak kalah dengan para 'selebtweet' dan 'selebgram' yang memiliki ratusan ribu bahkan jutaan pengikut. Dan seperti era radio dan televisi yang punya mega bintang masing-masing, Felix Siauw dengan lebih dari 2,5 juta pengikut di Twitter menjadi ustaz medsos paling sukses hingga saat ini. Tren ini akan terus meningkat seiring para ustaz televisi yang mulai berdakwah di medsos; juga akun-akun dakwah (kebanyakan menyasar anak muda) yang menjamur di Twitter dan Instagram.

Permasalahan kemudian mencuat. Karena karakternya yang personal dan berpusat pada pengguna, orang cenderung mencari informasi yang sesuai dengan apa yang ia yakini. Para pengguna medsos cenderung mencari peneguhan diri. Medsos, dengan segala daya pikatnya, kemudian memunculkan "polarisasi politis."

Hal itu turut muncul seiring sikap skeptis yang meningkat terhadap media-media arus utama. Membuat orang-orang lebih mempercayai jaringan pertemanan mereka di medsos daripada berita yang terverifikasi dari media berbasis jurnalisme.

Tak heran jika gerakan seperti 'Aksi 212' bisa membesar dengan sangat dahsyat. Kita jelas harus mengingat kalau gerakan ini diawali oleh sebuah video di YouTube, perdebatan di kolom komentar, lalu penyederhanaan kutub menjadi "sahabat Ahok" dan "haters Ahok." Itu berlanjut ke tagar-tagar penghimpun keriuhan jagat maya dan menemukan puncaknya di jalanan Jakarta—lewat momentum panggung politik pemilihan gubernur.

Dakwah Islam kembali bergerak ke sikap politik tertentu, alih-alih apolitis. Melalui sikap-sikap di jagat maya semacam ini, pendiri Front Pembela Islam sekaligus penggerak 'Aksi 212', Rizieq Shihab, menjadi tokoh paling dicari di Google sepanjang 2017.

Itu sinyal bahwa popularitas Islam telah menjangkau ke dalam personalitas jemari kita. Maka, jangan heran kalau grup-grup WhatsApp keluarga (sekali lagi, keluarga) akan penuh dengan sebaran ujaran dakwah yang menjurus ke sikap politik tertentu.

Thus, ustaz medsos telah membawa jalan baru menuju “surga,” yang sayangnya tidak diimbangi disiplin literasi agama dan ketuhanan.

Kita sangat mungkin akan menemukan jagat dakwah di medsos yang lebih riuh lagi, dan bobot politis di dalamnya, pada Pilkada tahun ini dan bulan-bulan menjelang puncak Pemilu 2019.

======

*) Isi artikel ini menjadi tanggung jawab penulis sepenuhnya.