Menuju konten utama

Acara Dakwah jadi Program Hiburan, Lahirlah Ustaz Seleb

Belakangan ini warganet ramai membicarakan video Ustaz Syam sedang membicarakan pesta seks di surga. Bagaimana televisi menyortir pendakwahnya?

Acara Dakwah jadi Program Hiburan, Lahirlah Ustaz Seleb
Ustaz Syamsuddin Nur Makkah. FOTO/Istimewa

tirto.id - Syamsuddin Nur, atau yang dikenal dengan panggilan Ustaz Syam beberapa waktu lalu dirundung protes terhadap isi dakwahnya. Pada acara “Islam itu Indah” yang disiarkan Trans TV pada Sabtu, 15 Juli 2017 ia mengatakan bahwa salah satu kenikmatan surga adalah pesta seks.

Di acara sama, Ustaz Maulana juga pernah mengeluarkan pernyataan kontroversial. Ia menyatakan tak perlu melihat latar belakang keagamaan saat memilih pemimpin. Selain itu, sang ustaz juga sempat menghebohkan warganet akibat polahnya saat berceramah sambil naik ke atas mimbar.

Selain kedua nama tadi, beberapa nama pendakwah televisi juga pernah menuai protes akibat dianggap silap dalam berbicara maupun berlaku. Sejatinya, bagaimana stasiun-stasiun televisi tersebut menyeleksi para pendakwah?

Lazimnya, dalam menyusun suatu acara, tim program terlebih dulu akan membuat konsep program lengkap dengan daftar calon pengisi acara. Setelahnya baru dilakukan seleksi secara internal oleh tim. Kualifikasi saat seleksi tak hanya bergantung pada ilmu yang dimiliki, tetapi juga kecakapan visual saat tampil di depan kamera.

“Selain soft dalam menyampaikan isi ceramah, dapat diterima masyarakat umum. Visualnya harus ada yang unik,” ujar Saifullah Abubakar, News Producer MNCTV kepada Tirto.

Meski berbalut program keagamaan, ia tak menampik industri pertelevisian tetap akan mempertimbangkan tampilan visual di kamera. Maka, pihaknya memilih pendakwah yang berpenampilan menarik atau setidaknya punya keunikan yang bisa menjadi ciri khas.

Saat membawahi acara kuliner Halalan Toyyiban bertajuk Al Maidah, misalnya, Saiful memilih Zacky Mirza sebagai pembawa acara karena dipandang cakap, baik dari segi ilmu maupun penampilan.

“Dia gantenglah, bersih. Ini agar orang ingat karena TV kan kekuatannya ada di visual,” kata Saifullah.

Soal beberapa penceramah yang dinilai kecolongan saat membawakan program, Saiful menyatakan sejatinya program religi harus memiliki tim yang mengerti dan memonitor konten. Sebisa mungkin acara dakwah tidak disiarkan secara langsung.

Kekeliruan dapat terjadi jika acara dakwah disiarkan secara langsung, misalnya saat pendakwah menerima pertanyaan via telepon. Pertanyaan yang dilontarkan bisa menjebak, jawaban sang pendakwah bisa keliru, dan bisa muncul tutur kata kurang sopan dari penanya.

Beda halnya ketika siaran dilakukan melalui taping (siaran tunda). Kemungkinan-kemungkinan buruk tersebut dapat diminimalisasi dengan cara memotong bagian yang dianggap riskan. Selain itu, durasi acara lebih dapat dikondisikan karena ada arahan sebelum acara dimulai.

Bisnis Program Dakwah

Senada dengan Saiful, Executive Producer PayTren TV Aries Budiono juga membenarkan faktor popularitas sebagai salah satu faktor yang dipertimbangkan dalam memilih pendakwah untuk tampil di TV. Popularitas penting karena industri ini tidak lepas dari kepentingan bisnis perusahaan. Namun, ia juga menekankan faktor kompetensi ustaz, termasuk rekam jejak.

“[Pendakwah] bermoral buruk, misalnya sering jadi buah bibir di infotainment, tidak kita pakai,” ujarnya kepada Tirto.

Lazimnya, tim produksi pimpinan Aries tidak lagi melakukan casting pada calon pengisi acara. Mereka menentukan pengisi acara yang sudah banyak dikenal publik. Segmentasinya pun diperjelas, karena banyak ustaz yang memiliki kedalaman ilmu yang bagus tapi tidak dikenal secara luas dan hanya dikenal di kalangan tertentu.

“Itu [kami] perhitungkan juga, biasanya dai yang begitu kurang luwes depan kamera. Karena [kami] tak bisa main-main. Zamannya medsos, keseleo sedikit, viral diprotes masyarakat.”

Menurutnya, insiden yang pernah terjadi pada beberapa program keagamaan bukan sepenuhnya kesalahan konten. Ucapan Ustaz Syam menurutnya terjadi karena pendakwah kurang memperhatikan cara penyampaian kepada penonton. Maka, ia dianggap terlalu vulgar dan kurang etis, serta tak mengikuti pakem yang ada di masyarakat.

Namun, ia mengakui hal tersebut tak terlepas akibat berkembangnya fenomena ustaz selebritas. Banyak dari mereka, menurut Aries, hanya bermodal pendidikan pesantren selama 6 tahun. Dakwahnya pun hanya terdiri satu-dua ayat saja.

“Kesulitan lebih banyak di pertentangan internal, [kami] sebagai pengelola sering berbenturan dengan kepentingan bisnis manajemen,” kata Aries.

Pihak pengasuh program kurang setuju apabila program dakwah diwarnai konten duniawi. Apalagi ketika unsur hiburannya lebih kental dan dominan ketimbang dakwah. Di sisi lain, pihak manajemen tetap mengklasifikasikan program agama setara program reguler lainnya, yakni bagian dari strategi bisnis yang harus menghasilkan iklan. Dengan kualifikasi seperti itu, mau tak mau pihak produksi harus mencari pengisi acara yang mengikuti kemauan pasar.

“Nah, pasar maunya pendakwah yang selebriti. Tentu kepentingan pemodal lebih sering dimenangkan karena kita tidak punya otoritas terlalu besar untuk itu.”

infografik ustaz seleb

Menanggapi hal ini, Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) K.H. Muhyidin Junaidi mengatakan pihaknya telah melakukan pembinaan pada para pendakwah yang rajin tampil di televisi. Program ini secara khusus membahas masalah aktual yang sering ditanyakan publik, sehingga diharapkan tidak ada kesalahan jawab oleh dai. Sayang, kurang dari 50 persen pendakwah yang datang memenuhi undangan tersebut.

Padahal, masalah ini sudah menjadi fokus MUI selama 2-3 tahun terakhir karena maraknya dai muda minim ilmu yang menjadi masalah. Bahkan, mereka bertindak sebagai ulama baru yang langsung merespons pertanyaan keagamaan, tapi kerap tak sesuai dengan hukum syariah.

“Boleh tampil di televisi, tapi ada rambu-rambunya. Masalahnya ada tujuan bisnis yang tidak sejalan dengan tugas mulia dakwah, jadi [acara dakwah televisi] tidak berbeda dengan entertainment lain,” katanya kepada Tirto.

Baca juga artikel terkait KASUS DUGAAN PENISTAAN AGAMA atau tulisan lainnya dari Aditya Widya Putri

tirto.id - Marketing
Reporter: Aditya Widya Putri
Penulis: Aditya Widya Putri
Editor: Maulida Sri Handayani