tirto.id - Awalnya sempat terjadi ketegangan saat rombongan aksi Kirab Panji Rasulullah melewati perbatasan Trenggalek-Tulungagung, Jawa Timur pada 1 April 2017 silam. Pagi sekitar pukul tujuh, pawai puluhan orang dengan atribut Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dihentikan paksa oleh Gerakan Pemuda Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) Nahdlatul Ulama.
Adu mulut terjadi karena anggota Banser meminta seluruh rombongan melepaskan atribut HTI maupun bendera-bendera yang dibawa. Peserta rombongan awalnya menolak dan kukuh tidak akan melepaskan atribut.
“Penghadangan dan pembubaran paksa kami lakukan karena kegiatan mereka dengan membawa misi konsep khilafah dalam kehidupan bernegara berpotensi memecah-belah umat,” kata Syahrul Munir, Ketua Pengurus Cabang GP Anshor Tulungagung, seperti dikutip Antara.
Situasi kondusif setelah aparat keamanan datang dan berhasil menengahi situasi.
Aksi serupa juga terjadi di Maluku Utara (20/4). Berbagai organisasi pemuda, masyarakat, serta LSM mendeklarasikan penolakan terhadap HTI. Ketua Nahdlatul Ulama Kota Ternate, Dr. Adnan Mahmud sebagai perwakilan menyatakan bahwa masyarakat Maluku Utara menolak seluruh kegiatan dan ajaran ideologi HTI di daerah mereka.
Di Nusa Tenggara Timur (NTT), Ketua GP Anshor NTT, Abdul Muis juga punya pandangan serupa. HTI dinilai sudah massif dan buka-bukaan dengan memasang atribut dan poster besar di beberapa ruas jalan di Kota Kupang dan sekitarnya.
Dalam bulan April 2017 saja penolakan terhadap HTI berkali-kali terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Ada yang berbentuk deklarasi penolakan seperti dilakukan Koalisi Pemuda Bangsa Penjaga Benteng NKRI di Sulawesi Tengah, sampai pembatalan acara Tabligh Akbar HTI di Makassar, Sulawesi Selatan dan Bantul, Yogyakarta.
Menurut Ketua Umum Gerakan Pemuda Anshor, Yaqut Cholol Qoumas, reaksi masyarakat di berbagai daerah ini seharusnya segera direspons. “Sejauh ini belum ada tindakan nyata untuk membubarkan HTI yang jelas-jelas ingin mendirikan negara khilafah,” kata Yaqut.
Menurutnya membiarkan organisasi semacam ini berkembang akan berpotensi mengancam keutuhan negara. Apalagi menurutnya HTI menjadikan kampus-kampus sebagai titik-titik merekrut anggota baru. “Saya juga bingung, apa sih yang ditunggu sehingga penanganan HTI ini terkesan lamban?” tanya Yaqut yang juga merupakan salah satu anggota DPR RI ini.
Hizbut Tahrir dan Hizbut Tahrir Indonesia
Kehadiran Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tidak bisa dilepaskan begitu saja dari Hizbut Tahrir di Palestina yang didirikan oleh Taqiyuddin an-Nabhani pada 1953. Kehadirannya sebagai gerakan politik memang mengusung panji penegakan sistem khilafah al-Islamiyah. Ide ini memunculkan konsekuensi bahwa gerakan Hizbut Tahrir—yang awalnya merupakan partai politik di Palestina—menyebar dan punya sifat lintas negara.
Secara garis besar, tujuan Hizbut Tahrir adalah menghidupkan konsep politik yang diklaim merupakan kewajiban dalam kitab suci, sunah, dan telah diwujudkan dalam sejarah kekuasaan Islam sejak era Nabi Muhammad sampai kejatuhan imperium Utsmani (Abad ke-18 Masehi).
Menurut pendirinya Taqiyuddin an-Nabhani dalam tulisannya di kitab Daulah Islam dan kitab Mafahim Hizbut Tahrir yang sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh HTI Press sejak 2004 dan 2007, generasi umat Islam saat ini tidak tertarik dengan konsep khilafah karena tidak pernah menyaksikan atau punya pengalaman dengan pemerintahan Islam.
Karena gambaran tersebut tidak ada, pada akhirnya muslim memilih menggunakan falsafah hidup lain yang membuat kemurnian Islam menjadi terkikis. Bagi Taqiyuddin, ini adalah kemunduran besar kaum muslimin. Taqiyuddin mengistilahkannya dengan ghazwu ats-tsaqafi (invasi budaya) yang menyebabkan kaum muslimin enggan menerapkan hukum-hukum Islam pada sistem pemerintahan mereka.
Ide Daulah Islamiyah (Negara Islam) di Indonesia memang sempat muncul saat Kartosuwiryo melakukan pemberontakan DI/TII di masa pasca-kemerdekaan. Belakangan dalam bentuk yang berbeda, ia juga muncul dalam bingkai gerakan Negara Islam Indonesia (NII). Hanya saja keduanya masih menerapkan atau mengakui batas-batas negara dengan mengganti sistem maupun dasar pemerintahan saja.
Sedangkan Hizbut Tahrir secara umum mengupayakan adanya kesatuan tunggal bagi seluruh umat Islam di dunia. Cita-cita yang menerabas batas-batas geografis, kebudayaan, dan politik bangsa-bangsa.
Konstitusi Hizbut Tahrir secara sederhana menggunakan kata “Khilafah” dan “Negara” secara bergantian. Bangsa dalam konsep “negara-bangsa” bagi gerakan ini adalah “Islam” yang wilayahnya dinamakan sebagai dar al-Islam (wilayah Islam) sedangkan di luar itu dinamakan dar al-kufr (wilayah kafir). Di dalam dar al-Islam diterapkan hukum Islam, dan di luarnya masuk kategori hukum orang kafir.
Dibandingkan dengan ormas Islam seperti Nahdlatul Ulama dan Muhamadiyah, usia Hizbut Tahrir Indonesia memang masih sangat muda. Masuk pada 1983 oleh Abdurrahman al-Baghdadi, seorang mubalig sekaligus aktivis Hizbut Tahrir yang berbasis di Australia. Abdurrahman memulainya dengan mengajarkan pemahamannya ke beberapa kampus di Indonesia hingga menjadi salah satu gerakan yang punya anggota cukup banyak saat ini. (Jurnal Model Dakwah Hizbut Tahrir Indonesia, oleh Sudarno Shobron)
Yang Radikal dan Yang Fundamental
Aksi penolakan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang belakangan semakin massif umumnya diinisiasi gerakan-gerakan Nahdiyin atau organisasi afiliasinya. HTI saat ini semakin berani ke panggung publik, mengomunikasikan gagasannya dan menyebarkan atribut seperti terjadi di Kupang beberapa waktu lalu.
Bagi kalangan penolak keberadaan HTI, massifnya gerakan ini dirasa meresahkan. Jauh sebelum munculnya tindakan massif penolakan HTI, Ketua Umum PBNU KH. Said Aqil Siradj sudah lebih dulu membicarakan soal kekhawatiran ini.
“Gerakan tersebut saat ini masih kecil dan lemah, tetapi jika tidak diantisipasi lebih dini bisa mengancam keutuhan bangsa,” ujarnya pada 18 Agustus 2016 silam.
Bahkan secara tersirat Said Aqil justru cenderung lebih menilai keberadaan Front Pembela Islam (FPI) di Indonesia lebih baik ketimbang keberadaan HTI. Bagi Said Aqil, FPI bukan gerakan radikal untuk mendirikan negara Islam. Misinya, menurutnya, lebih ke arah “amar ma’ruf.”
“Sayangnya apa yang dilakukan tidak terkoordinasi dengan aparat keamanan. Jadinya malah merusak citra Islam yang damai,” terangnya.
Melihatnya dari kacamata terminologi, HTI adalah gerakan fundamentalis yang—di beberapa ide dasarnya—juga mengarah ke gerakan radikal. Fundamentalis lebih menyasar loyalitas penuh pada sebuah ideologi, sedangkan radikalisme merupakan upaya melakukan perubahan untuk mendukung ideologi yang diusung bisa terus berjalan.
Jika HTI dipahami sebagai gerakan yang mengupayakan adanya perubahan secara besar-besaran untuk mencapai cita-cita khilafah, maka HTI memang masuk sebagai kualifikasi gerakan radikal. Secara spesifiknya bahkan masuk sebagai gerakan agama radikal.
Gerakan ini dianalogikan oleh Yusuf al-Qaradhawi dalam al-Sahwah al-Islamiyyah (Kairo, 2001: 23-29) sebagai al-Tatarruf ad-Din atau secara sederhana merupakan praktik ajaran agama dengan mengambil posisi tarf atau pinggiran. Sisi yang bagi al-Qaradhawi adalah sisi yang berat dan memberatkan—bahkan bagi pengikutnya.
Sekalipun begitu, harus diakui juga gerakan HTI di akar rumput cenderung tidak menggunakan cara-cara kekerasan untuk menyebarkan gagasan khilafah. HTI menggunakan cara persuasif dan tidak/belum muncul informasi maupun bukti mengenai adanya pemaksaan secara massif yang menjadi bagian dari penjaringan keanggotannya. Bahkan gerakan ini juga tidak melakukan cara-cara seperti DI/TII di zaman pasca-kemerdekaan.
“Tentang konsep khilafah, HTI sifatnya memberi tawaran. Logikanya sama seperti tawaran menggunakan listrik, berhemat dalam pemakaiannya dan sebagainya. Artinya dalam dinamikanya itu bisa saja diterima atau ditolak,” jelas Ketua HTI Kabupaten Trenggalek, Dr. Fahrul Ulum, saat mengomentari rombongannya dicegat oleh Banser di perbatasan Trenggalek-Tulungagung beberapa waktu silam.
Menghadapi karakteristik HTI tersebut, golongan Islam yang lebih moderat (dan mayoritas), memang berada di posisi sulit. Secara prinsip, ideologi HTI bertentangan dengan NKRI, tapi sejauh ini dakwahnya tidak bisa dianggap menggunakan cara-cara di luar hukum, juga tidak beraksi menggulingkan pemerintahan.
Penulis: Ahmad Khadafi
Editor: Maulida Sri Handayani