Menuju konten utama

FBI Kini Incar Aktivis Kulit Hitam

Untuk kesekian kalinya komunitas kulit hitam menjadi target kebijakan FBI.

FBI Kini Incar Aktivis Kulit Hitam
Aktivis Black Lives Matter yang memprotes penembakan Alton Sterling ditahan oleh kepolisian Baton Rouge, Louisiana. REUTERS/Jonathan Bachman

tirto.id - Pemerintah Amerika Serikat melalui FBI mengumumkan bahwa politik identitas kulit hitam merupakan sebuah ancaman. Hal tersebut terkuak setelah laporan divisi kontra-terorisme FBI bocor ke publik dan sampai ke tangan majalah Foreign Policy.

Langkah FBI diperkirakan menambah potensi kekerasan dan rasisme terhadap aktivis hak-hak sipil kulit hitam.

Dalam laporan tertanggal 27 Agustus 2017 yang disusun Unit Analisis Terorisme Domestik menyebutkan, “FBI menilai Black Identity Extremist (BIE, Ekstremis Identitas Kulit Hitam) yang vokal mengkritisi kebrutalan polisi terhadap kepada orang-orang Amerika-Afrika telah memicu peningkatan kekerasan terhadap penegak hukum ketimbang sebelum-sebelumnya.”

Keputusan FBI untuk memberi status “ancaman kekerasan” untuk kelompok-kelompok aktivis kulit hitam didasarkan pada kasus-kasus kekerasan yang menimpa aparat kepolisian. Beberapa waktu lalu, Micah Johnson, lelaki kulit hitam berusia 25 tahun, menembak lima polisi di Dallas. Micah mengaku menarget orang kulit putih dan aparat penegak hukum. Black Lives Matter—gerakan yang memprotes kebrutalan polisi terhadap orang kulit hitam—menyatakan tidak memiliki hubungan apapun dengan Micah seraya mengecam perbuatan itu.

Tindakan Johnson tak bisa dilepaskan dari ditembaknya Michael Brown oleh aparat di Ferguson, Missouri pada Agustus 2014. Menurut laporan FBI, tewasnya Brown disebut-sebut memicu kemarahan dan kekerasan yang meluas. Masih dalam laporan yang sama, insiden kekerasan yang dilakukan polisi kepada kulit hitam sejak pembunuhan Brown dinilai telah memicu kebangkitan aktivitas kriminal atas nama ideologi, yakni BIE.

Sepanjang 2017, sekitar 748 warga sipil telah ditembak dan dibunuh oleh aparat kepolisian. Dari total tersebut, 168 di antaranya merupakan kulit hitam. Statistik lain menunjukkan, jumlah polisi yang tewas jauh lebih kecil dibanding warga sipil yang terbunuh oleh petugas setiap tahunnya. Sedangkan pelaku pembunuhan polisi lebih banyak berlatarbelakang kulit putih daripada kulit hitam.

Baca juga: Donald Trump Pecat Direktur Penyelidikan FBI

FBI sendiri menolak mengomentari laporan tersebut. Namun seperti dilansir Foreign Policy, FBI mengeluarkan rilis pers yang menyatakan “Kami tidak boleh memulai penyelidikan hanya semata-mata berdasarkan ras, etnis, asal kebangsaan, sampai agama dari individu bersangkutan.” FBI menambahkan, "kelompok terorisme domestik berbeda dengan kelompok kriminal pada umumnya sebab mereka bertindak dengan tujuan-tujuan sosial dan politik." Menurut FBI, ada delapan gerakan ekstremis lain yang pergerakannya patut diwaspadai selain BIE. Kelompok tersebut antara lain supremasi kulit putih, milisi sipil, anarkis, kelompok lingkungan hidup, nasionalis Puerto Rico, hingga aktivis pro-aborsi.

Mantan agen FBI Michael German menyatakan bahwa pelabelan ancaman terhadap warga kulit hitam bukanlah hal baru. German pernah mengkritik laporan FBI sebelumnya yang menyatakan keberadaan “separatis kulit hitam.” Alasannya: FBI mencampuradukkan dinamika kelompok radikal yang beroperasi pada 1970an dengan serangan pada 2010, meskipun tidak ada hubungan jelas antara keduanya.

Sementara itu para kritikus menuduh pemerintahan Trump sengaja mengalihkan perhatian publik dari aksi kekerasan kelompok sayap kanan dengan cara melabeli aktivis kulit hitam sebagai ancaman. Beberapa laporan menunjukkan bahwa pemerintah Trump hanya menarget kelompok Islamis maupun aktivis kulit hitam tapi tidak ekstremis-ekstremis sayap kanan dan/atau supremasi kulit putih. Ironisnya, pada Agustus lalu Trump menyatakan terdapat “orang-orang yang baik” di antara demonstran neo-Nazi di Charlottesville. Kenyataannya, ekstremis sayap kanan membunuh dan melukai warga sipil yang memprotes demo tersebut.

Mantan analis intelijen Departemen Keamanan Dalam Negeri Daryl Johnson sejak lama telah mewanti-wanti potensi kekerasan yang ditimbulkan kelompok ekstremis sayap kanan. Johnson mempertanyakan sikap FBI yang menciptakan kategori baru untuk kulit hitam. “Saya bingung. Ada kekhawatiran meningkatnya kekerasan di antara kelompok separatis kulit hitam dalam beberapa tahun terakhir. Namun itu sebanding dengan ancaman ekstremis sayap kanan.”

Kebijakan Cointelpro dan Pemberangusan Black Panther

Bukan sekali ini saja FBI menyasar orang-orang kulit hitam. Pada 1956, FBI mengeluarkan kebijakan bernama Cointelpro (Counterintelligence Program). Mulanya kebijakan ini bertujuan untuk memberantas aktivitas berbau komunis di dalam negeri. Seiring waktu, sasaran Cointelpro meluas, dari kelompok lokal, dari Ku Klux Klan, Partai Pekerja Sosialis, hingga Partai Black Panther.

Black Panther didirikan pada Oktober 1966 oleh Huey Newton dan Bobby Seale. Tak lama selepas didirikan, organisasi ini menjadi organisasi politik kulit hitam yang militan dan tersohor pada akhir 1960an. Black Panther menarik dukungan luas di kalangan pemuda kulit hitam perkotaan. Penampilan mereka sangat mencolok:jaket kulit berwarna hitam, topi baret di kepala, dan bedil. Organisasi ini punya peran penting dalam gerakan hak-hak sipil pada dasawarsa 1960an dan kampanye kesetaraan ras.

Baca juga: Trump Terancam Dimakzulkan Setelah Pecat Direktur FBI

Dalam perjalanannya, simpati publik pernah mengalir ke organisasi tersebut karena pembelaan mereka terhadap warga kulit hitam dan aksi-aksi agitatifnya yang melawan represi brutal aparat kepolisian. Kami menginginkan, demikian bunyi program Black Panther "tanah, makanan, perumahan, pendidikan, pakaian, keadilan, serta kedamaian. Tujuan utama kami ialah diizinkannya orang-orang kulit hitam untuk berpartisipasi dalam penentuan nasib dan identitas kebangsaannya sendiri.”

Aksi-aksi protes dan ideologi radikal Black Panther membuat polisi dan FBI khawatir. Pada Agustus 1967 melalui kebijakan Cointelpro, FBI menyasar Black Panther dan menyebutnya sebagai “sebuah koalisi kelompok militan nasionalis kulit hitam.” FBI beralasan memasukkan Black Panther ke dalam target Cointelpro sebab aktivitas mereka dianggap berpotensi "menyulut tindakan-tindakan rawan kekerasan".

Dua bulan berselang, terjadi aksi baku tembak antara pemimpin Black Panther, Huey Newton dengan polisi. Insiden tersebut menewaskan seorang anggota kepolisian Oakland. Newton pun diganjar kurungan penjara. Direktur FBI saat itu, Edgar Hoover menyatakan bahwa Black Panther merupakan “ancaman terbesar keamanan dalam negeri.”

Setahun kemudian, tepatnya 6 April 1968, polisi menyerang sebuah rumah yang di dalamnya berisi anggota Black Panther. Belasan orang tewas. Kemudian pada 1969, sebanyak 21 orang anggota Black Panther ditahan setelah merencanakan pemboman di kota New York, namun akhirnya dibebaskan karena ketiadaan bukti yang kuat. Tuduhan kepada Black Panther waktu itu merupakan strategi Kepolisian Kota New York untuk menggembosi kekuatan organisasi tersebut.

Baca juga: Bagaimana CIA Merekrut Ilmuwan Asing Secara Rahasia

Periode 1970an merupakan masa yang kritis untuk Black Panther. Penyebabnya macam-macam, dari tekanan eksternal (polisi dan FBI), situasi internal yang carut-marut (banyak petinggi dan anggota Black Panther dijebloskan ke penjara), hingga antipati masyarakat.

Berdasarkan jejak pendapat Harris pada April 1970, hanya 10 persen orang Amerika meyakini bahwa cukup banyak anggota Black Panther yang ditembak dan dibunuh oleh aparat penegak hukum.” Di samping itu, cuma 16 persen warga Amerika yang menganggap aktivitas Black Panther bermanfaat bagi anak-anak muda yang kurang beruntung. Seperti dilansir The New York Times, masyarakat percaya bahwa penembakan polisi terhadap anggota Black Panther disebabkan oleh kekerasan yang dimulai oleh aktivis-aktivis organisasi militan itu sendiri.

Di sisi lain tak dapat dipungkiri FBI menjadi garda depan dalam memberangus Black Panther dengan segala cara. Dokumen internal yang diajukan salah anggota Black Panther Dhoruba al-Mujahid bin Wahaddalam sebuah persidangan menyebutkan bahwa FBI menggunakan pers, terutama media-media di New York City, untuk menciptakan propaganda, memecah kekuatan internal organisasi, sampai mencitrakan kepada masyarakat bahwa Black Panther merupakan kelompok yang "tidak stabil.”

Baca juga artikel terkait FBI atau tulisan lainnya dari M Faisal Reza Irfan

tirto.id - Hukum
Reporter: M Faisal Reza Irfan
Penulis: M Faisal Reza Irfan
Editor: Windu Jusuf