Menuju konten utama

Euro 2024 Turnamennya Para Target Man Bongsor?

Beberapa pemain bertipe target man unjuk gigi dalam Euro 2024. Apakah peran klasik ini akan kembali bersinar?

Euro 2024 Turnamennya Para Target Man Bongsor?
Ilustrasi sepak bola. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Gianluca Scamacca menjadi ujung tombak Italia, Ante Budimir dipercaya mengisi lini depan Kroasia, Wout Weghorst menjadi penentu kemenangan Belanda atas Polandia, dan Martin Adam selalu diturunkan ketika lini serang Hongaria mengalami kemacetan pada babak kedua.

Mereka semua punya satu kesamaan peran, yakni target man. Suatu peran yang di era ini terkesan klasik, bahkan antik. Pasalnya, dalam satu dekade belakangan ini, peran target man seakan-akan menjadi “anak tiri” sepak bola.

Lantas, menilik kiprah mereka sejauh ini, apakah Euro 2024 bisa menjadi momentum bagi para target man bertubuh bongsor untuk bersinar lagi?

Sebenarnya, perkembangan taktik sepak bola modern bukannya tidak memberi tempat bagi para pemain seperti Scamacca, Weghorst, maupun Adam. Toh, Scamacca sendiri merupakan striker pilihan utama Atalanta, juara Liga Europa musim 2023/24. Dia pun menjadi opsi pertama Luciano Spalletti, pelatih Italia, lantaran performanya yang mengesankan bersama La Dea musim lalu dengan torehan 19 gol dan 7 assist di tiga kompetisi.

Selain itu, masih ada pula nama-nama macam Olivier Giroud yang konsisten bermain di level teratas sejak membawa Montpellier juara Ligue 1 musim 2011/12 silam. Selama lebih dari satu dasawarsa, Giroud bermain di klub-klub terbaik Eropa dan bahkan sukses menggamit trofi Piala Dunia pada 2018, di mana dia merupakan striker utama Timnas Prancis.

Mario Mandzukic juga termasuk dalam golongan striker klasik bertubuh bongsor. Meskipun dalam tahun-tahun terakhirnya di Juventus kerap dimainkan di sayap kiri, Mandzukic masih menjalankan peran laiknya nama-nama di atas. Di Timnas Kroasia yang sukses melaju ke final Piala Dunia 2018 pun, Mandzukic masih dimainkan di area sentral.

Ketika kita membicarakan striker bertubuh bongsor, nama seperti Romelu Lukaku Bolingoli dan Erling Braut Haaland juga tentu harus masuk hitungan. Akan tetapi, Lukaku dan Haaland sesungguhnya tidak bermain seperti striker-striker yang disebutkan sebelumnya. Mereka adalah pemain "modern" yang lebih fleksibel dalam urusan taktis dan bisa bergerak jauh keluar dari zona operasinya. Dengan kata lain, mereka bukan target man murni.

Masa Redup Pemain Spesialis

Sejak Josep Guardiola mulai mendominasi sepak bola dengan Barcelona-nya, sepak bola seperti tunduk di depan pria Catalunya itu. Banyak orang berlomba-lomba meniru dirinya dengan memainkan sepak bola posisional yang mengedepankan umpan pendek dan permutasi posisi. Ada yang berhasil, tapi tentu saja tak sedikit pula yang gagal total.

Sepak bola Guardiola pun menjelma menjadi hegemoni. Bahkan, karena ini pula, kemudian tercipta dikotomoi positive dan negative football. Mereka yang memilih untuk tidak meniru Guardiola kemudian diberi cap macam-macam. Seakan-akan, memilih untuk memainkan sepak bola yang lain adalah sebuah dosa.

Salah satu ekses dari sepak bola Guardiola ini adalah meredupnya pamor dua peran yang sebelumnya begitu populer. Yakni, pemain nomor sepuluh klasik dan target man murni. Jika target man masih bisa diterima di beberapa tempat, pemain nomor sepuluh klasik bahkan nyaris punah sepenuhnya. Pemain seperti Lionel Messi pun, yang pada zaman dahulu bisa dipastikan bakal mengisi pos penyerang lubang, kini dimainkan di sayap atau di tengah sebagai false nine.

Dalam taktik ala Guardiola—yang meminjam spiritnya dari totaal voetbal milik Johan Cruijff, ada tuntutan ekstra bagi para pemain. Semua pemain harus bisa melakukan segalanya. Striker harus bisa ikut bertahan dengan, setidaknya, memberi tekanan pada bek lawan. Gelandang serang harus turut berjibaku untuk segera merebut bola kembali apabila terebut lawan.

Tuntutan-tuntutan inilah yang membuat para spesialis jadi tak lagi punya tempat. Mereka yang cuma menonjol di satu peran acap direduksi opsi terakhir dalam situasi sulit. Marouane Fellaini di skema milik Jose Mourinho saat menangani Manchester United, misalnya. Dia hanya diturunkan di menit-menit akhir kala United mulai kehabisan akal dan waktu untuk mencetak gol.

Namun, belakangan, sepertinya makin banyak pelatih yang sadar bahwa mereka tak butuh menjadi seperti Guardiola. Salah satu alasannya, seperti diungkapkan Patrick Vieira—legenda Arsenal yang kini melatih Strasbourg di Ligue 1—karena kebanyakan pelatih atau manajer memang tak memiliki pemain seperti yang dipunyai Guardiola. Oleh karena itu, memang tidak seharusnya sebuah tim dipaksakan bermain seperti tim asuhan Guardiola.

Di level klub, di mana ada kebebasan untuk mencari pemain sesuai kebutuhan, memaksakan cara bermain ala Guardiola memang selalu bisa diupayakan. Namun, tidak dengan sepak bola level timnas, di mana talent pool tentunya lebih terbatas. Dan pada akhirnya, para pelatih timnas pun hanya bisa memanfaatkan stok yang tersedia saja.

Pragmatisme kemudian dikedepankan dan akhirnya gaya bermain pun menjadi lebih variatif, seperti yang tampak pada Euro 2024 ini.

Mendorong Variasi Permainan

Italia asuhan Spalletti sebenarnya masih tampak mengkopi cetak biru permainan Guardiola dengan umpan-umpan pendek dan permutasi pemain. Namun, kehadiran Scamacca memberikan corak tersendiri karena sebagai striker, dia tidak ikut turun ke bawah layaknya seorang false nine. Scamacca kerap berdiri membelakangi gawang untuk menjadi tembok yang membebaskan pemain lain untuk merangsek ke kotak penalti lawan.

Hal yang sama juga diupayakan Kroasia kala berhadapan dengan Spanyol. Budimir, yang tampil cemerlang di La Liga bersama Osasuna musim lalu, diplot menjadi target man dengan harapan bisa menjadi fulkrum serangan tim. Sayangnya, implementasi Zlatko Dalic gagal total hingga akhirnya dia mengubah susunan pemain saat menghadapi Albania, di mana Budimir dicadangkan dan posisinya diisi Bruno Petkovic yang cenderung lebih mobile.

Weghorst dan Adam, sementara itu, bukan pilihan utama di timnya masing-masing. Namun, keduanya tetap mampu memberikan kontribusi lumayan. Weghorst sukses menjadi penentu kemenangan, sementara Adam, meski belum mencetak gol, bisa menghadirkan setidaknya sedikit kaos di kotak penalti lawan berkat bantuan tubuhnya yang bongsor dan gempal.

Seperti halnya Scamacca dan Budimir, Weghorst dan Adam pun sebetulnya tidak bermain dalam tim yang mengandalkan umpan lambung. Konsep dasar bermain Belanda dan Hongaria adalah sepak bola kolektif yang menuntut para pemain bergerak dalam satu unit kala menyerang dan bertahan.

Pemain seperti Weghorst dan Adam yang merupakan spesialis sebetulnya tidak cocok dengan konsep utama tim dalam bermain. Akan tetapi, ketika mereka masuk, ada dimensi yang terbuka untuk dieksplorasi. Rekan-rekan mereka seketika memiliki opsi tambahan untuk mendobrak tembok pertahanan lawan.

Dari contoh-contoh yang ada, bisa disimpulkan bahwa sebenarnya target man bongsor masih memiliki tempat di sepak bola. Mereka masih bisa menawarkan sesuatu yang tak bisa ditawarkan jenis pemain lainnya, terutama jika mereka memiliki kemampuan melepas umpan kunci seperti Scamacca—di laga kontra Albania dia setidaknya melepas dua umpan kunci ke kotak penalti.

Pertanyaannya kini, apakah pemain jenis ini bakal bisa melakukan comeback sepenuhnya ke sepak bola seperti dulu?

Jawabannya, tentu saja bisa. Namun, mereka memang perlu membekali diri dengan keahlian ekstra seperti yang dipunyai Scamacca. Mereka benar-benar harus bisa membaca permainan dan pergerakan pemain lain. Mereka juga harus memiliki visi dan akurasi khususnya dalam mengumpan. Dan yang tak boleh dilupakan, kemampuan mencetak gol jangan sampai lenyap karena, pada akhirnya, ini adalah tugas utama seorang penyerang.

Baca juga artikel terkait EURO 2024 atau tulisan lainnya dari Yoga Cholandha

tirto.id - Olahraga
Reporter: Yoga Cholandha
Penulis: Yoga Cholandha
Editor: Fadrik Aziz Firdausi