Menuju konten utama

Epidemiolog: Waspada Daerah Imunisasi Rendah Rawan KLB

Wilayah dengan cakupan imunisasi rendah ditambah dengan status gizi kurang baik secara umum di daerah tersebut, KLB penyakit akan lebih mudah terjadi.

Epidemiolog: Waspada Daerah Imunisasi Rendah Rawan KLB
Petugas kesehatan menyuntikkan vaksin measles rubella kepada siswa SD kelas 1 saat Bulan Imunisasi Anak Sekolah (BIAS) di SD Negeri 2 Sesetan, Bali, Rabu (15/9/2021). ANTARA FOTO/Nyoman Hendra Wibowo/wsj.

tirto.id - Epidemiolog Universitas Griffith Australia Dicky Budiman menilai, cakupan imunisasi rendah di suatu daerah akan menimbulkan potensi besar terjadinya kejadian luar biasa (KLB) penyakit-penyakit yang semestinya dapat dicegah dengan imunisasi.

“Jelas bahwa cakupan vaksinasi oleh program yang rendah itu berpotensi sangat besar menimbulkan KLB pada penyakit-penyakit yang sedianya bisa dicegah. Itu penyakit yang sudah terjadi dan masalah klasik Indonesia adalah masalah deteksi,” ujar Dicky dihubungi reporter Tirto, Jumat (26/5/2023).

Dicky juga menyatakan bahwa karakteristik wilayah perlu diperhatikan karena dapat menambah peluang terjadinya KLB.

Wilayah dengan cakupan imunisasi rendah, kata Dicky, ditambah dengan status gizi kurang baik secara umum di daerah tersebut, maka KLB penyakit akan lebih mudah terjadi.

“Karena bicara wilayah kita bicara soal kapasitas kesehatan. Secara ilmiah atau secara akademis ini disebut determinant of health. Ini sangat berpengaruh ya sosial ekonomi bisa jadi masalah, bahkan kondisi status gizi di sana akan membawa dampak,” kata Dicky.

Sebelumnya, menurut laporan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI, hingga April 2023 menunjukkan secara nasional di Indonesia baru sebanyak 175 ribu atau 4,02 persen bayi yang mendapatkan imunisasi lengkap.

Adapun bagi daerah-daerah yang memiliki cakupan imunisasi rendah, Kemenkes mengingatkan soal potensi KLB penyakit-penyakit yang sejatinya dapat dicegah dengan imunisasi. Seperti campak, polio, rubella hingga difteri.

Contohnya, kasus polio yang sempat muncul kembali di Aceh dan Purwakarta. Adapun Kemenkes mencatat sebanyak 21 provinsi dan 296 kabupaten/kota merupakan wilayah dengan risiko tinggi transmisi polio.

Menurut Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane, mereka yang tidak diimunisasi berisiko sangat tinggi untuk terinfeksi polio karena tidak adanya imunitas di tubuh.

“Walaupun tidak mudah menular, lingkungan yang buruk termasuk besarnya proporsi ODF (Open defecation free) atau buang air besar sembarangan memberi kontribusi juga terhadap munculnya kas,us polio,” ujar Masdalina dihubungi reporter Tirto, Jumat (26/5/2023).

Masdalina menilai agar pemerintah dapat menggenjot cakupan imunisasi melalui akses yang mudah dan dekat untuk mendapatkan vaksin.

“Pemerintah juga sebaiknya melakukan sero surveillance di puskesmas-puskesmas sentinel untuk mengukur imunitas di wilayah, sebagai triangulasi atas tingginya cakupan imunisasi tetapi kasus fatal masih terus ada,” kata Masdalina.

Ia juga menyatakan agar data imunisasi bisa terintegrasi dengan baik, karena masih terdapat adanya perbedaan data dari beberapa sumber.

“Komunikasi risiko juga harus dilakukan untuk memberi informasi pada masyarakat risiko yang muncul dan konsekuensi dari risiko yang terjadi,” tutup Masdalina.

Baca juga artikel terkait IMUNISASI atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - News
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Restu Diantina Putri